Sekenario baru

1028 Words
Waktu terus berjalan. Detik-detik jam yang berlalu telah berubah menjadi bilangan tahun. Gelombang badai air laut yang menghantam bahtera rumah tanggnya telah berhasil ia lalui dengan sabar dan ikhlas. Suasana keluarga yang dulu selalu memanas, kini telah berhasil ia dinginkan. Menghasilkan sebuah kehangatan yang terasa nikmat tiada tara. Seorang wanita yang kini tepat berusia dua puluh satu tahun, tampak asyik merenung di depan jendela kamarnya yang terbuka lebar. Tatapan matanya mengarah ke arah timur. Sorot sinar mentari yang beberapa jam lalu muncul terasa menenangkan netranya. Ara menghirup dalam-dalam udara yang menyapa indra penciumannya. Adam telah berangkat bekerja, menyisakan dirinya yang berbalut sepi. Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Namun, sepagi itu ia sudah menyelesaikan tugasnya. Ingin rasanya ia merajut mimpinya kembali, tetapi matanya tak bisa terpejam meski sudah ia coba beberapa menit lalu. Sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah bersantai ria. Sesekali Ara menengok ke belakang, melihat anaknya, Kay yang kini sudah berusia tiga tahun sudah membuka matanya atau belum. Sembari menunggu sosok yang bergelung di balik selimut terbangun, bibirnya bersenandung kecil guna mengusir kebosanannya. Entah karena ia terlalu memanjakan Kay atau memang anak diusia seperti itu selalu menangis ketika bangun tidur, membuat Ara harus siaga di dekat anaknya ketika dia terlelap. Ara berjingkat pelan keluar kamar. Melangkah menuju dapur mencari air minum untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Maaa." Suara serak khas orang sehabis bangun tidur di susul suara tangisan membuat Ara cepat menuntaskan minumannya. "Iya, Sayang." Ara balas berteriak. Memberi tanda kalau ia tidak meninggalkan anaknya seorang diri di kontrakan minimalis itu. "Mama," suara Kay menggelagar lebih keras. Tangan Ara sigap membuka pintu. "Mama di sini, Nak." Ara cepat mendekati bocah yang kini sudah bisa mengoceh memanggil namanya dengan sebutan Mama dan Adam dengan sebutan papa. "Wah. Anak Mama sudah bangun ya." Ara mendekap Kay erat. Jemarinya tergerak untuk menghapus sisa air mata Kay. Kay terdiam di tempatnya. Ia terisak pelan kala berada di pelukan ibunya. Ara membawa Kay menuju dapur. Seperti biasanya, ia akan merebus air hangat untuk Kay mandi, lalu mengajak anaknya berjemur sembari menunggu air mendidih. Ara memandikan Kay dengan telaten. Satu aktifitas yang dulu jarang sekali ia lakukan. Mungkin persentasenya hanya lima persen. Tapi kini semuanya telah terbalik. Ara jarang sekali meninggalkan Kay. Bahkan ketika memasak, ia mengalah dengan menggendong Kay ketika gadis kecilnya ingin bersamanya. Sesuainya membersihkan Kay, Ara langsung memberikan sarapan pagi untuk anaknya. Ara selalu bersyukur dengan pekerjaan Adam sebagai montir di dealer yang cukup terkenal di kota Bandung, karena pekerjaan itu semakin membuat hidupnya berkecukupan. Meskipun demikian Ara sama sekali tak berniat untuk menyewa ART. Ia sudah berniat untuk membesarkan Kay denagn tangannya sendiri dan mengurus Adam. Tidak ada lagi kata kelaparan dalam kamus hidupnya. Tidak ada lagi kata pertengkaran dalam keluarga kecilnya. Hubungan mereka sangat harmonis. Ara benar-benar merubah semuanya. Namun, hal ini membuatnya bertanya-tanya. Kapankah ia akan kembali ke masa depan? Mungkinkah masih ada yang harus ia rubah? Saat memikirkan hal itu suara Kaylani terdengar nyaring di gendang telinga Ara. "Ma ... Mama ... Inum," ucap gadis mungil yang kini berusia tiga tahun sembari menggerak-gerakan tangan Ara. "Kay mau minum?" tanya Ara yang memastikan jika dirinya tidak salah mengartikan ucapan sang anak. Setelah mendapatkan anggukan dari Kaylani, Ara buru-buru mengambilkan air putih untuk Kaylani. "Pelan-pelan, Sayang. Nanti kau tersedak," ucap Ara saat melihat Kaylani yang buru-buru air putih yang ia ambilkan. "Kay ... Nak ain ... Ama emen, Mah. Halus bulu-bulu nanti di inggal." "Kay mau maen sama teman, jadi buru-buru minum takut ditinggal?" tanya Ara mengartikan kembali ucapan yang keluar dari mulut mungil itu. "Iya." Kaylani menjawab ucapan Ara sembari menganggukkan kepalanya. "Lain kali gak boleh begitu ya, Nak. Nanti kalau tenggorokan Kaylani sakit bagaimana. Mama nanti sedih loh," ujar Ara sembari menampilkan ekspresi cemberut. "Maaf, Ma. Lain kali Kay gak ulangi Agi," jawab Kaylani sembari menangkup wajah Ara, tak lama Kaylani memberikan hadiah sebuah ciuman pada dua pipi Ara. "Baiklah, janji?" Ara menyodorkan jari kelingkingnya pada Kaylani. Gadis kecil itu langsung menautkan jari kelingkingnya yang mungil. "Kay ain hulu ya, Ma." "Iya, sayang. Jangan jauh-jauh ya." Ara menatap punggung gadis mungil itu hingga menghilang. Rasanya sangat menyenangkan bisa menjadi translator bagi sang anak. Kenapa dulu ia justru menyia-nyiakan kesempatan seperti ini. Pantas saja saat bercerai di ruang persidangan Adam merasa putus asa dengan sikapnya yang sama sekali tidak memperdulikan Kaylani. Nyatanya gadis kecil itu memang membutuhkan kasih sayang, bukan gelimang harta. Tidak dipungkiri saat umur Kaylani menginjak usia tiga tahun, dirinya sudah disibukkan dengan bermacam-macam syuting. Entah itu film layar lebar atau sinetron dengan episode yang cukup panjang hingga menyita waktunya. Ara segera membereskan peralatan makan Kay. Meski rasanya malas, tetapi tetap ia paksakan. Hitung-hitung untuk membuang waktu menunggu Adam pulang. Ara menoleh ke jam yang bertengger dengan anggun di dinding. Masih ada sisa wkatu tiga jam sebelum memasuki jam makan siang, dan seperti biasa Adam akan pulang untuk makan siang bersama. "Sebentar lagi bang Adam pulang. Aku harus menyiapkan makan siang," gumam Ara. Namun, sebelum itu ia mengawasi sang putri memastikan jika Kaylani bermain dengan teman dan hanya berada di sekitar halaman rumah. "Kay, Mama mau masak dulu buat papa, Kay jangan jauh-jauh ya mainnya." Ara berteriak agar Kaylani mendengar ucapannya. "Iya Ma," sahut Kaylani yang kini terlihat masih asyik bermain boneka barbie bersama teman sebayanya di halaman rumah. Baru saja kaki jenjang Ara ingin memasuki dapur minimalis. Suara yang sangat ia kenal memanggilnya. "Nang," panggil Adam. Ara yang tahu suatu itu, ia langsung mengurungkan niatnya, dan bergegas menghampiri adam. "Loh, Abang sudah kembali? Ini belum jam istirahat Bang dan Neng juga belum masak untuk makan siang kita," jelas Ara. Wajah Adam nampak lesu, tidak ada niat untuk menjawab ucapan Ara. Biasanya Adam akan langsung berkata seromantis mungkin untuk menyahutinya. Menjadi istri Adam yang sudah bertahun-tahun Ara sepertinya mengerti dengan sikap Adam, yang pastinya sudah terjadi sesuatu. "Ada apa Bang?" tanya Ara. "Neng, dealer tempat Abang bekerja sekarang lagi sepi. Manager tadi menyuruh Abang untuk pulang," jelas Adam. "Abang gak dipecat kan?" Ara bertanya dan menunggu jawaban Adam dengan harap-harap cemas. Ara sudah merubah semua hingga keadaan seperti ini tertulis dalam kehidupannya. Apakah sekenario baru dalam hidupnya akan berubah lagi? Satu jika semua berubah ia tidak ingin kembali hidup serba kekurangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD