Mulai shooting

1004 Words
Tiga hari berlalu dengan cepat. Ara melihat pantulan dirinya pada cermin besar tempatnya syuting. Ia merapikan anak rambutnya, menyelipnya ke belakang telinga. "Tenang, Ara. Ini bukan kali pertama kau melakukannya," ujar Ara menarik napas dalam-dalam. Berusaha menghilangkan rasa grogi dalam dirinya. Saat merasa kondisinya sudah lebih baik, Ara perlahan melangkah ke area syuting. Ia menyapu ke sekeliling, mengamati beberapa orang yang tengah melakukan adegan syuting sebelum dirinya. Di tengah orang-orang yang berseliweran, Ara berharap dapat bertemu dengan Sasmita. Dirinya kini bagaikan anak itik yang kehilangan induknya. Ara terus berkeliling lokasi, mencari tempat yang nyaman untuk duduk sembari menunggu gilirannya syuting. Di tengah jalan, samar-samar Ara mendengar bisikan-bisikan dari rekan kerjanya yang membicarakan dirinya. "Hai, apa kalian tahu, aku dengar anak baru itu menggunakan tubuhnya untuk menyogok sutradara," cetus salah satu dari mereka menatap ke arah Ara dengan sinis. "Jangan asal bicara, dia itu aktingnya benar-benar bagus jadi sutradara memilih dirinya sebagai pemeran utama," timpal yang lain. Gerombolan itu kini serempak menoleh ke Ara. Hendak menilai sosok yang tengah menjadi topik utama. "Tapi aku lebih suka toko utama diperankan oleh wanita yang dulu pertama kali dipilih oleh Rayhan. Kau tahu dia sangat baik, waktu itu dia juga memberikan konsumsi saat casting berjalan. Ah sungguh loyal sekali wanita itu," ujar seseorang mendesah kecewa. Ara mempercepat langkahnya. Merasa risih dengan cuitan yang masuk ke gendang telinganya. Bukan itu saja, beberapa dari mereka tidak hanya melirik dirinya melalui sudut matanya saja, tetapi juga secara terang-terangan. Ingin sekali Ara mencolok biji mata mereka satu persatu. "Ck, dasar manusia kurang kerjaan," cetus Ara mengepalkan tangannya. "Lihat, dia sombong sekali. Bahkan dia tidak menyapa kita yang sudah senior, menoleh pun tidak." Ara merasa geram mendengar celotehan yang entah dari mulut siapa. Tanganya terkepal erat, menahan jemarinya agar tidak menampol mulut mereka. "Abaikan mereka yang ingin menjatuhkan dirimu. Kau harus tetap fokus pada tujuanmu." Ara mendengus pelan. Ia melenggang dengan anggun menuju kursi kosong yang tersedia di ujung sana. Setelah duduk dengan santainya Ara kini lebih memilih menghafal naskah dan menganggap orang-orang yang membicarakan dirinya seperti anjing yang menggonggong. "Sabar Ara, inilah ujian pertama yang harus kau lewati. Nanti juga mereka akan lelah dengan sendirinya," ucap Ara berusaha mengabaikan. Dibukanya lembaran nasakah miliknya. Netranya menatap intens ke setiap bait kata. Perlahan bibirnya mulai melafalkan kata-kata yang tercetak jelas di buku. "Waah rupanya dia berkulit tembok," cetus salah satu gerombolan yang tadi mengomentari Ara. Merasa tampak kesal karena tidak mempengaruhi Ara. "Sepertinya ia ingin bersikap sok manis," sambung lainnya. "Benar. Dia harus diberi pelajaran." Usai kalimat itu terlontar, beberapa orang yang tadi duduk santai di bangku, kini beranjak mendekati Ara. Tangan mereka gemas meremas kertas naskah yang sedang dipegang Ara lalu dibuang ke lantai, dan mereka bersiap berperang dengan Ara. "Hai, kau!" Ara terperanjat kaget mendengar gertakan yang secara tiba-tiha itu. Ia mendongakkan kepalanya, menatap mereka lurus. "Ada apa? Apa kalian perlu bantuan?" ucap Ara berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Cih memangnya kau siapa? Kau hanya pendatang baru, bisa apa kau?" Balasnya. "Kalau tidak ada yang perlu dibantu, saya pamit permisi dulu." Ara menegakkan tubuhnya. Tidak mau mencari ribut. Ia memilih untuk pergi. "Kurang ajar." Ara terjerembab jatuh kembali ke kursi saat sebuah tarikan kasar di lengannya mendorongnya jatuh. "Aaargh." Ara menggeram marah. Matanya menatap nyalang . "Kalian mau apa huh?" seru Ara melotot tajam. Sifat asli Ara keluar, ia paling tidak suka diintimidasi. "Kau itu anak baru, aku berani bertaruh padamu jika kau tidak akan mampu melakukan adegan dengan sempurna seperti saat audisi kemarin!" papar salah satu dari mereka. "Lalu jika aku tidak mampu apa kau mampu?" timpal Ara tanpa ada rasa takut. Dia tahu di dunia ini harus saling menghargai satu sama lain, tapi jika orang yang ingin dihargai tak patut dihargai untuk apa. Memang dia adalah junior, harusnya senior mengajarinya bukan? tapi apa ini mereka justru mengintimidasi. "Heh, kau anak baru kemarin berani kau melawan kami?" "Aku tidak bermaksud untuk melawan kalian, tapi jika senior seperti kalian memang tidak pantas untuk didiamkan!" seru Ara, bola matanya menatap tajam ke arah orang-orang yang kini mengerumuni dirinya. "Hai apa yang kalian lakukan?" teriak seorang wanita yang suaranya sangat ia kenal. "Lilis?" gumam Ara pelan. Wanita yang bernama Lilis itu pun mendekati Ara, mencoba untuk menjadi penengah. Lilis juga seorang senior di dunia entertainment meskipun usianya tergolong muda, jadi banyak yang tunduk terhadapnya. "Kalian apa tidak bisa menjadi saudara, kenapa harus dengan cara seperti ini kalian memperlakukan anak baru?" ungkap Lilis yang kesal dengan tingkah teman-temannya. "Kami hanya memberikan dia pelajar, siapa suruh jadi anak baru belagu, bukan kami yang mencari masalah tapi dia." Wanita yang sejak tadi memusuhi Ara, kini dengan telunjuknya mengarah ke wajah Ara. "Hai, kau!" pekik Ara yang tidak terima saat jari telunjuk itu mengarah ke wajahnya. "Tuh sudah ku bilang dia itu tidak sopan. Lihat apa yang dia lakukan itu, Lis." "Sudahlah jangan memperpanjang masalah, jika sutradara tahu kita semua akan mendapatkan masalah, apa kalian mau?" ucap Lilis. Ucapan itu bukan hanya sebagai ancaman semata karena memang sutradara film itu terkenal tegas. Saat mendengar ucapan Lilis semua yang tadi memojokkan Ara, kini membubarkan diri meninggalkan Ara dan Lilis yang kini sedang mematung ditempatnya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Lilis yang kini mulai percakapan terlebih dahulu. "Aku tidak apa-apa," jawab Ara sembari mengelus kulit rambut yang masih terasa berdenyut. "Kau yang sabar dan jangan putus asa. Mereka semua memang seperti itu, jadi dibandingkan melawan mereka, kau lebih baik menunjukkan bakat yang kau miliki untuk membungkam mulutnya," tutur Lilis. Ara terdiam sejenak saat mendengarkan ucapan yang keluar dari bibir tipis dengan polesan zat kimia berwarna merah. Lilis memang orang yang paling dewasa di masa depan diantara dirinya dan Sasmita beserta Yuanita. Nyatanya sikap itu sudah wanita itu memiliki sejak muda, tapi Ara merasa heran kenapa pertemuan dengan kedua sahabatnya sangat berbeda dengan waktu dulu. Ara ingat dengan jelas saat dulu bertemu dengan Lilis, saat dirinya sedang berada di pesta salah satu artis yang sedang mengadakan party, saat itu Lilis sedang mabuk karena melampiaskan kekesalannya saat ditinggal sang kekasih. Ara nampak berpikir kembali apa yang sebenarnya Sang Halik rencanakan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD