Take It Back - Part 3 Can't Be Covered

1963 Words
Happy Reading ⏳ "Apa pengumuman untuk lowongan sudah kau sebarkan?" Jovin Alexander, presdir dari perusahaan ternama di Manhattan yaitu Xander Group. Jovin memiliki paras yang rupawan dengan tubuh tinggi atletis, hidung mancung, bibir tipis namun seksi, dan tidak lupa dengan mata tajamnya yang berwarna abu-abu yang siap memikat para wanita yang melihatnya. Sebenarnya Jovin tidak mau bekerja di perusahaan orang tuanya, menurut dia itu tidak mandiri karena dia hanya melanjutkan usaha yang sudah maju. Jovin ingin punya perusahaan sendiri memulai dari bawah, merasakan susah senangnya mendirikan suatu usaha, namun orang tuanya mematahkan semangat Jovin, mereka tidak ingin Jovin seperti Daddynya yang susah payah mendirikan perusahaannya dari dia yang dimanfaatkan oleh atasan ditempatnya bekerja, jika ia ingin di bantu maka ia harus menikahi anaknya. Daddy Jovin menolaknya dan langsung keluar dari tempatnya bekerja. Setelah keluar dari kantor tempatnya bekerja, ia dan temannya sepakat untuk membangun usaha itu bersama tapi ia malah di tipu, padahal semua uang yang ia kumpulkan selama ini sudah di berikan kepada temannya itu. Semua sudah terjadi. Daddy Jovin tidak melaporkan kasus itu ke pihak yang berwajib, ia ikhlas anggap saja sedekah itu katanya. Selepas kejadian itu Daddynya bangkit dan terus berusaha agar impiannya tercapai dan ya.. akhirnya itu semua terwujud, perusahaan yang di inginkan sudah sukses, sangat sukses malahan. Cabang ada dimana-mana dan itu membawanya bertemu dengan Mommy Jovin. Mereka menikah, Jovin pun hadir di tengah-tengah mereka sebagai pelengkap kebahagiaan orang tuanya. Setelah mendengar semua cerita itu akhirnya Jovin meng-iyakan ucapan Daddynya, harap-harap ia senang dan Jovin tidak jadi anak yang durhaka karena melawan mereka. Jovin langsung dibawa Daddynya ke kantor dan di perkenalkan kepada semua pegawainya, pria paruh baya itu berucap, posisinya akan digantikan oleh Jovin sebagai presdir di Xander Group. "Sudah... kau sangat ingin menggusurku dari sini ya?" Rudi Maurer, sekretaris sekaligus teman Jovin. Rudi merasa dia lebih tampan, lebih terkenal di kalangan wanita, pokoknya lebih lah dari pada Jovin. "Kenapa dengan nada bicaramu-" "Kenapa? Kau tidak suka? Aku sudah lama bekerja denganmu tapi apa yang aku dapat? Kau malah ingin menggantikan aku dengan orang lain, wanita pula. Apa ada yang menghasutmu untuk menggantikan aku? Atau cara ku bekerja yang tidak kau suka? Jawab Jovin! kenapa kau malah menatapku?! aku butuh jawaban bukan tatapanmu itu." Rudi sudah lama bekerja dengan keluarga Alexander, ia juga menggantikan Ayahnya sama seperti Jovin. Semua yang bersangkutan dengan Jovin, Rudi lah yang menyiapkan semua keperluan pria itu, dari meja kerja yang harus rapi karena Jovin benci melihat meja kerjanya di penuhi dengan tumpukkan kertas dan berkas-berkas yang memerlukan tanda tangannya sudah harus ada di meja kerja dengan rapi. "Bagaimana aku menjawabnya kau bicara terus! Tenanglah posisimu sebagai sekretarisku tetap tapi pekerjaanmu jadi lebih sedikit, kau hanya akan membantu sekretaris baruku kalau dia tidak mengerti pekerjaannya," jawab Jovin dengan nada santai. Saat ini mereka sedang duduk di ruangannya Jovin, yang di tangan mereka ada kertas yang harus di periksa. "Kau tidak akan menyukai sekretarismu itu kan?" Rudi bertanya kepada Jovin dengan tampang datarnya. Jovin yang mendengar pertanyaan Rudi mengangkat kepalanya dengan alis yang bertaut. "Maksudmu?" "Maksudku... kau tidak akan menyukai sekretarismu itu kan? Secara kalian akan satu ruangan dan setiap hari bertemu." Mendengar ucapan Rudi yang seperti itu membuat Jovin melihatnya dengan tatapan aneh. Ada apa dengan Rudi? Kenapa dia berbicara seperti itu? "Kau sudah tidak waras, ya? Mana mungkin aku menyukai sekretarisku sendiri, kau tau kan kalau aku itu susah untuk suka dengan seseorang," Jovin menatap Rudi yang sedang tersenyum jahil padanya. Ruangan presdir dan sekretaris di Xander Group di gabung menjadi satu ruangan karena alasan agar pekerjaan lebih cepat selesai. Pemisah meja presdir dan sekretaris hanya meja tamu ruangan itu. Meja presdir di bagian utara dan sekretaris bagian selatan, disana juga di sediakan ruang baca yang khusus untuk presdir yang ingin melepas lelah setelah seharian bekerja. Tidak lupa juga ada toilet, dikatakan toilet juga tidak karena sangat mirip dengan kamar mandi yang isinya sangat lengkap. "Itu kan menurutmu tapi aku rasa kau akan menyukainya," "Terserah kau saja, jangan sok jadi peramal tidak cocok untukmu, kau itu aneh tanpa angin tanpa hujan bicara kalau aku akan menyukai sekretarisku, melihat wajahnya saja belum, kalau aku akan menyukainya berarti aku sekarang menyukaimu, begitu?!" Jovin jengah mendengar perkataan Rudi yang tidak masuk akal itu. Rudi hanya diam mendengar kalimat terakhir Jovin tapi tidak dengan hatinya. Aku yakin kau akan menyukainya, kau bahkan akan mengejarnya terus Rudi tidak tau kenapa ia bisa mengatakan itu, tapi ia yakin Jovin akan menyukai sekretarisnya itu. *** Lainnya dengan Jovin yang merasa aneh dan ada yang salah dengan pikiran Rudi, Karen sibuk mengumpati nama Anne karena tidak juga membuat surat lamarannya. Karena pekerjaan Karen sudah selesai, ia menyempatkan membuat surat lamaran pekerjaan untuk Anne. Berkas-berkas yang di perlukan untuk melengkapi surat lamaran itu sudah lengkap semua, itu di dapat dari bantuan asisten Anne yang ada di mansion. Anne menelponnya dan menyuruh asistennya itu untuk masuk ke kamarnya dan mengambil semua surat penting yang ada di kamarnya tanpa sepengetahuan penghuni mansion. "Akhirnya selesai juga. Aku harus mengantarkan ini ke presdir langsung biar dia bisa melihat kemampuan Anne dan dia bisa bekerja di sini," Karen sudah selesai membuat surat itu dan bangkit dari duduknya. Sesampainya di depan ruangan Jovin. Karen pun mengetuk pintu dan langsung masuk. "Permisi, Pak. Maaf mengganggu, Saya mau mengantarkan surat lamaran teman, Saya." ucap Karen dengan sopan dan memberikan surat itu kepada Jovin, ketika hampir sampai di tangan Jovin suara seseorang menghentikan kegiatan itu. "Kenapa kau yang memberikan surat itu bukannya temanmu?" Rudi langsung bersuara karena merasa janggal kenapa Karen yang memberikan suratnya, kenapa bukan temannya? Karen yang mendengar suara itu langsung menarik surat yang hampir sampai di tangan Jovin dan memutar tubuhnya mengahadap Rudi yang sedang menatapnya. "Sepertinya kau sangat ingin tau akan itu." Rudi yang mendengar nada ketus dari Karen hanya mengerjapkan matanya bingung. "Baik, kalau kau sangat ingin tau apa alasannya! Karena dia tidak punya kendaraan dan dia juga tidak punya uang, kalau aku menjemputnya hanya untuk mengantarkan ini bagaimana dengan pekerjaanku?pekerjaanku banyak!! kalau aku berikan dia uang, uang ku juga pas-pasan,'' Jovin yang melihat Karen langsung marah dengan pertanyaan Rudi, menatap heran wanita itu. Kenapa ia tampak semarah itu? Padahal pertanyaan yang di berikan Rudi biasa saja. Karen menolehkan kepalanya mengahadap Jovin. Jovin yang melihat itu langsung kaget, jangan sampai ia kena sembur juga oleh Karen. "Pak. Saya mohon, terima teman Saya kerja di sini, ya? dia tidak punya siapa-siapa lagi, dia menumpang di rumah Saya dan kadang-kadang dia juga suka melamun, dia seperti orang stres, Pak. Terima dia ya, Pak." Karen memohon kepada Jovin, dengan nada sedihnya dan wajah yang sendu tapi itu hanya sandiwaranya saja agar Jovin mau menerima Anne bekerja di tempatnya. "Suratnya sudah aku terima, kau... boleh keluar sekarang," Jovin menjeda kalimatnya dan agak takut melihat Karen yang raut wajah langsung berubah menjadi sedih dari yang marah-marah tanpa jelas dan sekarang ingin menangis ketika menceritakan nasib temannya. "Terimakasih, Pak. Saya permisi," Karen membungkuk hormat kepada Jovin dan dibalas anggukkan olehnya. Karen memutar tubuhnya dan melihat Rudi yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Karen memutus kontak mata itu duluan dan langsung keluar dari ruangan itu. "Apa yang kau lakukan, Ren?! Mulutmu ini tidak bisa diam!" ujar Karen berdiri didepan pintu ruangan Jovin dan memukul-mukul bibirnya. "Kau ada hubungan dengan dia?" tanya Jovin to the point kepada Rudi yang dari tadi hanya diam sejak Karen keluar dari ruangannya. Rudi menoleh pada Jovin dengan tatapan tajamnya dan menjawab pertanyaan Jovin dengan ketus. "Urus saja pekerjaanmu itu!" Rudi berdiri dan langsung pergi keluar. "Hey!! tugasmu belum selesai, kau mau kemana. Rudi!!" Rudi membanting pintu dan itu membuat Jovin kaget dan menutup matanya. Jovin menghela napas lelah melihat temannya itu. "Aku ini atasannya, seharusnya dia hormat padaku," Jovin mengomel sendiri karena kelakuan Rudi. Jovin memegangi kepalanya yang terasa sakit dan tatapannya tak sengaja tertuju ke surat lamaran yang di bawa Karen tadi. Jovin membaca nama yang tertera di sana. "Anne Christabella Austin. Austin? Aku merasa familiar dengan nama ini. Ternyata pintar juga, apa harus di panggil untuk interview?.. sepertinya harus," Jovin menelpon resepsionis dan meminta agar menelpon Anne untuk di interview besok. *** "Karen, kapan pulang sih!" Anne merasa bosan karena seharian hanya di apartemen. Iia mau jalan-jalan tapi uangnya tidak ada. Anne sudah mencoba meminta uang pada Karen tapi Karen tidak mau memberikannya. Ditengah kebosanannya, ponselnya yang ada di atas meja bergetar. Anne menjangkau benda itu dan melihat nomor yang tidak di kenal di layar ponselnya dan tanpa ragu Anne pun langsung menjawab panggilan itu. "Hallo". "Dengan saudari Anne Christabella Austin?" "Ya dengan Saya sendiri, ada apa ya Miss?" "Miss Anne, Anda di undang untuk interview di perusahaan Xander Group besok, pada pukul sepuluh pagi, apa Anda bisa?  Dengan tergagap, Anne menjawab pertanyaan dari si penelpon. "i-iya, bisa." "Apa ada yang ingin ditanyakan, Miss?" "Tidak." "Baiklah, terimakasih, selamat siang." "Selamat siang. Aaa!! aku harus apa, apa aku harus menghubungi Karen... eh jangan, tunggu dia pulang saja. Kenapa aku sesenang ini?!!" senang mendengar kabar bahwa ia akan di interview besok, membuat Anne berjingkrak kesenangan, ia melompat-lompat lalu berlari menaikki anak menuju kamarnya. *** "Karen.. kau bodoh, sangat bodoh kenapa harus didepan presdir kalau dia tidak mau menerima Anne bagaimana? pasti dia akan berpikir kalau sikap Anne sama seperti ku," Karen membenturkan kepalanya kemeja kantin dan mengacak acak rambutnya. Saat ini ia sedang duduk di kantin kantor karena sudah masuk makan siang namun kantin itu belum terlalu ramai karena kebanyakkan karyawan kantor masih mengerjakan tugasnya, untung Karen cepat dalam bekerja jadi ia bisa santai di kantin seperti sekarang. "Bagaimana ini?!" "Bagaimana apanya?" Karen mengangkat kepalanya dan melihat orang yang berdiri di depannya dengan menenteng makanan. Karen hendak bangkit dari duduknya tapi di tahan oleh Rudi. "Kau mau kemana? Aku baru duduk, setidaknya temani aku makan dulu. Lagi pula kau akan pergi dengan rambut yang berantakkan seperti itu?" Seketika Karen langsung menyentuh rambutnya dan merapikannya sembari duduk kembali. Rudi bertanya kepada Karen kenapa dia tidak makan tapi Karen hanya diam dan menatap keluar jendela karena posisi meja mereka yang dekat dengan jendela. "Kau ingin mengatakan sesuatu?" Rudi sudah selesai dengan sesi makan siangnya. "Kau sudah selesaikan? Aku pergi," Karen mendorong kursinya dan langsung berdiri tapi tangannya di tahan oleh Rudi. "Kenapa kau selalu menghindariku?" "Lepaskan tanganku!" "Jawab pertanyaanku," Karen menghempaskan tangan Rudi yang memegang tangannya dan menatap Rudi. "Tanyakan pada dirimu sendiri kenapa aku menghindarimu!" setelah mengatakan itu Karen langsung pergi meninggalkan Rudi yang tampak gusar di tempatnya. *** "Karen kaukah itu?" tanya Anne sembari menuruni tangga, dan benar itu Karen yang masuk dengan tampang kacau, maskara yang luntur karena menangis mungkin?  Baju yang sudah tidak rapi dan rambut yang berantakkan seperti siang tadi. Karen langsung duduk di sofa dan Anne yang berdiri di sampingnya. "Karen kau.. baik-baik saja?" Anne duduk di sampingya. "Anne.. aku tidak bisa melupakannya!! Aku juga tidak bisa membencinya!! Bagaimana ini Anne?!!" rengek Karen- mengguncang-guncang tubuh Anne. "STOP!! Aku tau.. aku tau Karen, tapi kau tidak perlu mengguncang tubuhku seperti ini, pusing tau!!" geram Anne dan melepaskan tangan Karen yang ada di bahunya. "Aku harus apa Anne?" tanya Karen yang menundukkan kepalanya sembari tersedu-sedu. "Ikuti jalan ceritanya." Karen yang mendengar jawaban aneh Anne mengangkat kepalanya dan menoleh kepada Anne. "Maksudmu?" "Maksudku... anggap saja kita sekarang lagi syuting drama, dimana kita sebagai pemain mengikuti alur cerita yang dibuat oleh penulisnya dan begitu juga denganmu, Ikuti saja takdir yang sudah di garisi oleh Tuhan, jika kau berjodoh dengannya, ya kau harus terima tapi kalau sebaliknya mau bagaimana lagi... sudah sana bersihkan dirimu, ada yang ingin ku katakan kepadamu nanti." Karen mengangguk, ia bangkit dan pergi dari hadapan Anne. "Huh... aku tidak pernah melihat karen menangis seperti itu, apa serumit itu jatuh cinta? Aku harap aku akan mendapatkan yang tidak serumit, Karen." Anne bangkit dan langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuknya dan Karen. Thurs, 10 June 2021 Follow ig : vivi.lian23
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD