1 tahun yang lalu
Pria paruh baya dengan rambut nyaris botak itu membuka satu per satu tumpukan dokumen di atas meja kerjanya. Pandangannya berhenti pada laporan keuangan The Grand Dining, restoran yang dikelolanya sejak awal merintis karir yang hingga sekarang atau setidaknya beberapa bulan yang lalu menjadi restoran kelas premium dengan predikat paling baik di Indonesia. Restoran ini sudah memiliki cabang di hampir semua kota besar di Indonesia dan menjadi yang terbesar di kelasnya.
Namun laporan keuangan yang dibacanya membuat Antony terbelalak. Bagaimana tidak? Ia menemukan keganjilan dengan angka omzet yang tertera di sana. Omzetnya menurun drastis dalam 3 bulan. Ia membuka kacamatanya dan memijit keningnya yang berdenyut.
Ia membuka dokumen lain tentang laporan analisa kompetitor dari tim pemasaran. Betapa ia kaget melihat semua klipping berita yang dilaporkan di sana mengenai kompetitor barunya, The Heaven. Semua strategi bisnisnya seakan dapat dibaca dan ditiru persis seperti yang ia buat. Anehnya, strategi baru bisnisnya itu sudah terbaca dan diluncurkan oleh The Heaven satu hari sebelum tanggal peluncurannya di The Grand Dining. Ia begitu marah dengan apa yang terjadi. Ia membuang semua dokumen itu dari mejanya. Ia emosi.
The Heaven memanglah kompetitor yang sangat tangguh bagi The Grand Dining. Restoran ini memang masih tergolong baru namun pencapaiannya hampir setara dengan The Grand Dining yang memang dikenal sebagai restoran legenda karena lamanya berdiri. Antony dan semua rekan sejawatnya tidak pernah tahu siapa pemilik The Heaven. Sepertinya, pemilik The Heaven pandai menyembunyikan dirinya. Ia tidak pernah hadir jika ada pertemuan bisnis atau pertemuan di asosiasi pemilik usaha kuliner, dan selalu diwakilkan oleh Vice President’nya. Jika karyawan The Heaven ditanya, siapa nama pemilik restoran itu, mereka selalu menyebutnya Mr.X. Benar-benar misterius. Tidak ada satupun yang mengetahui identitas pemilik The Heaven yang sekarang begitu menyebalkan bagi The Grand Dining.
“BAGAIMANA BISA INI TERJADI??? Pasti ada orang dalam yang membocorkan rahasia perusahaan.” Antony segera mengambil ponselnya dan menghubungi Rivaldi, putranya. Ia tidak bisa mempercayai siapapun di dalam perusahaannya dan menurutnya melibatkan putranya dalam hal ini adalah yang terbaik. Pernah ia percaya pada seseorang, tapi ternyata orang kepercayaannya disuap dan membelot. Ia sudah belajar dari pengalaman dan tidak ingin terulang kedua kalinya. Hanya orang di dalam keluarga intinya saja yang ia bisa percayai saat ini.
Dari sejak awal ia mendirikan The Grand Dining, ia jarang menunjukkan setiap anggota keluarganya pada karyawan atau pada publik. Ia termasuk single fighter, yang membesarkan bisnis itu sendiri dari nol. Dan, ia memiliki prinsip tidak akan membawa urusan pribadi ke dalam kantor. Anggota keluarga yang dikenali oleh publik hanya Viona, istrinya.
Ia sendiri pun juga hampir tidak pernah menunjukkan diri di sekolah atau tempat lain bersama keluarganya karena ia terlalu sibuk merintis bisnisnya saat itu. Bahkan hingga kedua anaknya sudah memasuki dunia perkuliahan dan bisnisnya sudah berjalan baik, Antony tetap tidak memiliki waktu untuk sekedar menunjukkan diri di sana. Jadi jelas dengan alasan inilah Rivaldi akan dengan mudah menyusup ke dalam perusahaan.
“Riva, kamu pulang sekarang! Papa butuh bantuanmu.”
***
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Rivaldi berpetualang sendirian ke beberapa negara. Ia ingin berlibur, memberikan hadiah bagi dirinya yang berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan begitu membanggakan. Bagaimana tidak? Ia mendapatkan predikat aktif berprestasi dan cumlaude. Dan, orangtuanya mengizinkan anak bungsunya menjelajah semua penjuru dunia sebagai hadiah atas prestasinya yang membanggakan itu.
Namun hari di mana ayahnya menelepon membuat rencana perjalanan Rivaldi selanjutnya batal. Ia tahu bahwa jika ayahnya menghubunginya saat ini pasti ada sesuatu. Ia langsung mencari tiket pulang ke Indonesia dan pulang keesokan harinya.
Kakinya yang jenjang menapaki lantai bandara. Kacamata hitam membingkai sempurna di wajah tampannya. Alis tebal bertengger tepat di atas matanya yang terbilang besar namun tajam. Guratan wajahnya menunjukkan bahwa Rivaldi adalah sosok pria yang cerdas, tampan dan mempesona. Bibirnya selalu menyunggingkan senyuman ramah. Tak pelak aura laki-laki itu mampu mempesona kaum hawa di sekitarnya.
Jangan tanya masalah tubuhnya. Tubuh Rivaldi lagaknya adalah idaman para wanita. d**a dan bahunya bidang. Otot lengannya terlihat begitu sempurna karena rajin dilatih. Dan otot kakinya terlihat sangat kokoh. Postur tubuhnya yang sempurna membuat semua wanita merasa aman dan nyaman berada di sisinya.
Begitu sampai di bandara, ia disambut oleh kakak perempuannya, Sally. Rivaldi dan Sally hanya terpaut tiga tahun namun mereka sangat dekat satu sama lain. Walau keakraban mereka ditunjukkan dengan cara yang berbeda.
Sally memang bukan wanita yang feminim. Lihat saja penampilannya yang tomboy. Kemben putih dengan jaket kulit mengkilap serta hotpants yang membalut tubuhnya. Kaki mulusnya beralasakan sepatu boots tinggi. Rambutnya dipotong pendek dan dicat kemerahan. Wajahnya terlihat angkuh namun menawan.
Tapi jangan dikira Sally adalah wanita yang manja. Sally justru wanita yang mandiri. Keluarganya yang kaya tidak membuatnya bergantung pada orangtuanya. Itu sebabnya ia memilih untuk berkarir di luar usaha Antony. Ia menjadi seorang manajer operasional di sebuah hotel bintang lima sekaligus yang terbesar di Surabaya. Kemampuannya di atas rata-rata dan ia memiliki karisma sebagai seorang pemimpin.
Sally juga bukan wanita sembarangan yang gampang didekati, bahkan bisa dibilang Sally lebih mirip seperti harimau betina. Tidak ada yang berani mendekatinya jika tidak punya nyali. Hanya ada satu orang yang berhasil menjinakkan wanita itu, George, kekasihnya.
Sally memang sayang pada Rivaldi tapi wanita itu selalu menindas adiknya sebagai tanda sayang. Seperti saat ini, wanita itu langsung memberikan jitakan sayang di kepala Rivaldi begitu bertemu dengan adiknya. Setelahnya, mereka berdua segera masuk ke mobil dan pulang ke rumah besarnya. Ayah dan ibunya sudah menunggu di depan pintu utama. Begitu Rivaldi turun, mereka menyambutnya dengan pelukan rindu.
Setelah adegan berpelukan itu selesai, Antony memanggil Rivaldi ke ruangan kerjanya di lantai 2.
“Riva, Papa ingin berbicara serius denganmu. Duduklah di sini,” Antony menepuk sofa di sebelahnya, meminta Rivaldi duduk di sana. Rivaldi menurut dan duduk.
“Papa membutuhkan bantuanmu, Riva. Beberapa hari yang lalu Papa menemukan kejanggalan di The Grand Dining. Papa menerima laporan bahwa strategi bisnis kita sepertinya dicuri dan dijual pada competitor dan mereka dengan berani meluncurkan semua strategi baru kita 1 hari sebelum tanggal peluncuran kita.”
“APA??? Bagaimana ini bisa terjadi, Pa? Aku yakin Papa sangat berhati-hati dalam semua hal. Tapi, kebocoran rahasia perusahaan ini sepertinya… aneh,” potong Rivaldi yang terkejut dengan cerita ayahnya.
“Itulah yang Papa heran. Bagaimana bisa ini terjadi? Papa yakin ada orang dalam yang sengaja ingin menjatuhkan perusahaan ini. Tapi Papa juga belum menemukan siapa dalang di balik situasi ini dan sekarang Papa juga tidak bisa mempercayai siapapun di kantor. Papa bermaksud mengutusmu untuk menyelidikinya.”
“Aku selalu siap membantu, Pa! Tapi, dari mana aku harus memulai penyelidikanku?”
“Papa rasa sebaiknya kamu mulai dari level paling bawah, sebab merekalah yang pasti lebih mudah dikendalikan oleh si dalang. Papa curiga salah satu di antara karyawan itu pasti ada yang disuap untuk mencuri dokumen penting kita. Dari sana baru kita bisa mendapat informasi dalang di balik semuanya. Papa mau kamu masuk di The Grand Dining tapi sebagai waiter. Selidiki setiap orang di sana dan laporkan pada Papa jika kamu menemukan yang mencurigakan.”
“Kalau seperti itu, aku rasa aku perlu mengganti identitasku. Tidak mungkin kan kalau aku masuk sebagai Rivaldi Kurniawan. Mereka malah akan makin menutup usaha mereka rapat-rapat dan malah kita tidak akan menyelesaikan masalah ini.”
“Papa sudah memikirkan hal itu. Ini identitas barumu dan ini alamat rumah kontrak yang akan jadi tempat tinggal sementaramu. Kemarin Papa sudah menginformasikan pada Mr. Graham bahwa kau akan bekerja The Grand Dining tapi Papa mengatakan padanya kalau kau adalah anak dari salah seorang mantan asisten Papa dulu,” kata Antony seraya memberikan sebuah amplop coklat berisi KTP dan SIM baru bagi Rivaldi dengan nama lain, Aldi Satriawan yang entah darimana ia bisa mendapatkannya.
“Papa ingin kamu memulai misi itu hari ini, karena makin cepat masalah ini selesai makin baik. Jangan sampai misi ini bocor kepada siapapun! Jangan kecewakan Papa-” Rivaldi mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. Tapi sebelum ia melangkah, Antony melanjutkan ucapannya.
“O ya… 1 lagi. Untuk sementara waktu ini, jangan tinggal di rumah ini atau menggunakan kartu kreditmu. Setiap kau akan melaporkan hasil penyelidikanmu, gunakan telepon umum atau Papa akan mengutus Sally sebagai penyambung lidah. Karena Papa yakin dalang kejadian ini sangatlah cermat. Jika ia menaruh curiga padamu, ia bisa saja mencari data lain tentang dirimu. Papa tidak ingin itu terjadi. Kau mengerti, Rivaldi?”
“Aku paham, Pa. Aku akan lakukan yang terbaik.”
Antony memeluk putranya dan Rivaldi segera masuk ke dalam kamarnya untuk berkemas. Di sana ia sudah ditunggu oleh Viona yang terlebih dahulu menyiapkan koper dan telah memasukkan beberapa pakaian Rivaldi. Setelah beberapa waktu mereka selesai berkemas.
Rivaldi berpamitan pada orangtua dan kakaknya dan masuk ke dalam mobil Range Rover hitam yang sudah disiapkan Antony untuk mengantar Rivaldi ke rumah kontrakan barunya.
***
Keesokan harinya, Rivaldi datang ke The Grand Dining seperti yang diperintahkan ayahnya. Ia akan mulai menjalankan misi itu. Ia membayangkan dirinya bak agen rahasia yang diutus dengan catatan tidak boleh ada yang mengenal identitasnya atau ia akan mati. Rivaldi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum geli dengan imajinasinya.
“Lupakan! Aku harus menyelesaikan misi ini.”
Ia melangkahkan kakinya ke dalam restoran mewah milik ayahnya ini dan mencari seseorang yang bisa ia ajak bicara.
“Permisi, saya mencari Mr. Graham,” tanya Rivaldi dengan tersenyum kepada salah seorang waiter yang menjadi resepsionis di The Grand Dining.
“Oh… Anda, Aldi Satriawan ya?” Aldi mengangguk.
“Mari ikuti saya, Mr Graham sudah menunggu Anda,” jawab waiter itu sambil mengajak Rivaldi masuk ke sebuah ruangan di sebelah dapur restoran mewah itu. Sesampainya di sana, waiter bernama Rika itu mengetuk pintu beberapa kali hingga mendapatkan izin dari sang empunya ruangan untuk masuk.
Rivaldi dipersilakan masuk oleh Rika. Ia melihat pria keturunan asing, berbadan tambun dengan rambut yang nyaris botak yang sedang duduk di kursi itu. Pria itu menegakkan kepalanya lalu berdiri dan berjalan ke arah Rivaldi.
“Selamat datang… selamat datang… Kamu waiter baru yang melamar di sini ya?” kata Mr Graham sambil menjabat tangan Rivaldi. Rivaldi membalas jabat tangan itu sambil tersenyum dan agak sedikit menundukkan badannya. Michael Graham atau biasa dipanggil Mr Graham sangatlah fasih berbahasa Indonesia karena ia telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun dan istrinya juga orang Indonesia. Ia berkebangsaan Amerika namun sekarang sedang mengurus izin tinggalnya di Indonesia.
Mr Graham adalah kepala restoran yang baru menjabat sekitar 2 tahun yang lalu. Ia sama sekali tidak mengenal siapa itu Rivaldi. Sehingga, identitas baru Rivaldi jelas tidak dikenalinya. Begitu pula semua orang di restoran itu tidak pernah mengetahui Rivaldi karena restoran ini memberlakukan sistem rolling pada waiter. Mereka akan digilir untuk bekerja di cabang lain setiap 2 tahun sekali untuk standarisasi layanan The Grand Dining sehingga tidak ada satu cabang pun yang kualitasnya berbeda. Belum lagi dengan tingkat pergantian karyawan yang cukup tinggi karena tuntutan yang diberikan oleh The Grand Dining cukup tinggi dan tidak semuanya mampu memenuhi standard itu. Dan sekarang, semua orang di dalam The Grand Dining di kota itu semuanya adalah orang baru. Jadi, identitas baru Rivaldi juga aman.
“Iya, Mr Graham. Saya Ri… oh maksud saya Aldi,” jawabnya yang hampir saja keceplosan untuk mengungkapkan nama aslinya.
“Silakan duduk… silakan duduk. Saya dengar kamu anak dari Pak Satriawan, sekretaris Pak Antony dulu ya?”
Rivaldi tiba-tiba merasa kikuk. Dia tidak tahu harus berkata apa selain mengiyakan pertanyaan itu. Toh, nama belakangnya sekarang juga Satriawan. Jadi, ya mungkin benar adanya. Lagipula dia mengingat juga kalau ayahnya memang punya seorang karyawan bernama Satriawan dulunya, tapi sekarang sudah pensiun. Namun yang berbeda adalah, Pak Satriawan itu tidak menikah. Sudahlah… mungkin Mr Graham tidak sadar akan hal itu.
“Iya, benar Mr Graham,” jawab Aldi dengan mantap walau jantungnya kini berdebar karena telah berbohong. Tapi, demi misi ini berhasil ia harus melakukannya.
“Bagaimana kondisi Bapak Satriawan? Saya pernah mendengar dari teman-teman saat meeting di kantor pusat kemarin kalau akhir-akhir ini beliau bolak-balik ke rumah sakit. Ia sepertinya sakit parah. Apa benar begitu, Di?
MATI AKU!!! Mau jawab apa lagi? Mana aku tahu Si Bapak Tua itu seperti apa sekarang.
Untunglah baru saja Rivaldi ingin menjawab dengan kebohongan yang lain, telepon Mr Graham berbunyi. Mr Graham tersenyum sebentar dan mengangkat telunjuknya untuk memberi tanda bahwa ia meminta waktu untuk mengangkat telepon itu. Ketika Mr Graham mengangkat telepon itu, Rivaldi menghela nafas panjang karena lega tidak perlu berbohong. Mr Graham menyelesaikan panggilannya dan kembali menghadap Rivaldi.
“So… Aldi. Saya minta kamu membaca dengan baik kontrak kerja ini dan peraturan yang harus kamu taati lalu ikut saya untuk mengambil seragam kerjamu,” kata Mr Graham sambil memberikan buku tebal bertuliskan “Peraturan The Grand Dining” dari dalam laci mejanya dan memberikannya pada Rivaldi.