Dipecat

1048 Words
Adam mendesah berat. Bibirnya terasa kaku hendak menjawab pertanyaan Ara. Toh ia yakin, ekpresi wajahnya yang kusut sudah menjelaskan semuanya. "Neng, kau buatkan Abang kopi dulu. Tenggorokan Abang terasa kering setelah berjalan kaki." "Bang," pekik Ara kesal. Di saat serius seperti ini Adam justru berani mengalihkan topik. Adam menelan ludahnya takut-takut. Terkadang ia heran dengan sifat Ara. Bisa saja saat ini dia selembut kapas, tapi bisa juga detik berikutnya ia berubah galak seperti induk ayam. "Kau pasti sudah bisa menebaknya, Neng," jawab Adam lirih. Pandangannya tertuju ke arah lain saat mengatakan kalimatnya. Tak kuasa melihat reaksi Ara yang tampak lesu. Tubuh Ara melemas seketika. Ia memijat pelan kening yang kini berdenyut nyeri. Merasa bodoh karena terus mendesak Adam menjawabnya. "Neng, maafkan Abang. Andaikan boleh memilih, Abang juga tak ingin dipecat." "Tapi kenapa, Bang? Alasannya apa, bukankah selama ini Abang sudah loyal terhadap kerjaan Abang?" tanya Ara, kabar ini seakan dadakan untuknya. Tidak ada angin atau pun hujan kenapa tiba-tiba badai kembali datang. "Bengkel mulai sepi pengunjung, Neng. Manager terus mengambil keputusan untuk mengurangi tenaga kerjanya, bukan Abang saja yang dipecat ada beberapa karyawan lainnya yang juga terkena PHK masal," jelas Adam, dirinya tahu di sini pasti bukan ia saja yang nampak syok dengan kabar ini, tentunya Ara juga merasakan hal yang sama. Baru saja keluarga kecilnya keluar dari masa sulit kini kembali lagi harus merasakan hal yang sama. "Sudahlah, Bang. Setiap yang terjadi adalah jalinan benang takdir yang tak bisa dirubah. Kita tak bisa menolaknya hal buruk itu agar tidak terjadi," tutur Ara dengan lembut, meskipun ia juga merasa kecewa, tetapi Ara tak bisa sepenuhnya menyalahkan Adam. "Kau tak perlu khawatir, Neng. Abang akan cari pekerjaan lain secepatnya," bujuk Adam menghibur Ara. "Pekerjaan apa yang bisa didapat dengan cepat? Kembali lagi menjadi kuli panggul, astaga! Kebutuhan bertambah banyak seiring dengan Kaylani yang tumbuh dewasa," batin Ara seakan meronta-ronta, ia ingin sekali melontarkan kalimat itu pada Adam. Namun, untuk sementara ini ia akan memilih diam. "Aku buatkan kau kopi dulu, Bang. Jernihkan dulu pikiranmu, baru nanti kita lanjut mengbrolnya." Ara memilih untuk berlalu dari hadapan Adam. Ia takut jika dirinya tak bisa mengontrol emosinya dan malah memperkeruh suasana. "Terima kasih, Neng." Adam melepas kepergian Ara dengan senyuman tipis. Di dapur, Ara menarik napas dalam-dalam. Menghirup udara yang sebanyak mungkin untuk menyegarkan hatinya yang memanas. Mungkinkah dirinya akan terlilit dalam kehidupan serba kekurangan? Ara menggelap gusar wajahnya. Bayangan kenangan tiga tahun silam saat Kay masih bayi berputar kembali. Hidup kekurangan ditambah harus kelabakan mencari hutang ke sana kemari. Meski hanya berjalan beberapa minggu, tapi percayalah, rasanya sangat mengganggu. "Neng," suara teriakan Adam membuyarkan lamunan Ara. "Iya, Bang." Ara cekatan meracik segelas kopi hitam. Tak butuh waktu lama, Ara telah kembali dengan secangkir kopi. "Kau lama sekali," protes Adam. Sangat mengatakan kalau tenggorokannya kering, itu memang sungguhan. Bukan sekedar topik peralihan. "Maaf, Bang. Ara tadi harus merebus dulu airnya." Ara menyodorkan minuman berwarna hitam buatannya pada Adam. "Neng mau melanjutkan masak dulu. Sebentar lagi waktu makan siang. Kasian Kay kalau dia lapar tidak ada makanan." Ara bersiap beranjak dari tempatnya. Namun, tangannya lebih dulu dicegah oleh Adam. "Duduklah dulu. Temani Abang," pinta Adam. Meminum kopi sembari menatap wajah cantik milik Ara, cukup ampuh menjernihkan pikirannya. "Ck, manja sekali," gerutu Ara sebal melihat Adam yang tampak santai menyeruput minumannya sedangakn ia hanya menonton. "Apa kau mau?" Adam mendekatkan cangkirnya pada bibir Ara. Ara menggelengkan kepalanya. Menepis tawaran Adam. "Abang habiskan saja." "Tapi ini enak." Adam sekali lagi menenggak kopinya dengan mimik penuh menggoda. Ara tersenyum simpul. Tingkah Adam berhasil membuat kekesalannya sedikit berkurang. "Ini serius, Neng. Makanya kau harus mencobanya." "Mama ...." Suara lengkingan dari arah luar rumah membuat Adam dan Ara menolehkan pandangannya. Mereka terkejut dengan suara itu yang disusul dengan suara tangisan. "Kay." Lirih Ara cepat bangkit dari duduknya. Tergopoh berlari ke luar rumah. "Sayang, kau kenapa?" tanya Adam yang penasaran dengan tangisan anaknya. Ia merendahkan lututnya untuk menyamai tinggi Kaylani. "Kay mau ainan haru, Pa," ucap Kaylani dengan nada sesegukan. "Mainan baru?" Kening Adam mengernyit tipis. Ia ingat jika baru kemarin ia membelikan Kay mainan baru, satu set barbie. "Kay mau mainan seperti punya Aline." Adam melirik ke arah Ara. Tatapan matanya meminta agar istrinya mau membantunya menenangkan kay. "Sayang, kau kan baru beli mainan baru. Kenapa sekarang minta lagi?" "Tapi Kay au yang haru," ujar Kaylani tak mau keinginannya dibantah. Ara menghela napasnya dalam-dalam. Ia sangat tahu jika Kaylani menginginkan sesuatu itu harus segera ada, jika tidak semua akan berimbas pada kesehatannya. Pernah saat itu ia menginginkan boneka panda yang besar, tapi saat itu Adam belum gajian. Hal itu membuat permintaan sang anak pun tertunda, dan pada saat itu juga tubuh Kaylani langsung mendadak panas. "Kay mau dengerin omongan Mama sebentar gak?" ucap Ara mencoba sebisanya memberikan pengertian pada Kaylani. "Ndak au Ma, Kay hanya au ainan halu." Gadis kecil itu langsung merajuk dan masuk ke dalam kamar. Ara pun kini menatap Adam penuh harap agar sang suami bisa memenuhi permintaan sang anak. "Neng, kau bujuk dulu anakmu itu. Uang kita hanya cukup untuk akhir bulan kan? Belum untuk membayar kontrakan, jika dipakai buat membeli mainan, apa kita harus puasa untuk beberapa hari?" ungkap Adam meminta pengertian Ara. Ara tidak suka dengan ucapan Adam anakmu bukankah Kaylani anak dia juga. Terkadang lelaki apa tidak pernah berpikir dari mana benih yang didapat seorang wanita hingga menjadi seorang buah hati. "Neng, ayolah, segera bujuk anakmu. Sebelum makin merajuk dan tubuhnya akan panas lagi," ujar Adam, saat melihat tidak ada jawaban dari Ara. "Bang, Kaylani itu bukan hanya anakku saja, tapi anak Abang juga. Kenapa kita tidak membujuk dia bersama!" seru Ara yang sudah tidak bisa mengontrol emosinya. "Neng, jangan marah. Maksud Abang tidak seperti itu. I ... Itu hanya sebuah sebutan saja Neng," jelas Adam dengan nada terbata-bata. Sejak tadi ia berbicara panjang lebar kenapa hanya kata anakmu yang masuk ke gendang telinga Ara. "Ya, sudah. Kita bujuk bersama. Kau sangat tahu bagaimana watak anakmu itu, yang ingin sesuatu harus ada saat ini juga," putus Ara dengan menekan kata anakmu. Adam pun mengangguk mengikuti ucapan Ara. Wanita jika saat moodnya tidak bagus bisa langsung membuat keadaan horor mengalahkan suasana horor pada malam Jum'at Kliwon. Saat Ara dan Adam menuju kamar untuk membujuk Kaylani. Ara terus memikirkan nasib perekonomian keluarganya, jika Adam tidak bekerja apa ia harus terjun ke dunia entertainment?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD