Kecemasan Adam

1163 Words
Sorot mata Ara, memandang Rayhan penuh dengan kebanggaan. Dirinya kini bisa membuktikan jika dia orang yang berbakat, selain itu Ara juga bangga saat dirinya terjebak dalam masa sekarang dia masih bisa berakting dengan sangat apik. Ara aku mungkin saat waktu casting itu dia terlalu syok dengan naskah yang diberikan sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi. Apalagi isi dari naskah itu sangat mirip dengan kehidupan yang ia jalani sekarang ini. "Baik, Maharani. Karena kau sangat mampu memerankan tokoh Jeslyn yang gak lain adalah pemeran utama dalam film sebuah penyesalan ini. Maka aku putuskan peran itu akan diberikan padamu," ucap sang sutradara yang langsung mendapatkan tepuk tangan dari orang-orang yang berada di ruangan itu. "Terima kasih, Pak Sutradara. Saya berjanji akan bekerja lebih giat lagi saat bermain film nanti," sahut Ara. "Karena sudah ditetapkan semua pemain, syuting akan dilakukan tiga hari lagi sesuai dengan jadwal yang ada. Saya harap semua bisa bekerja lebih baik lagi demi kesuksesan film ini," papar sang sutradara Jawab baik mereka lontarkan secara bersamaan, beberapa orang langsung membubarkan diri termasuk wanita yang ditunjuk oleh Rayhan sebagai pemeran utama yang nyatanya dia gagal. Ara turun dari panggung teater, dirinya langsung menghampiri Rayhan dan berkata, "Kau tahu pemenang selalu di belakang dan dia yang Awalnya di depan bisa jadi berada yang paling belakang? Lain kali jangan meremehkan orang sebelum kau mengenalinya, bisa jadi dia menjadi bom waktu untukmu." "Kau jangan besar kepala. Dunia entertainment tidak akan selalu bisa membawa dirimu akan terbang di atas untuk selamanya, kau pasti akan jatuh suatu saat nanti," ujar Rayhan meluapkan kekesalannya. "Kau hanya anak kemarin, aku tahu itu!" sahut Ara sembari melangkahkan pergi meninggalkan Rayhan menuju Brian. "Kau sudah selesai?" tanya Brian saat melihat Ara yang kini tengah berjalan kearahnya. Lelaki itu sama sekali tidak ingin ikut campur dalam masalah Ara dan Rayhan. "Sudah." "Ayo, kita ke mobil nanti aku akan memberikan surat kontrak yang harus kau tanda tangani," perintah Brian. Ara mengangguk patuh, dan mengikuti langkah Brian. *** Sementara di Bandung, Adam sedang gelisah melihat Kaylani tertidur tak berdaya di atas ranjang, sudah sejak pagi adam meminta Kaylani agar bangun dan makan. Namun, anak itu masih tidak merespon. "Kay, bangun Nak," ucap Adam. Jemarinya langsung memegang kening Kaylani, Adam langsung berseru panik saat merasakan hangat yang menjalar di telapak tangannya. Bibir mungil itu terbuka sedikit, tetapi hanya gumaman tak jelas yang keluar. "Kay, jangan buat Papa cemas, Nak. Kay bangun ya, kita sarapan dan minum obat!" balas Adam. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, tetapi ia masih diam di rumah. Seharusnya, di jam-jam seperti ini ia berada di lokasi proyek dan mulai mengais rezeki. "Ma ... ma," ujar Kaylani lirih. Kepergian Ara meninggalkan rasa kesepian di hatinya. Ia tak berhenti terus memikirkan Ara hingga jatuh sakit. Bola mata Adam memanas. Berpikir keras bagaimana cara membujuk Kaylani. Sudah sejak pagi buta ia mencoba menghubungi Ara, tetapi tak ada sahutan darinya. Bahkan pesannya juga belum terbalas. "Sayang, Mama kan lagi kerja buat beli mainan Kay. Sekarang Kay di sini sama Papa ya." Adam menarik napas berat. Minim harapannya agar Kay menuruti ucapannya. Ia tahu betul watak Kaylani sangat dekat dengan Ara, hanya dengan bertemu ibunyalah gadis cilik itu bisa sembuh. "Kay au Mama," jelas Kaylani dengan mata terpejam. Ucapan Kaylani membuat Adam frustrasi. Ia hanya bisa membelai lembut dahi Kaylani agar gadis itu merasa nyaman. "Kay, Mama sedang pergi. Kay tahu kan?" ujar Adam mencoba agar Kaylani mau mengerti. Hatinya merasa sesak melihat kondisi Kaylani, yang nampak melemah. Ucapan Adam bagai angin lalu di telinga Kaylani. Gadis itu ingin sekali mamanya kembali. Ia memang tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tetapi keinginan Kaylani sangat kuat hingga melemahkan tubuhnya. "Kay," pekik Adam. Ia beranjak meraih ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Jemarinya cepat mencari nama Ara. Suara nada tuts panjang membuat Adam gemas. Apakah naluri keibuan Ara sudah tidak berfungsi? Memikirkan itu Adam semakin kalut. Ia takut, suatu saat Ara akan meninggalkannya karena sibuk mengejar karirnya. "Neng, Abang mohon, tolong angkat teleponnya," desis Adam penuh penghayatan memohon. "Mama," lirih Kaylani tak sabar. Ia ingin Ara sekarang juga memeluknya! Adam tak lelah memencet kontak Ara untuk menghubunginya. Lagi-lagi hanya suara nada tut panjang yang menyahuti Adam. "Sayang, sabar ya. Ayah sedang mencoba menghubungi Mama Ara." Penantian Adam kini telah berakhir, suara Ara telah masuk ke sambungan telepon. "Bang, Neng punya kabar gembira, Neng mendapatkan peran utama dalam film," ucap Ara tertawa riang. "Neng, bisakah kau pulang sekarang? Kaylani sakit," pungkas Adam membuat tawa Ara terputus seketika. Niat hati agar Ara luluh, tetapi jawaban Ara sangat di luar ekspektasinya. "Aku sudah susah payah berjuang untuk mendapatkan peran, dan Abang menyuruh Neng pulang? Astaga Bang, apa kau tak bisa sedikit saja menghargai diriku?" cecar Ara dengan nada tinggi. "Bukan begitu, Neng. Tapi Kaylani terus memanggil namamu," ujar Adam. Ekspresi wajahnya tampak kusut. Tersirat jelas kelelahan yang amat dari sorot matanya jika harus berdebat dengan Ara. Bersitegang dengan sosok yang hadirnya tengah dirindukan? Aah ... Adam memilih untuk mengesampingkan ego nya. Jika bicara halus saja tidak mempan, apalagi ikut membentak seperti Ara? Sudah pasti wanita itu akan semakin naik pitam! "Maaf, Bang. Bukannya aku tak peduli dengan Kay, tetapi ini demi masa depannya. Kau pasti bisa mengurusnya," Tutur Ara menurunkan volume suaranya. Ara tidak ingin perdebatan keluarganya didengar Brian yang kini berada di sampingnya. Mendengar suara Ara yang tampak keberatan, Adam memutuskan untuk keluar kamar. Mencari tempat yang aman untuk bernegosiasi. Ia merasa kasihan kalau Kaylani sampai mendengar penolakan ibunya sendiri. "Abang, Mohon Neng. Tubuh Kay panas dan dia sekarang menggigil. Dia tidak mau makan, dia hanya mau dirimu," jelas Adam. "Mungkin Kaylani hanya sakit biasa, Bang. Kau bujuk saja dia untuk makan dan minum obat. Pasti nanti sembuh. Kemarin dia juga baik-baik saja saat Neng tinggal. Jadi jangan panik." Adam menggeleng lemah. Tidak percaya Ara akan menjadi sekeras itu. "Ayolah, Neng. Seorang anak pasti akan cepat sembuh jika dirawat oleh ibunya." "Tapi posisiku sekarang sedang tidak memungkinkan, Bang. Lagi pula kan kau ayahnya, kau juga harus bertanggung jawab atas kesembuhan Kay, bukan aku saja," sergah Ara bersikeras. "Baiklah, Neng. Kalau begitu, kau bujuk Kaylani agar dia mau makan ya." Adam akhirnya mengalah, bertengkar dengan Ara pun percuma. Bukannya mendapat solusi, tapi justru memancing emosi. "Oke, berikan saja ponselnya pada Kaylani," balas Ara membalik bada bersiap pergi. Adam kembali masuk ke dalam kamar. Duduk di pinggiran ranjang. "Kay, ini Mama. Coba Kay bicara dengan Mama," tutur Adam sembari menatap punggung wajah pucat Kaylani dengan iba. "Kay, ini Mama sayang. Kay baik-baik saja kan?" ujar Ara. "Mama, kay au Mama," seru Kaylani dengan terisak, menumpahkan segala tekanan batinnya. "Kay, Sayang. Kemarin sudah mengizinkan Mama pergi. Sekarang Kay nurut sama Papa ya," jawab Ara lembut. "Tapi Ma ... " "Kay sudah janji sama Mama menjadi anak yang baik. Mama tidak akan lama di sini. Kay makan dulu sekarang ya?" sahut Ara cepat. "Baik, Ma." Terdengar nada suara Kaylani yang kecewa saat keinginannya tidak terpenuhi. Namun, hal itu tidak dihiraukan Ara, wanita beranak satu itu mematikan ponselnya lalu kembali membaca surat kontrak yang diberikan Brian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD