Kebahagiaan itu menghampiri

1087 Words
Ara mematut kemeja yang terasa hangat di tangannya. Menandakan bila baru saja ia selesai menggosok baju itu. "Neng, kau sedang apa?" tanya Adam yang baru bangun, saat tubuh sang istri tidak ada ia lantas mencari keberadaannya. Ara membalikkan tubuh, sorot matanya terlihat ceria. Dijulurkan pakaian yang sudah ia rapikan pada Adam. "Lihat, Bang. Aku menemukan baju yang cocok untukmu berangkat interview." Adam tercengan dibuatnya. Ia sontak meraih kemeja pemberian Ara. "Ini bukannya kemeja Abang waktu ijab kabul dulu?" "Iya, Bang. Tak apalah kau pakai dulu." Nada suara Ara sedikit kesal. Sebenarnya ia juga sayang kalau Adam menggunakan baju itu. Namun, hanya itu pakaian yang pantas. "Tidak perlulah. Abang bisa pakai kemeja yang lain." "Mau pakai yang mana, Bang? Kemeja Abang rata-rata berwarna hitam dan abu. Abang kan mau interview. Harus memakai baju warna putih," kesal Ara. "Satu dua kemeja putih Abang punya. Kita bisa memilih yang paling baru warnanya." Adam mengembalikan kemeja yang diberikan Ara. Ia beranjak mendekati lemari dan memilah-milah. "Pakai yang ini saja, Bang." Ara mengerucutkan bibirnya. Di tangan Adam kini memegang dua kemaja putih. Namun, warna keduanya sudah cacat. "Kau pilih yang mana, Neng?" Ara mengeleng tegas. "Yang ini saja. Titik." "Bagaimana kalau yang ini?" Adam mengabaikan raut keberatan dari Ara. "Warnanya sudah memudar, Bang. Itu bahkan sudah sedikit menguning," cetus Ara. "Kalau begitu, Abang pakai yang ini saja." Adam menjatuhkan pilihannya pada kemeja yang satunya. "Bang," sungut Ara tak terima. Di kemeja itu tercetak jelas noda warna pakaian lain yang melunturinya. "Neng, ini hanya interview. Tidak perlu berlebihan." "Terserahlah." Ara melempar kemeja yang dipegangnya ke arah ranjang. Tidak mau berdebat panjang. "Iya ... iya Abang pakai yang ini." Adam cepat mengambil kemeja yang baru saja mendarat di atas ranjang. "Ter se rah," seru Ara yang tengah berjalan ke arah dapur. Bersiap menyiapkan makanan. "Ck. Kenapa dia marah-marah." Adam memijat keningnya lembut. Lantas beralih ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sama seperti pagi-pagi waktu lalu, Ara menjalani rutinitasnya untuk menyiapkan sarapan. Tangannya bergerak cepat menyiapkan bumbu untuk membuat nasi goreng. Menumisnya dalam minyak panas, memasukkan nasi putih setelah bumbu berwarna kecoklatan. Lalu mengaduknya rata sampai matang. Lima belas menit berkutat di wajan penggorengan, nasi goreng spesial ala Ara telah siap disajikan. Tak lama berselang, Adam muncul dengan stelan pakaian hitam putih. Rambutnya yang masih basah menambah kesan ketampanannya. Adam menyilangkan kakinya, duduk berhadapan dengan Ara. Ditatapnya wajah cantik Ara yang terlihat imut dengan ekpresi wajahnya yang masih kesal. "Kenapa istri Abang masih cemberut begitu? Abang sudah menuruti kemamuanmu kan?" Ara masih acuh. Ia asyik mengunyah makanan dalam mulutnya. Adam menyelipkan rambut Ara yang terurai menyibakkan ke belakang telinga. "Masih marah?" tanya Adam. "Hmmm." Ara bergumam pendek. Malas menyahuti pertanyaan retoris Adam. "Baiklah, Abang minta maaf telah membuatmu marah. Jangan cemberut lagi, nanti cantiknya hilang." "Huuuh. Jangan menggodaku. Itu tidak mempan." Adam menggaruk tengkuknya. Tidak berani menggoda Ara lagi. Jika sudah mode singa begitu, jangankan menggombal, hanya melirik saja Ara pasti akan marah-marah. "Oh ya, Bang. Kalau nanti kau tidak bekerja jadi kuli panggul lagi, bagaimana kita membeli kebutuhan besok?" tanya Ara mendadak teringat dengan kondisi keuangannya yang pas-pasan. Adam terdiam sebentar. Ia tidak terpikir sampai sana. Dirinya hanya senang karena berpikir akan mendapat gaji besar. Sehingga lupa kalau ia butuh gaji harian untuk membeli kebutuhan sehari-hari. "Emm begini saja." Adam menjeda kalimatnya, tatapan matanya terlihat ragu untuk mengatakannya. "Jangan bilang kalau Neng suruh ngutang lagi di warung sembako depan," cetus Ara. Ara memutar bola matanya malas. Bila masalah penampilan, mungkin ia akan menang. Tetapi dalam masalah mencari pinjaman hutang, maka dia yang harus mengalah. Adam nyengir lebar. Tebakan Ara memang tidak keliru. "Semoga saja bos Abang murah hati. Jadi kalau Abang diterima, Abang akan minta agar gaji Abang dibayar mingguan." "Nanti kalau gaji Abang masih sisa, Abang janji akan ajak Neng dan Kay jalan-jalan ya," ucap Adam berusaha mendinginkan Ara. "Jangan banyak berhalu, Bang. Kebutuhan kita banyak. Walaupun ada sisa juga untuk membayar hutang. Sudah, lanjutkan saja sarapannya." Ara menyuap gusar makanannnya. Ucapan Adam tak berhasil mengembalikan moodnya. Sarapan kembali berjalan dalam lenggang. Bibir Adam terasa kelu hendak membalas ucapan Ara. Ia tahu betul. Istrinya tidak akan mempan diberi janji, tetapi dia mau sebuah bukti. "Ini minumlah." Ara mendekatkan segelas teh hangat pada Adam. "Terima kasih, Neng." Pelan Adam menyeruput teh manis buatan Ara. "Iya." "Abang pamit berangkat dulu. Doakan Abang agar diterima." Adam bangkit dari duduknya diikuti Ara. Sepasang suami istri itu melangkah beriringan menuju beranda. "Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu,Bang. Semoga Tuhan mempermudah langkahmu dalam menacri nafkah." Ara tulus mengucapkan doanya. Kekesalannya sirna di detik kepergian suaminya. Ia tak mau kalau membebani pikiran Adam. Diantar lambaian tangan Ara, lambat laun punggung Adam kian menjauh dari pekarangan rumah. Menyisakan Ara yang kini dilanda sepi. *** Setapak demi setapak jalanan kota Bandung Adam lalui dengan sabar. Hingga sampai di sebuah bangunan megah dengan plang bertuliskan SJ motor. Adam menghentikan langkahnya, ia sekali lagi membenarkan pakaian yang dikenakan, memastikan jika ujung kemeja yang dipakainya masuk sempurna dalam celana hitam panjang yang melekat sempurna di kakinya. ​ Dengan bermodal Bismillah, Adam memberanikan diri menemui sang manager. "Selamat pagi, Pak." Adam mengganggukkan kepala, menyapa lebih dulu pria paruh baya di depan dengan diimbuhi senyuman. "Pagi, Pak Adam." Pria itu balas tersenyum. Ia kagum dengan kerajinan Adam. Calon pekerjaannya tepat datang waktu pukul 08.00 wib. Proses intervew segera berlangsung. Sang manager semangat melempar berbagai pertanyaan pada Adam. Adam cukup tangkas menjawab semua pertanyaan yang ditujukan untuknya. Karena inilah, diujung wawancara, sang manager langsung menerima Adam sebagai pegawainya. "Selamat pak Adam, Anda diterima. Besok Anda bisa mulai bekerja." Senyum tercetak jelas di bibir Adam ia pun langsung menjabat tangan manager itu. "Terima kasih, Pak." Setelah selesai Adam gegas pulang untuk memberi tahu Ara jika besok ia bisa langsung bekerja. Hanya butuh waktu setengah jam agar Adam bisa sampai di gubuk reyotnya. "Neng, Neng!" panggil Adam setelah ia sampai di rumah dan seperti biasa Adam duduk di kursi rotan depan pintu. "Ada apa Bang? jangan berisik Kay, sedang tidur," ujar Ara sejak tadi ia menidurkan Kaylani, tapi bayi itu sepertinya enggan untuk memejamkan matanya. "Abang, bawa kabar gembira," ucap Adam yang sengaja ia gantung. "Abang diterima?" tebak Ara. "Yah... Padahal Abang mau ngerjain Neng, tapi udah ketebak duluan," ujar Adam seperti merajuk. "Abang kayak anak kecil saja. Jadi benar Bang, Abang diterima?" ulang Ara sekali lagi memastikan. Saat mendapatkan anggukan dari Adam, Ara langsung menghamburkan diri memeluk sang suami. Ara sangat senang dengan kabar yang dibawa Adam mungkin ini jalan yang harus ia tempuh, tidak usah menjadi artis agar bisa selalu dekat dengan Kaylani dan menjadi istri yang baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD