Perasaan seorang ibu

1006 Words
"Syarat yang lain apa maksudmu, Yun?" tanya Ara yang kini nampak penasaran. "Kau janji harus jadi artis papan atas," jawab Yuanita segera meralat ucapannya, takut jika Ara sudah mulai curiga padanya. "Kau ini membuatku penasaran saja." Ara menyorot Yuanita penuh selidik. Ia tahu, sahabatnya dan Brian sama liciknya. " Aku hanya bercanda, Ra." Yuanita terkekeh pelan guna mencairkan suasana. "Tanpa kau ajukan itu sebagai syarat, sudah pasti aku lakukan Yun. Kau tenang saja," ujar Ara menormalkan suara senormal mungkin meski hatinya dilanda rasa keingintahuan yang tinggi. "Apa pun yang akan dilakukan Yuanita Nanti, kau harus lebih mawas diri, Ra," batin Ara. "Aku juga akan membayar semua hutang-hutangku padamu, Yun," tambah Ara berusaha untuk meyakinkan Yuanita agar tidak terlihat rendah di mata sahabatnya. Meskipun dalam hatinya ia berniat ketika perekonomian keluarganya sudah membaik dan Adam bisa mendapatkan pekerjaan, dirinya akan langsung hengkang dari dunia entertainment. Ara tidak ingin kejadian masa depan akan terulang lagi. Berlama-lama bergaul dengan Yuanita hanya akan berdampak buruk bagi pergaulannya. "Baiklah, aku sudah mentransfer uang yang kau inginkan. Semoga Kaylani lekas sembuh," ucap Yuanita dari seberang sana. Di sebelahnya, Brian sudah mengkodenya untuk segera menyudahi sambungan telepon Ara. Malam kian matang, perut keduanya sudah kelaparan. "Iya Yun. Sekali lagi terima kasih." Tanpa menunggu jawaban Yuanita, Ara langsung mematikan ponselnya. Kini ia bergantian mencari nomor Adam di menu panggilan masuk. Tidak butuh waktu lama, panggilan itu diangkat langsung mendapat sambutan dari sang pemilik. "Hallo, Bang. Aku sudah mendapatkan pinjaman, uangnya sudah ada di rekening. Kau bisa memakainya untuk berobat Kaylani," ucap Ara panjang lebar. Dirinya hari ini sudah lelah tak ingin banyak berbasa-basi, kasur lantai yang tergelar di lantai seperti sudah melambai-lambai menginginkan untuk ditiduri. "Syukurlah, terima kasih Neng. Maaf merepotkanmu." Ara menganggukkan kepalanya, lupa kalau Adam tidak akan bisa melihatnya. Tubuhnya sudah benar-benar letih. Bukan hanya fisiknya, tetapi hari ini banyak pula orang-orang yang menguras emosinya. "Kau pinjam dari siapa, Neng?" tanya Adam sebagai formalitas, dalam benaknya pun sudah terlintas satu nama. "Kau sudah tau siapa dia, Bang," cetus Ara singkat. "Ah ya, pasti Yuanita kan?" "Hmm. Ngomong-ngomong, kata dokter Kaylani sakit apa Bang?" ujar Ara baru teringat dengan Kaylani. "Dokter bilang dia hanya demam biasa karena terlalu banyak pikiran dan pola makan tidak teratur sehingga tubuhnya melemah," jelas Adam mengulang penjelasan sang dokter yang memeriksa Kaylani. Bibir Ara terbuka beberapa senti. Ingin sekali ia mengumpat di saat itu juga. Hanya demam b5isa Adam langsung membawa Kaylani ke rumah sakit? Astaga, apa lelaki itu tidak berpikir panjang kalau biaya rumah sakit sangat mahal untuk ukuran kantongnya? "Maafkan Abang, ya Neng. Abang panik jadi tidak bisa berpikir panjang, Abang hanya takut terjadi sesuatu dengan Kaylani jika tidak cepat ditangani," ucap Adam kembali saat suara Ara tidak terdengar. Adam tahu pasti, Ara tentu tengah kesal dengan dirinya. Di saat ekonomi sedang kembang kempis seperti ini, dia malah tidak bisa berpikir panjang dalam pengeluaran keuangan. "Iya Bang, tidak apa-apa. Lagi pula semua sudah terjadi kan, menyesal pun sudah terlambat. Tolong jaga Kaylani baik-baik." "Iya, Neng. Abang akan berusaha keras untuk membujuk Kay agar makan tepat waktu," timpal Adam hanya bisa mengiyakan ucapan Ara. "Neng, apa kau sama sekali tidak bisa pulang?" sambung Adam yang masih berharap jika Ara akan pulang. "Bang, tolong berhenti menanyakan hal ini. Untuk kali ini biarkan aku konsentrasi dalam pekerjaanku. Aku sudah mengantongi peran utama.Tiga hari lagi aku akan syuting film itu. Jadi lebih baik Abang berdoa saja." "Maaf, Neng. Abang hanya kasihan melihat Kay. Dia sepertinya rindu sekali denganmu," papar Adam sembari menoleh ke arah bangsal. Wajahnya semakin sendu ketika melihat bibir mungil itu yang masih pucat. "Sebagai ibu, aku juga ingin berada di samping, Kay. Merawat dan menemani Kay di saat dia sakit seperti ini. Namun, keadaanlah yang memaksaku untuk berada di posisi ini." Ara mengungkap semua isi hatinya. Sungguh, ia sama sekali tak ingin egois. Sekali lagi ia tegaskan, takdir yang memaksanya! "Aku janji Bang, beri aku waktu satu bulan untuk menyelesaikan film ku ini, setelah itu aku akan membawa Abang dan juga Kaylani untuk tinggal bersama denganku di Jakarta," jelas Ara panjang lebar tanpa jeda, membuat Adam yang berada di seberang sana hanya bisa menelan ludahnya secara kasar mencerna ucapan Ara yang terasa realistis. Adam tidak bisa lagi berucap sepatah kata pun untuk menanggapi ucapan Ara. Ia sibuk meruntuki dirinya yang gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik. "Pa ... Itu Mama ya?" tanya Kaylani yang baru saja sadar. Suara Adam ampuh untuk memancing jiwanya yang tengah berkenala dalam mimpi kembali dalam raganya. "Iya, Sayang. Ini Mama, Kay mau berbicara dengan Mama?" tawar Adam. Kaylani mengangguk dengan lemas, ia pun menerima benda pipih yang terlihat layar kacanya sudah pecah ditambah dengan ikatan karet di tengah-tengahnya. "Ma, Kay lindu Mama," ucap Kaylani dengan nada lemas. Suaranya bahkan sampai tak terdengar. Ara harus mengandalkan feelingnya untuk mencerna kalimat Kay. "Sabar ya sayang, Mama janji satu bulan lagi akan membawa Kaylani ke kota besar yang banyak mainannya," balas Ara mencoba menghibur Kaylani. Dirinya sangat yakin bisa melakukan itu semua dalam satu bulan, apa lagi pekerjaan sudah di tangannya. Dirinya tadi juga sempat membaca dalam kontrak kerja itu tertulis gaji senilai 20 juta setiap sekali film itu tayang di bioskop. Nominal yang lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka semua "Benelan, Ma. Kay akan ke kota?" tanya Kaylani memastikan bahwa dia tidak salah dengar. "Iya, Sayang. Tapi ada syaratnya," balas Ara. "Apa, Ma?" "Kay harus cepat sembuh, tidak boleh banyak pikiran dan mau makan. Ikuti semua apa kata papa, oke?" "Oke, Ma. Kay udah cembuh cekalang." Mata hitamnya berbinar ceria. Bibirnya yang memutih refleks menyunggingkan senyuman untuk menyakinkan kalau dirinya baik-baik saja. "Anak pintar, ya sudah Mama matikan dulu ya sambungannya. Kay kan harus istirahat." "Iya, Ma. Kay tayang Mama," ucap Kaylani. "Mama juga sayang Kaylani." Setelah mengucapkan kalimat itu Ara langsung memutuskan sambungan teleponnya. Sejujurnya Ara juga sangat merindukan Kaylani, berjauhan dengannya dan mendengar sang anak sakit rasanya seperti berada dalam neraka. Namun, ia harus menahan semuanya, agar apa yang diinginkan bisa tercapai. "Sabar, Ra. Jalani saja prosesnya. Nikmati pahit getirnya. Percayalah, bahagiamu sedang dibentuk," bisik Ara dalam hatinya untuk menguatkan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD