Bab 7

542 Words
 “Jika dulu Raja tidak sempat menikah karena keadaan! Bukankah saat ini keadaan tersebut sudah tidak ada dan berlalu? Raja sudah bisa menikah dan punya anak. Benarkan?” pria di hadapanku ini tampaknya ingin mati saat ini juga. “Raja, Apa yang dikatakan Aray ada benarnya. Bukankah tidak ada lagi perang, tidak ada lagi yang Raja lakukan. Ini adalah saatnya untuk Raja menikmati kehidupan di dunia ini. Kenapa Raja memilih berada dalam kesepian di saat keramaian selalu sedia di sini?” Aku sejenak terdiam. Apa yang dikatakan mereka sangat benar, lalu kenapa tidak ada yang berbicara seperti ini selama beratus tahun belakangan? Apa mereka takut mengatakannya? Atau zaman sudah modern hingga mengungkapkan pendapatan dan pandangan adalah hal wajar? Siapa yang tidak ingin bahagia? Tapi aku mempunyai ketakutan sendiri. Aku tidak cukup mampu untuk mengatasi kesedihan lagi dan lagi. Melihat keturunan saudaraku meninggal satu persatu saja aku sudah mau gila. Apalagi jika aku melihat orang yang aku cinta dan anak-anak kamu kelak tiada. “Raja?” “Aray, aku menghargai pendapatmu. Tapi saat ini, harusnya kau yang menikah. Bukan aku! Dan peringatan ini akan dirimu dengar terus menerus sampai waktunya tiba. Sekarang berdirilah, kita akan menemui Zehra di kontrakannya.” Aku berdiri agar Bay dan Aray tidak lagi mengatakan hal konyol. Apa aku terlihat menghindar? Ya, aku akan selalu menghindar seperti ini. Aku berjalan ke arah mobil, dan aku melirik Bay dan Aray yang mengikuti sambil saling berbisik. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Tapi hal itu tidak akan mudah di wujudkan. Belum satu menit aku memikirkan apa yang ada di otak mereka. Kedua pemuda itu sudah kabur dari depan mataku. “Maafkan aku Raja!” teriak Bay dari kejauhan. Aku hanya memutar bola mataku jengah. Mereka benar-benar masih anak kecil! Aku tidak akan mengejar mereka. Tapi mereka akan datang padaku nanti. “Brian, tolong blokir semua kartu mereka. Biarkan mereka menangis sampai tidak bisa berdiri. Sayang sekali, mereka sangat handal dalam bisnis. Tapi mereka tidak ingin menetapkan diri untuk membuat keturunan.” “Baiklah, Raja!” Jawab Brian yang langsung pergi dari hadapanku. Aku yang di tinggal berdiri sendiri di halaman rumah ini pun memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman rumah ini. Aku sudah lama tidak melakukannya! Dari jauh, aku menatap pohon Mentoa yang sangat tegap. Aku teringat kembali tentang masa kecilku bersama Ibu dan Ayah. Kami sangat bahagia! Bahkan ketika adik-adikku lahir, hati ini terasa sangat bahagia. Aku dan Afrat yang terpaut umur sebelas tahun sangat timpang. Sedangkan Alzrat, dengannya aku terpaut umur lima belas tahun. Aku yang menjadi kandidat utama pengganti Ayah tidak menyangka semua itu akan terjadi dengan cepat.  Peperangan sudah membuat banyak orang menderita, termasuk keluarga kerajaan. Ayah yang sangat bijaksana mengeluarkan semua isi gudang untuk rakyatnya. Tapi itu tidak cukup karena Dewa matahari menginginkan nyawa ayah untuk mendatangkan hujan. Hari itu, di umurku yang ke delapan belas tahun, di depan mata. Aku melihat Ayah menghunuskan pedang ke tubuhnya. Cairan merah itu mengenai wajahku! Hujan turun tiba-tiba dan aku di angkat sebagai Raja.  RAJA ALFA, aku di kenal dengan kebijaksanaan dan kemurahan hati. Tapi tampaknya semua itu perlahan memudar seiring waktu. Apalagi saat aku mengingat telah berkata kasar pada wanita yang telah aku jadikan pembantu di rumah ini. Aku tidak pernah melakukan itu, terkecuali pada saudara dan keturunannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD