Miniera - 1

1652 Words
Sebuah mobil tengah berhenti di basement gedung bertuliskan Elias Grup. Gedung yang menjulang tinggi itu memiliki sepuluh lantai yang nampak dari luar. Seorang pria tengah berdiri menyambut mereka berdua. Pria itu adalah Sean, pemimpin Elias Grup ,sekaligus pemimpin mafia bernama Black Eagle. Zeon turun dari mobil itu ,lalu ia menggendong Alexa untuk masuk ke dalam gedung melalui pintu darurat. "Bagaimana kondisi terakhirnya?" tanya Sean pada Zeon. "Tiba-tiba saja ia pingsan saat menghadiri acara pemakaman pengawal pribadinya," jelas Zeon. "Aku sudah mendengar tentang Luca dari Hunt, aku turut berduka," ujar Sean. "Kemana kita akan pergi?" tanya Zeon memastikan. "Ke ruang bawah tanah, di sana aku akan mengobati Alexa." Pintu lift terbuka, mereka masuk ke dalam sana dan menuju lantai bawah yang sudah di desain secara khusus oleh Sean. Ting ... Sampai di ruang bawah tanah ,mereka disuguhkan sebuah pintu kaca berukuran besar dan terkunci rapat. Sean menyentuhkan kelima jarinya pada pintu kaca tersebut, dan secara otomatis tersensor hingga pintu terbuka. Lantai ruang rahasia yang memiliki teknologi canggih itu didesain khusus dalam segi keamanan. Seluruh dinding dari kaca kedap suara, kaca yang tak dapat ditembus peluru dan bahkan takkan hancur dengan bom sekalipun. Sean berjalan memasuki sebuah ruang dengan berbagai peralatan canggih untuk mencari berbagai informasi yang dibutuhkannya.  Zeon merebahkan Alexa pada ranjang khusus yang sudah tersedia di sana. Lalu Frans mulai memeriksa kondisi gadis itu. Frans adalah dokter yang khusus menangani virus nipah, pria itu terlihat sedikit bingung saat melihat kondisi Alexa. "Aku harus melakukan tes di laboratorium, dan sepertinya kau harus mencari wanita itu," ujar Frans pada Sean. Frans menatap tajam pada Zeon yang terlihat begitu mencurigakan. Pria itu akhirnya bertanya pada Zeon mengenai siapa dirinya. "Tubuhmu terlihat lain dari seorang manusia biasa. Apa kau ini sebenarnya?" tanya Frans ingin tahu. "Virus itu menular bukan? Aku memiliki tubuh yang tidak bisa merasakan sakit, juga tidak mudah terluka, aku didesain untuk menjadi senjata dan pelindung keluarga Camorra. Aku adalah seorang mutan gen X," jelas Zeon. "Pantas saja kau terlihat santai saat menggendong tubuh anak itu. Baiklah, bawa tubuh anak itu ke ruangan khusus ,ikuti aku," ujar Frans. Zeon meraih kembali tubuh Alexa lalu membawanya ke ruangan khusus yang sudah didesain khusus agar tidak bisa menyebarkan virus itu. Akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang memang khusus untuk menekan perkembangan virus nipah itu. Zaon merebahkan tubuh Alexa di atas ranjang khusus yang ada di dalam sana. Frans memberikan suntikan pada Alexa ,agar virus itu tidak menyebar dan menekan perkembangannya. Karena virus ini sudah bermutasi dan semakin membahayakan jika terjangkit. "Apa itu obatnya?" tanya Zeon. "Bukan, ini hanya sebagai penekan agar virus itu tidak menyebar ,dan semakin berkembang di dalam tubuh anak ini," jelas Frans. "Lalu kapan kau akan memberikan obatnya?" tanya Zeon memastikan. "Setelah Sean menemukan golden blood," jawab Frans. Zeon memicingkan matanya mendengar kalimat yang baru saja Frans ucapkan.  "Golden blood?" tanya Zeon. "Golden Blood atau darah emas. Darah manusia mungkin terlihat sama oleh semua orang, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Pada permukaan setiap sel darah merah kita, kita memiliki hingga 342 antigen, molekul yang memicu produksi protein khusus tertentu yang disebut antibodi. Antigen inilah yang menentukan jenis darah seseorang. Sekitar 160 antigen ini dianggap umum pada dasarnya, artinya mereka ditemukan pada sel darah merah kebanyakan manusia di bumi ini. Jika satu orang yang kekurangan antigen ditemukan dari 99,99 persen orang di permukaan bumi ini, maka darah mereka dianggap sangat langka. Sistem Rh, atau 'Rhesus' memiliki 61 antigen. Tidak jarang manusia kehilangan salah satu antigen ini, bahkan ada yang kehilangan semua antigen 61 Rh, dan itulah yang dinamakan Rh Null," terang Frans. "Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan?" tanya Zeon lagi. "Menunggu." "Sampai kapan?" "Entahlah, aku harus memeriksa darah anak ini di laboratorium terlebih dahulu, setelah itu aku akan memberitahukan mengenai langkah selanjutnya," ujar Frans sembari melangkah keluar dari ruangan itu. Zeon terlihat sedikit kecewa dengan penanganan yang dilakukan oleh dokter itu. Ia kini duduk di samping Alexa sembari memegang tangannya. "Bertahanlah, Nona." *** "Luca ... apa yang kau lakukan disini?" tanya Alexa. "Menunggumu," jawab Luca. "Wajahmu terlihat pucat." "Kau juga sama," ucap Luca. "Apa kita sudah mati?" tanya Alexa. "Belum, tetapi jika mereka tidak bisa menyelamatkan kita, kita akan pergi ke surga bersama," ujar Luca. Alexa duduk di samping Luca. Mereka seperti berada di sebuah taman, dengan banyak bunga lily di sekitarnya. Alexa mengenakan gaun berwarna putih, dengan rambut yang tergerai panjang. Sementara Luca juga tengah mengenakan setelan jas berwarna putih. Kedua anak itu tidak mengenakan alas kaki, mereka juga melihat sebuah pintu besar dengan dua penjaga di sana. "Luca, siapa mereka?" tanya Alexa. "Mereka? Entahlah, selama aku duduk di sini, mereka juga hanya berdiam diri di sana. Saat aku ingin memasuki pintu itu, mereka menghalangiku, katanya belum saatnya aku melewatinya," jelas Luca. "Kalau begitu aku akan menemanimu duduk di sini," ujar Alexa. "Ya, Kau harus menemaniku. Karena beberapa waktu ini aku merasa kesepian karena harus duduk sendiri," celoteh Luca. Alexa tersenyum, ia begitu senang bisa bertemu kembali dengan Luca. Gadis kecil itu melingkarkan tangannya pada lengan Luca, lalu kepalanya menyandar pada bahunya. "Luca ... aku takut," ucap Alexa. "Kenapa kau takut?" "Karena kau pergi terlebih dahulu," gerutu Alexa "Maafkan aku," ucap Luca menyesal. "Kau tidak salah, Luca. Kau sudah bekerja dengan sangat baik," ujar Alexa. Tidak lama kemudian, Alexa mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Tetapi gadis itu terlihat kebingungan karena tidak dapat menemukan siapa yang tengah menyebut namanya. Alexa melihat wajah Luca yang berangsur merona. Lalu ia juga melihat tubuhnya menjadi transparant. "Nona," panggil Zeon. Alexa membuka kedua matanya perlahan. "Lu-luca ...," rintihnya. "Aku Zeon, Nona." Alexa menatap Zeon yang terlihat khawatir, gadis itu berusaha menampakkan senyumnya, agar tidak membuat pria itu bersedih. "Aku dimana?" tanya Alexa. "Kita berada di Italia, Nona. Tempat Black Eagle," jelas Zeon. "Tubuhku terasa sangat lemas ,Zeon." "Aku tahu, tenanglah ... mereka sedang mencari obat untuk menyembuhkan dirimu." Mata Alexa menatap ke sekelilingnya ,lalu ia berhenti pada sebuah pintu kaca dengan Frans yang berdiri di balik pintu itu. Alexa memicingkan matanya ," siapa pria itu?" tanyanya. "Frans ... dokter yang akan menyembuhkan dirimu," jelas Zeon. Alexa mengangguk perlahan sembari mencoba menggerakkan tubuhnya. Sayangnya, tubuh Alexa terlalu lemah untuk dapat bergerak bebas. Hal itu membuatnya mendengus kesal.  "Aku benci menjadi lemah, Zeon," celetuk Alexa. "Aku tahu, Nona." "Zeon, apa kau bisa menghubungi Daddy? Tiba-tiba saja aku merindukannya," tanya Alexa. "Ruangan ini terlalu sulit untuk mendapatkan signal, Nona." "Baiklah kalau begitu, setidaknya beritahu Daddy untuk memberikan izin padaku." "Izin?" Zeon membeo. "Jika aku sembuh, aku ingin pergi berkeliling dunia sendiri," ujar gadis yang sedang tergeletak lemah di atas ranjang. "Nona, apa kau benar-benar serius?" tanya Zeon memastikan. "Jika tidak, untuk apa aku menyuruh dirimu memberitahu Daddy! Dasar bodoh!" "Baiklah ,Nona." Zeon beranjak dari tempat duduknya, ia berjalan keluar dari ruangan itu menuju lantai atas. Tentu saja Zeon tidak sendiri, ia bersama Arthur agar bisa keluar masuk dengan mudah di sana. "Kau bisa memanggilku jika sudah selesai dengan urusanmu," ujar Arthur. "Ya." Zeon mencoba menghubungi Hunt yang sedang berada di mansion utama.  "Bagaimana kondisi putriku?" tanya Hunt dari seberang telepon. "Nona sedang dirawat oleh mereka," jelas Zeon. "Ada apa?" "Nona ingin aku menyampaikan hal ini padamu Tuan. Ia ingin berkeliling dunia saat sudah dinyatakan sembuh oleh dokter," ujar Zeon. "Kau yakin hanya itu yang ia katakan?" "Nona tidak ingin ada yang mengikutinya selama melakukan perjalanan itu," sambung Zeon. "Sudah kuduga, baiklah. Beritahu Alexa,  aku mengizinkan dirinya untuk berkeliling dunia sendiri," ujar Hunt. Sambungan telepon itu terputus, lalu Zeon kembali menemui Arthur untuk kembali ke dalam ruangan dimana Alexa berada. Zeon memberikan kabar itu pada Alexa dan menyampaikan jika Hunt setuju dengan apapun yang anak itu inginkan. "Terima kasih, Zeon." Zeon menundukkan kepalanya sekilas, lalu ia kembali duduk di samping ranjang. *** Darren berada di mansion Fjord, ia tengah melihat tubuh seorang anak yang seusia dengannya di dalam tabung pendingin. Darren masih belum bisa menemukan bagaimana cara agar chip itu bekerja kembali. Darren bersama Cloud sedang membuat salinan chip yang dulu terpasang di tubuh Luca. Dan anak laki-laki yang ada di dalam tabung itu adalah Luca. "Cloud, kau yakin sudah memindai chip itu sebelum meledak?" tanya Darren memastikan. "Sudah ,Tuan Muda." "Lalu dimana letak kesalahanku? Kenapa chip ini tidak kunjung bekerja," keluh Darren. Anak itu terlihat begitu frustasi karena masih belum bisa menghidupkan Luca kembali. Tidak semudah membuat chip pada tubuh cyborg miliknya, kali ini chip itu harus bisa menghidupkan manusia yang sudah tidak bernyawa. "Cloud, kau sudah memeriksa kondisi tubuh Luca?"  "Sudah, kondisinya masih bagus tanpa ada pembusukan," jelas Cloud. "Bagus, tetap jaga tubuh itu agar tidak membusuk." Cloud mengangguk mengerti, cyborg itu kini sedang memindai chip yang tengah dibuat oleh Darren. Ia menemukan elemen yang hilang di sana. "Tuan, sepertinya kau mengerti sekarang." "Apa maksud ucapanmu, Cloud?" "Tuan, sepertinya chip itu harus memiliki sebuah pemicu, sama seperti chip yang kau buat, kau bisa mencobanya pada hewan terlebih dahulu jika mau," ujar Cloud. "Bagaimana jika aku mengujinya padamu?" Cloud terdiam sejenak, meski hanya sebuah cyborg, tetapi Cloud di ranjang hampir menyerupai manusia biasa. Ia memiliki perasaan dan pola pikir seperti manusia pada umumnya.  "Tenanglah, aku hanya bercanda." Darren beranjak dari tempatnya, ia menyentuh tabung kaca itu dan berkata," kau akan segera kembali, luca." Setelah mengucapkan kalimat itu, Darren berjalan keluar dari laboratoriumnya. Ia menuju kamarnya untuk beristirahat sejenak. "Bagaimana kabarmu, Al?" gumam Darren. Darren merasa sangat kesepian kali ini, ia tidak memiliki teman untuk berbagi kejahilan dan juga berbagi masalah. Anak itu menutup matanya, dan berharap saat ia terbangun sudah ada jalan keluar untuk semua masalah yang tengah ia pikirkan saat ini. Sementara itu di laboratorium, Cloud masih melanjutkan pekerjaan Darren. Hanya tinggal mencoba chip itu pada media yang tepat, dan chip itu bisa di gunakan.  "Kenapa masih saja gagal?" gumam Cloud. Cyborg itu menatap kembali chip itu lalu menyatukannya dengan chip yang sudah terbakar. Cloud melihat ada perbedaan jalur di dalam chip itu, juga ada satu bagian yang memang tidak terhubung di sana, tetapi terhubung di chip yang lama. "Pantas saja kau tidak bekerja, bodohnya aku!" celetuk Cloud.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD