4 BEDA TIPIS ANTARA NAIF DAN BODOH

1292 Words
“Ehhhhh???” Wina terbengong kaget sementara kedua mata indahnya sontak membulat tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Kebalikan dengan Johan yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sangat serius. “Aku setuju…” ulang Johan sekali lagi. “Tunggu..tunggu….” Wina spontan menggaruk kepalanya sendiri yang tak gatal dengan bingung. “Johan, kita belum membicarakan apapun loh?!! Kita bahkan belum deal harga dan bagaimana kalau aku menolak untuk melakukan peran ini? ” “Lalu, apakah kau lupa kalau aku juga yang dulu memutuskan hubungan kita secara sepihak dulu?” Johan mengangguk. “ Ya…” “Tapi aku yakin kalau kau pasti punya alasan lain di balik semuanya ini…” “Dan, aku percaya padamu, Wina…” kata Johan lagi dengan sikap keras kepalanya. Tetap bersikukuh dengan seperti semula. Tidak bergeming. Sementara kedua matanya tetap lekat mengamati sosok indah yang sedang duduk di seberangnya ini. “Kau tidak akan melakukan sesuatu yang mustahil kalau kau tidak memiliki alasan yang kuat untuk melakukannya..” “Mengingat apa yang dulu pernah terjadi diantara kita, aku sudah mengenalmu dengan sangat baik sebelumnya. Kau juga sudah mengetahui tentang keluargaku. Lalu, walaupun aku tidak mengetahui apa yang terjadi denganmu sekarang sehingga kita bertemu dalam situasi tidak menguntungkan seperti ini. Tapi, satu hal yang aku yakin, kau masih seperti Wina yang dulu pernah kukenal…” “Please, Wina?” Sepasang mata indah Wina bekerjapan sementara ia meneguk ludahnya sendiri dengan sangat gugup. Sial! Sudah tidak sengaja bertemu dengan mantan cinta monyetnya sendiri, sekarang, tatapan pria itu dengan sukses berhasil menghipnotisnya. Membuat tembok pertahanannya runtuh perlahan-lahan dan ingatannya bernostalgia ke masa beberapa tahun silam dimana mereka berdua sama-sama masih bocah bau kencur dan mengenakan seragam putih abu-abu waktu itu. …………………………………………… Empat belas tahun yang lalu… “Kita putus, Johan….” Suara gadis yang merupakan pacar pertamanya tersebut terdengar seperti bunyi petir di siang bolong yang terasa sangat menggelegar di telinganya. Bahu pemuda tanggung berwajah menarik yang sedang berdiri di hadapannya, sontak lesu dan kuyu di saat gadis cantik berwajah judes itu mengucapkan 3 kata pembawa petaka itu di depannya. “Kenapa?” tanyanya lagi dengan wajah linglung. Ia tak mengerti. Kesalahan apa yang sudah diperbuatnya sehingga gadisnya ini mendadak memutuskan hubungan mereka secara sepihak tanpa mengatakan apapun sebelumnya. “Karena aku sudah menyukai orang lain sekarang, Johan…” “Maaf….” Saat itu, mereka berdua tengah berada di salah satu spot favorit mereka di kota Bandung. Sebuah lokasi di mana mereka berdua bisa memandang indahnya pemandangan kota yang berkelap-kelip di bawah kaki mereka dari atas ketinggian saat malam mulai menjelang. Sebagi sepasang remaja, keduanya masih dikenakan jam malam yang ketat oleh kedua orangtua mereka karena itu, Johan dan Wina lalu memutuskan untuk mengunjungi tempat ini sebentar sebelum mereka pulang. Saat itu, mereka berdua sama-sama sudah berada di tingkat akhir. Dan, sebentar lagi akan berkuliah. Tapi, Johan sama sekali tak tahu, kalau Wina akan pergi meninggalkannya tanpa pernah membicarakan hal ini sebelumnya. “Kenapa kau tidak pernah membicarakan hal ini padaku sebelumnya, Wina?” Wina menghela nafas panjang dengan berat hati. Ada ekspresi sedih di wajahnya serta kedua sorot matanya yang menerawang jauh nun bawah di sana. Setengah mati berusaha ditahannya sepasang pelupuk matanya yang kini sudah berkaca-kaca. Menahan agar bulir air matanya tak jatuh ke tanah dan akhirnya terlihat oleh pacarnya tersebut. “Maaf…” “Tapi ini sudah keputusanku…” Johan mendengus kasar. “Baiklah…” Pemuda itu berdiri. Rasa sakit hati dan amarah tersirat jelas di wajahnya. Wajah seseorang yang terluka karena sebuah keputusan yang tak adil dan berat sebelah. “Lidwina Andrea, kupikir kau berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Ternyata aku salah besar…” “Ketika aku berharap supaya kisah kita bisa terus berlanjut sampai nanti….” “Ternyata aku salah. Kalau itu keputusanmu…” “Aku bisa bilang apa?” “Selamat tinggal dan sampaikan salamku pada kedua orangtuamu…” Wina terdiam kaku dan tak bergeming ketika akhirnya langkah-langkah panjang pemuda tersebut akhirnya meninggalkan dirinya. Setelah beberapa saat dan Wina hanya bisa mendengar bunyi angin dingin malam yang berdesir dan membelai wajahnya dengan lembut, airmatanya sontak pecah. Ia langsung menangis tersedu-sedu. Membiarkan segenap perasaannya membuncah keluar tanpa tertahan lagi. Sial! Ia yang memutuskan hubungan tapi kenapa hatinya yang terasa sangat sakit seperti diremas-remas oleh sebuah tangan tak terlihat? Dadanya terasa sesak oleh perasaan bersalah dan penyesalan yang menggerogoti hatinya. Ya Tuhan….sesakit inikah rasanya patah hati? Orang bilang, masa-masa SMA adalah masa yang paling indah dan penuh warna. Ya, benar. Mereka tak salah. Di masa inilah ia pertama kalinya mengenal cinta monyet dan akhirnya menyukai seseorang. Johan Alvaro. Seorang pemuda tanggung yang tanpa ia sadari telah berhasil mencuri hatinya. Lalu, masa-masa dimana mereka berdua akhirnya bisa berdiri berdampingan sebagai sepasang kekasih. Tapi, kini, genggaman erat tangan pemuda itu yang selalu bisa membuatnya nyaman dan tenang, dengan sangat terpaksa, harus ia lepaskan. Demi sebuah alasan…. Pelan, dengan tangan bergetar, ia mengambil ponselnya dan langsung menelepon seseorang. “Aku sudah menjalankan apa Anda inginkan, Tante. Sekarang, tolong penuhi janji Anda…” ……………………………………………………… Seulas senyum tipis penuh kemenangan, muncul di raut wajah wanita dewasa yang masih terawat dengan baik tersebut. “Baiklah….” “Sesuai perjanjian, aku tidak akan memecat ayahmu…” Keduanya langsung menutup telepon secara bersamaan. Ketika kemudian, Mama Sharren mendengar suara langkah kaki yang pelan memasuki rumah. Wajahnya langsung berbinar gembira saat melihat kedatangan anaknya yang jelas-jelas terlihat kuyu dan gundah. Spontan, Mama Sharren langsung membuka kedua tangannya lebar-lebar dan memeluk putra kesayangannya tersebut. “Makan yuk, Johan? Mama sudah siapkan sayur kesukaan kamu…” …………………………………………………………………………………. Masa kini, malam harinya, di dalam kamar kosnya… Wina tengah memijit-mijit keningnya dengan tampang kusut setelah pertemuannya tadi dengan Johan. Sebagai salah satu calon kliennya, Johan tergolong menyenangkan dan tidak banyak tingkah sampai akhirnya mereka berdua berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu singkat. Bayangan sang mantan yang dulu telah ia lupakan dengan susah payah dan ia kubur dalam-dalam, kini mulai menyeruak kembali ke permukaan dengan liarnya. Berbagai ingatan dan kisah masa lalu mereka yang manis terus tergiang di dalam benaknya. Hal ini juga penyebab kenapa ia memilih masih sendiri sampai hari ini. Karena sampai detik ini pun, bayangan sosok Johan masih sangat kuat bertahta di dalam hati dan pikirannya. Sosok cinta pertama yang sangat berkesan dan tak terlupakan. Sial!! Wina mengumpat di dalam hatinya. Inikah yang namanya naif? Atau bodoh? Semesta, apa maumu sih? Kenapa lagi-lagi aku harus bertemu dengan dia hari ini? Merasa mumet, Wina lalu menelepon salah satu sahabat karibnya. Faradina Hussein. ………………………………………………………….. Kamar kos Dina… Dina baru saja selesai mandi dan sedang meremas-remas rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Setelah ia melihat nama sang penelepon yang tertera di atas layar, dengan wajah malas, ia lalu mengangkat teleponnya. “Din, lo sibuk ga?” “Ngga. Kenapa?” “Gue mau ke sana ya?” “Kapan?” tanya Dina lagi dengan wajah berkerut bingung. Kenapa lagi ni bocah? “Sekarang!!” ………………………………………………………………………………
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD