Bahan Gibahan Tetangga

1406 Words
Hangatnya sinar mentari pagi membangunkan Ara dari mimpi buruknya. Kelompok mata yang sejak semalam terpejam kini perlahan-lahan terbuka. Semalaman Ara menunggu Adam, berharap sang suami pulang. Nyatanya, sampai jam dua belas malam lelaki itu belum juga menampakkan batang hidungnya hingga Ara berujung ketiduran. Kini, saat Ara sudah mulai membuka matanya, lelaki itu juga sudah tidak ada di sampingnya begitu pun dengan sang anak. "Apa sekarang seseorang baru dihargai ketika kita memiliki uang?" Ara termenung cukup lama. Kesedihannya perlahan bercampur dengan kemarahan. Suara kerucuk dari perutnya membuat fokus Ara teralihkan. Netranya sontak tertoleh pada jam yang bertengger di dinding dengan anggun. Jarum pendek telah menunjuk ke angka delapan, sedangkan jarum panjang mengarah pada angka tiga. "Pantas perutku keroncongan ternyata aku bangun kesiangan," ucap Ara tanpa ada nada bersalah. Kekecewaannya pada Adam sedikit mengikis kelembutannya. Jika kemarin-kemarin dia bangun jam setengah tujuh saja sudah merasa sangat bersalah, karena belum membuatkan sarapan pagi untuk Adam dan Kaylani. Namun, sekarang dia seakan lupa dengan tugasnya menjadi seorang istri. Ara beranjak dari tempat tidurnya, dengan sempoyongan dirinya keluar dari kamar. Di tatapnya ke sekeliling, tetapi hanya udara kosong yang ia temui. "Di mana mereka?" Ara berpikir sebentar. Lama tidak menjumpai siapa pun, ia melanjutkan langkahnya menuju dapur. "Aah, mungkin Kay pergi dengan bang Adam," gumam Ara sembari mengendikkan bahu. Tidak mau mengambil pusing. Sudut mata Ara tak sengaja melirik ke arah meja makan, dilihatnya satu lembar uang lima puluh ribuan. Meskipun kesal, hati nurani Ara masih ada sedikit rasa untuk mengurusi keluarganya. Ditiliknya magicom yang mati, lalu beralih ke arah tudung saji yang nampak mengurung angin saja tanpa ada makanan di dalamnya. "Astaga, Apa bang Adam tidak lagi peduli padaku? Bahkan setelah perjalanan jauh ia tak bertanya apakah aku sudah makan atau belum." Ara mendesah berat. Dirinya lalu beranjak menuju kamar mandi. Dibasuhnya wajah yang tampak kusut agar terlihat mebih fresh. Tanpa mandi terlebih dahulu, Ara bermaksud untuk langsung pergi ke warung sebelah. Perutnya yang sudah perih membuat otaknya hanya berpikir untuk cepat membeli beras dan beberapa lauk. Di sela langkahnya, Ara mengelus perutnya lembut. Berharap bisa meredakan perih bercampur rasa pahit di lidahnya. Hanya dengan beberapa langkah, kaki Ara kini sudah sampai menjejak di depan warung. "Eh, Neng Ara?" sapa si pemilik warung dehgan raut wajah terkejut. Namun, ekpresi wanita tua itu justru terlihat menjengkelkan bagi Ara. "Kok sudah di rumah Neng, gimana sudah berhasil belum jadi artisnya?" tanya ibu warung dengan maksud menyindir Ara. Ia masih ingat betul ucapan Adam yang menggebu kemarin, hingga membuat ibu-ibu yang ia kumpulkan susah payah bubar. "Saya beli beras 1 liter," jawab Ara yang tak memperdulikan ucapan ibu warung. Dirinya benar-benar sudah lelah menahan emosi yang sejak semalam sudah menggunung. Jika dipancing terus, Ara tak yakin bisa menahan emosinya dan meluapkan kemarahannya pada ibu warung. "Kau gagal ya, jadi artis," tebak ibu warung semakin bersemangat meledek Ara. "Sama telurnya setengah," ucap Ara lagi yang mengabaikan pertanyaan ibu warung yang tidak penting. "Heh, Ara. Kau sombong sekali, aku bertanya padamu! Kalau kau gagal tinggal bilang saja apa susahnya!" Ara masih berusaha untuk bersabar ia berkata kembali, "Sama minyak yang biasa saja setengah kilo." "Waah muka tembok sekali kau Ara," cetus sang ibu warung sembari menjengitkan bibirnya. "Jadi totalnya berapa?" gurat wajah Ara sangat datar. Tidak ingin mencari keributan, Ara memilih untuk tidak beradu mulut dengannya, atau menjadi pusat perhatian tetangga yang berujung mempermalukan dirinya sendiri. "Aku akan melayanimu, tapi jawab dulu pertanyaanku," ujar si pemilik warung masih kekeuh menuntut penjelasan dari Ara. "Waktu saya tidak banyak, jadi tolong segerakan," titah Ara tegas. Mendengar ucapan Ara, si ibu warung tidak memperdulikan Ara yang ingin cepat-cepat pergi. Baginya sungguh sangat disayangkan jika tidak membuat Ara dipermalukan. "Eh ... ibu-ibu, ke sini deh! Ini ada calon artis, tapi hanya dalam mimpi saja," teriak ibu warung memanggil ibu-ibu yang sering bergibah di depan warungnya. Ara berdecak sebal, hanya dengan satu teriakan ibu warung kini sudah ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul. "Oh iya, inikah yang kemarin koar-koar mau jadi artis?" teriak salah satu Ibu yang berkumpul. "Eh, Ara sadar dong! kau itu tidak berbakat sama sekali menjadi artis, tapi sudah koar-koar bakalan jadi artis. Kalau aku jadi kau sudah pasti aku akan mengurung diri karena malu," sahut ibu yang lainnya. "Benar itu, dikira gampang apa jadi artis. Tahu gak Bu, kemarin ini orang baru mau berangkat aja pakai becak udah kayak berangkat naik mobil mewah," imbuh mereka lagi. Ara seakan memasukkan ucapan para ibu-ibu itu dari telinga kanan ke telinga kiri. Ia pun langsung berkata pada ibu pemilik warung, "Jadi total berapa? mau melayani atau tidak!" "Cihh aku tidak sudi melayani pembeli sombong sepertimu, sudah sana pergi," usir Ibu warung yang mendapatkan sorakan gembira dari ibu-ibu yang lainnya tak hanya itu, satu lemparan telur melayang ke arah lengan Ara. "Kau," desis Ara memggeram marah. Telapak tangannya terangkat ke atas, hendak menampar pemilik warung. Namun, dirimya terpisah oleh etalase kaca membuat Ara urung, ditambah dengan adanya ibu-ibu yang lainnya. Jika Ara memaksa melawan ibu warung tentu saja dirinya akan diserbu dengan ibu-ibu yang lainnya. "Sudah berani menggertak rupanya kau, Ara." Ara mengepalkan tangan, menahan kuat emosinya. Bola matanya melotot marah. "Sebelum kau mengataiku sombong, cobalah berkaca lebih dulu. Kau bahkan lebih sombong karena mengusir pembeli." Ara mengucapkan kalimatnya hanya dalam satu tarikan napas. "Kalian semua, apa tidak ada kerjaan lain, selain bergerombol dan membicarakan aib orang lain? Apa kalian sudah merasa orang paling benar dan tanpa aib? jika kemarin saya koar-koar mau jadi artis, ada masalah? Apa saya merugikan kalian semua?" imbuh Ara dengan nada menggebu-gebu. Membuat para ibu-ibu terdiam seribu bahasa. Sementara Ibu warung seakan tidak mau mengalah ia pun berkata, "Cih, lagi pula kau ke sini bukan untuk membelikan? Tapi mengutang kan!" Ara tersenyum kecut. "Tolong jaga ucapanmu. Meski aku mengutang, tapi aku pasti akan membayarnya! Ingat, roda kehidupan selalu berputar. Jangan pernah menilai rendah seseorang, karena jika kau suatu saat merasakannya, kau akan malu sendiri nantinya," ucap Ara dingin. "Apa kau sedang melawak, Ra?" pemilik warung terkekeh pelan. Merasa lucu dengan ucapan Ara. "Dengar ya, Neng Ara. Kemiskinan itu hanya takdirmu! Kau salah berbicara seperti itu padaku. Memangnya kau buta? Sejak dulu warungku selalu ramai!" Ara menarik napas dalam-dalam, menatap tanpa kedip wanita di depannya. "Terserah. Kita lihat saja nanti. Aku peringatkan padamu sedari sekarang, saat nanti aku berada di atas, jangan pernah mengetuk pintu rumahku." Pemilik warung itu terkesiap mendengar nada suara Ara yang penuh tekanan. Tubuhnya sedikit bergetar, namun gengsinya yang tinggi memaksanya agar terlihat baik-baik saja, begitu pun dengan para ibu-ibu yang tadi terdiam seribu bahasa. Merasa cukup, Ara lantas membalik tubuhnya. Beralih ke warung lain yang berjarak satu kilo meter jauhnya. Jika sejak tadi ada warung yang jaraknya lebih dekat dengan warung ibu tadi tentu saja Ara akan lebih memilih berbelanja di sana. Sudah menjadi watak Ara yang mendarah daging kalau dirinya tidak suka direndahkan. Dari pada mengemis, ia memilih untuk berusaha berdiri di kakinya sendirinya. Di tengah perjalanan, Ara sayup-sayup mendengar suara Adam. Kepalanya menoleh ke kanan kirinya, mencari sumber suara. Benar saja, bola mata Ara kini terpaku pada punggung laki-laki yang berguncang seperti tertawa lepas. Dada Ara naik turun terbakar emosi. Meski belum melihat rupanya, tapi Ara sudah menebak pasti punggung itu milik Adam. Ia tahu betul pemilik bentuk bahu tegap serta lengan kokoh dengan otot yang terbentuk akibat sering memanggul karung beras. "Jadi, bang Adam memilih nongkrong bersama teman-temannya dari pada menenangkan aku?" Suara Ara terdengar serak. Buliran bening mengucur deras. Tidak ingin mencari keributan, Ara membawa luka hatinya menuju warung tujuannya. Ia memutuskan mencari jalan lain agar tidak berpapasan dengan Adam. "Ya Tuhan, tenangkanlah hati." Ara menyeka air matanya. Ketegaran yang ia bangun mati-matian hancur sudah. Sementara itu, Adam kini memanggil Kaylani yang sedang bermain. Saat tadi Adam menemani Kaylani, para sahabatnya mendatangi dirinya jadi terlihat seperti sedang berkumpul. "Pa, anti Mama malah gak, kita tadi ndak angunin dia?" tanya Kaylani yang kini sudah berada di gendongan Adam. Adam sembari melangkahkan kakinya ia pun menjawab, "Kita sudah membeli makanan untuk Mama, jadi tidak mungkin Mama marah. Kasian Mama jika kita bangunin, Kay kan tahu Mama habis perjalanan jauh." "Ia, Pa. Ya sudah ayo, kita ulang!" ajak Kaylani. "Anak manis, ini Papa juga lagi melangkah untuk pulang. Ayo, kita beri kejutan untuk Mama." "lest go ...." Kaylani berucap sembari menjulurkan tangannya layaknya seorang pahlawan super yang sedang terbang. Beberapa menit perjalanan Adam dan Kaylani sampai di rumah. Adam langsung menuju kamar setelah menurunkan Kaylani, bola matanya membulat saat mengetahui Ara tidak ada di dalam kamar atau pun di tempat lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD