“Eng… aku ke toilet sebentar ya,” ucap Celline sambil berdiri dari meja itu.
“Aku antar ya,”balas Brandon.
“Ti-tidak usah. Hehe,” jawab Celline sambil meringis lalu bergegas pergi dengan membawa tasnya.
Ia keluar dari restoran itu lalu segera berjalan ke arah halte bus di seberang jalan sana. Untungnya Brandon tidak memperhatikan ia telah sampai di depan halte. Dengan was-was ia sesekali melirik ke arah Brandon yang masih duduk menghadap arah lain di dalam restoran. Ia berharap Brandon tidak sadar bahwa Celline telah meninggalkannya.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Fabby. Sepertinya bertamu ke rumah Fabby lebih baik daripada seharian bersama Si Cupu itu, pikirnya.
“Halo, Fabby. Aku mau ke rumahmu…. O… oke. Aku segera sampai dalam 15 menit. See ya!”
Celline segera naik ke dalam bus dan tak terasa perjalanan itu membawanya sampai di rumah Fabby. Di depan rumah Fabby menyambut sahabat lamanya ini dengan pelukan dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Mereka bercerita panjang lebar tentang apa yang sudah terjadi karena mereka sudah tidak saling bertemu selama beberapa tahun belakangan ini di kamar Fabby.
"Tunggu, Celline. Kalau kau ternyata kabur ke rumahku saat kencan 'paksa' mu ini... apakah nanti Ibumu tidak marah?" tanya Fabby.
Celline terdiam. Sungguh ia tak berpikir bahwa pilihannya untuk kabur akan membawanya pada konsekuensi berat yang harus ia tanggung akhirnya.
"Masalah sehari cukuplah untuk sehari. Nanti saja aku pikirkan. Setidaknya saat ini aku bisa terlepas dari bayangan si anak manja itu," jawab Celline.
Hingga tak terasa hari sudah malam. Celline ragu apakah ia harus menginap di rumah Fabby karena ia yakin pasti Ibunya akan marah jika mengetahui bahwa ia meninggalkan Brandon dalam kencan mereka. Tapi, di sisi lain ia tidak ingin merepotkan keluarga Fabby yang begitu baik padanya. Di tengah keraguannya, ponselnya berbunyi. Layar itu menunjukkan nama yang tidak ingin dia lihat: MAMA.
Dengan tangan bergetar, ia mengangkat ponselnya dan benar saja ia hanya mendapatkan makian di sana.
“CEPAT PULANG, ANAK DURHAKA!!! TEGA-TEGANYA KAU PERGI DARI CALON SUAMIMU! PULANG SEGERA ATAU AKU AKAN MEMBUAT PERHITUNGAN YANG LEBIH PARAH PADAMU!”
Jantung Celline berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini akan terjadi cepat atau lambat. Ia menghela nafas panjang dan tak punya pilihan lain, selain menyiapkan diri menghadapi pukulan, makian dan perlakuan kasar Mamanya lagi. Ia hanya bisa pasrah. Ia lalu berpamitan pada Fabby dan keluarganya, lalu berjalan gontai keluar rumah Fabby.
***
“DASAR ANAK EGOIS!!!
PLAKK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulusnya dan meninggalkan bekas kemerahan di wajahnya. Badan Celline yang mungil bergetar dan ia pun mulai menangis, tapi Ibunya mencengkeram erat tangannya. Ia mengerang kesakitan tapi Ibunya tidak mempedulikan erangan itu.
“SADAR APA YANG KAU LAKUKAN, HAH??? Kalau bersama dia, hidup kita akan kembali jaya seperti dulu, Celline!”
“Tapi Ma… hiks… Celline tidak suka orangnya… Orang itu…”
PLAKKK!! Tamparan panas mendarat di pipi Celline lagi.
“ Mengapa kau begitu egois, Celline? Tidakkah kau kasian pada Mama? Mama sudah tidak sekuat dulu lagi. Mama hanya bisa menitipkanmu pada orang yang tepat. Orang yang mampu membawa hidupmu, hidup kita jadi lebih sejahtera. Berkecupan. Tidak bisakah kau mengerti?”
“Tapi, aku sungguh tidak menyukainya, Ma…”
PLAKKK!! Tangan Marriane mendarat lagi di pipi Celline yang sudah memerah karena tamparan sebelumnya. Marriane mendengus sebal. Ia berkacak pinggang. Bagaimanapun ia mencoba memberitahu putrinya tapi tetap saja bantahan yang ia dapatkan.
“Mama sudah capek dengar alasanmu, Celline! Kesampingkan perasaanmu. Ambil sisi positifnya, kita akan hidup lebih baik jika kau hidup bersama Brandon! Tidak bisakah kata-kata Mama ini kau pahami? Kau mau hidup seperti ini terus? Hidup dalam keterbatasan. Hah?”
“Tak bisakah kau mencoba mengenal dia, Celline??? Kalau kau bersamanya, hidup kita jadi nyaman. Mama sudah capek, Celline! Hidup seperti ini, semuanya Mama tanggung sendiri. Kalau kau bersamanya, Mama dan kamu akan jadi bahagia seperti dulu. Tidak bisakah kau mengerti? Hah???” lanjut Marriane.
Dengan sesenggukan gadis itu mengangguk. Lagi-lagi mimpinya untuk bisa memilih jalan hidupnya sendiri kembali sirna. Ia harus mengikuti apa yang diminta Mamanya. Mamanya selalu berkata bahwa ia ingin Celline memiliki hidup yang lebih baik. Tapi nyatanya, Marriane tidak pernah membiarkan hidup Celline lebih bahagia. Ia merasa hidupnya seperti burung dalam sangkar. Ia tidak pernah merasa lebih baik bersama dengan Marianne.
Selepas amarah itu, Marriane meninggalkan Celline dengan kesal. Celline menghapus air matanya dan berjalan gontai ke kamarnya. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang kecilnya. Menatap langit-langit kamarnya.
“Apakah memilih kebahagianku sendiri itu egois? Apakah memang kita tidak boleh menjadi egois untuk masa depan kita sendiri? Sepertinya… aku tidak akan pernah boleh memiliki kebahagiaanku sendiri.”
Ia meringkuk di dalam selimutnya dan seketika itu tangisnya pecah.
***
“PERGI KAU DARI SINI!!! DASAR PRIA b******k!!! JANGAN PERNAH MUNCUL DI HIDUPKU DAN CELLINE LAGI! PERGIIII!!!! AKU TIDAK MAU MELIHAT MUKAMU LAGI!” maki Marianne pada suaminya yang baru kembali setelah berbulan-bulan pergi dari rumah.
Suaminya, Eddie, kembali dengan menangis dan membawa seorang gadis yang tengah menggendong seorang anak. Pria itu mengakui semua kesalahannya. Ia pergi dari rumah dengan harta benda dan menghabiskannya dalam sekejap karena tergiur berjudi.
Di tengah putus asanya, ia mabuk dan tidak sadar telah menyetubuhi gadis itu hingga kini ia telah melahirkan seorang anak baginya. Pria itu merasa khilaf dan ia harus bertanggung jawab. Tapi, ia tidak tahu harus berkata apa pada istri dan anaknya. Ia ingin melarikan diri tapi di dalam hatinya ada perasaan yang membuatnya merasa harus kembali dan mengatakan yang sebenarnya. Hatinya penuh harap bahwa Marriane akan mengerti dan menerima gadis itu beserta anaknya, entah diadopsi sebagai anak angkat atau apapun.
Eddie mengenal Marriane sebagai pribadi yang lembut dan ia yakin jika Marriane bisa memaafkan dan menerimanya. Namun, kenyataan tidak seindah bayangan Eddie. Wanita itu malah marah sejadi-jadinya, menunjukkan emosi yang meluap-luap bahkan kini tengah mengusir Eddie dari rumah kontrak mereka dan menolak Eddie untuk bertemu anak semata wayangnya.
Marriane merasa hancur dalam sekejap. Kaki wanita itu lemas mendadak. Ditambah lagi kehadiran gadis itu bersama dengan bayinya di belakang Eddie membuat wanita itu makin hancur. Sakit hati dan pahit. Ia merasa dikhianati, ditipu, dibohongi dan ia merasa suami yang dicintainya ternyata adalah manusia paling jahat di dunia yang menghancurkan hidupnya seketika. Pikirannya menjadi gelap dan yang di otaknya hanyalah mengusir suaminya dari hadapannya, dari hidupnya dan dari hidup anaknya agar ia tidak perlu lagi merasa sakit hati setiap kali melihat wajahnya.
“AAAAA!!! PERGI KAU, j*****m! JANGAN PERNAH MELANGKAH KE DALAM RUMAH INI LAGI!” Maki Marriane.
“Marriane, aku bisa jelaskan! DENGARKAN AKU DULU!!!”
“TIDAK!!! AKU SUDAH MUAK DENGANMU. PERGIIIIII…. PERGIIIII! AKU TIDAK INGIN BERTEMU DENGANMU LAGI! PRIA SIALAN!!!”
Ia mendorong tubuh Eddie keluar dari rumah dengan sekuat tenaga sambil terisak. Walau Eddie sudah mengakui kesalahannya, tapi ia tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Eddie meronta masuk tapi tangannya dipukul bahkan dijepit oleh pintu hingga ia kesakitan. Usahanya untuk menjelaskan percuma karena Marriane tidak akan pernah mau mendengarkan. Akal logisnya sudah tertutup oleh amarah dan membuatnya enggan mendengarkan alasan Eddie apapun itu.
Pria itu sampai di ujung pintu dan berlutut meminta maaf sambil menangis. Ia tahu bahwa dirinya salah. Tapi tidak ada kata ampun di pikiran Marriane. Marriane membanting pintu itu sambil terisak dan memegangi kepalanya yang tiba – tiba berat. Ia merosot di balik pintu dan menangis sekencang-kencangnya. Hidup macam apa yang ia alami saat ini? Mengapa harus dikhianati begitu dalam oleh orang yang ia cintai? Ia sudah tidak ingin lagi mengenal apa itu cinta. Untuk apa mencintai jika akhirnya dikhianati?
Celline kecil yang sedari tadi mengintip apa yang terjadi kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia melihat Marriane mengusir ayah yang dirindukannya selama ini dengan berteriak. Ia segera berlari ke arah pintu tidak mempedulikan Mamanya yang sudah kacau balau di bawah sana. Celline terus menangis sambil berteriak.
“PAPA… PAPA… CELLINE MAU KETEMU PAPA… Hiks… hiks… PAPA… PAPA!”
“CELLINE! CELLINE! PAPA DI SINI… SURUH MAMA BUKA PINTUNYA!” pinta Eddie.
“TIDAK CELLINE! TIDAK!!!! PAPAMU ORANG JAHAT, CELLINE!” balas Marriane sambil menatap penuh amarah pada Celline.
“PAPA… CELLINE MAU KETEMU PAPA… hiks… hiks PAPA…. CELLINE MAU SAMA PAPA,” teriak Celline sambil menangis. Celline kecil berusaha menarik gagang pintu itu namun tangannya dipukul oleh Mamanya dengan keras. Ia memegangi tangannya yang sakit kena pukul dan hanya bisa menangis sambil terus memanggil Papanya. Mamanya yang masih emosi, jengkel dengan teriakan Celline lalu menampar Celline dengan keras hingga anak itu jatuh terduduk.
“JANGAN PERNAH CARI PAPA LAGI CELLINE!!! PAPA ITU ORANG JAHAATTT!!!”
Mimpi buruk itu datang lagi dalam tidur malam, tidak! lebih tepatnya tidur pagi Celline. Ya, gadis itu tidak pernah tidur kurang dari jam 4 pagi setiap harinya. Hidupnya selalu dipenuhi kekuatiran akan apa yang akan terjadi esok. Pertanyaan – pertanyaan seperti: apa yang akan terjadi esok? Masalah apa lagi yang akan muncul besok? Apakah ia akan menerima pukulan keras dari ibunya yang sewaktu-waktu bisa seperti kesetanan? Otaknya terus berputar dan perasaannya selalu tidak aman. Ia merasa gelisah di setiap tidurnya. Takut pikiran buruknya jadi kenyataan.
Ditambah mimpi buruk atau mungkin lebih tepatnya kenangan pahit dalam alam bawah sadar Celline yang terus berputas sepanjang tidurnya membuat ia tidak pernah tidur dengan nyenyak. Lihat saja kantung matanya yang begitu kentara membuat wajahnya selalu tampak kelelahan setiap waktu.
Sejak hari itu, hari pengusiran ayahnya, Marriane berubah seperti monster yang ganas. Ia jadi tidak bisa mengontrol emosinya. Ia mudah membanting barang jika suasana hatinya tidak baik dan satu kebiasaan buruk ibunya yang Celline harus terima setiap waktu adalah Marriane jadi suka menampar jika Celline tidak menurut apa kata Marriane.
Hidup yang menyedihkan? Mungkin itu kata-kata yang cocok untuk menggambarkan hidup Celline yang malang. Di saat usia penting bagi perkembangan anak-anak, Celline malah tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Di saat anak lain bisa bermain dengan gembira dan menikmati masa kanak-kanaknya yang bahagia, Celline justru harus ikut bekerja.
Sudah terlalu banyak pengalaman pahit yang harus ia terima sejak kecil dan membentuknya jadi pribadi yang sangat tertutup. Tidak ada satupun orang di sekitarnya yang mampu memahami isi hatinya yang terdalam. Ia memendam semua perasaannya itu sendiri. Bagaimana dengan ibunya?
Makan bersama Celline dan berbicara dari hati ke hati saja ia tak pernah punya waktu. Hidupnya hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Ia tidak pernah mau mengerti perasaan Celline. Ia berpikir bahwa dengan memiliki pundi-pundi yang banyak akan membuat hidupnya bahagia. Dan, ia berharap Celline pun berpikiran demikian. Tapi pemikirannya salah. Celline masih manusia yang ingin memiliki kebahagiaan yang tidak dipengaruhi oleh seberapa banyak uang yang mereka miliki. Ia hanya butuh cinta dari seseorang yang tulus.
Tapi, itu semua sepertinya hanya akan ada dalam mimpi Celline. Ia tidak akan pernah mengalami apa itu dicintai. Ia merasa hidupnya hanya sebuah alat, ya alat bagi impian ibunya. Tidak lebih. Ia diperlakukan layaknya hewan. Meskipun berulang kali ibunya mengatakan bahwa ia mencintai Celline, tapi Celline tidak pernah merasakan sedikitpun rasa sayang darinya. Perlakuan buruk yang diterimanya seumur hidupnya membuat dia yakin bahwa ibunya tidak pernah menyayanginya lagi. Hatinya sudah tertutup dan membeku sejak ia merasa dikhianati.
Celline hanyalah seorang gadis yang kesepian dan itu membuatnya sangat mudah berpikiran negatif pada semua orang di sekitarnya.Tak heran, tak ada satupun orang yang mau dekat dengannya. Hanya Fabby, sahabat baiknya itu yang mau mengerti dan memahami betul situasinya yang ia alami dan menjadi teman ceritanya dalam segala situasi. Tapi sejak beberapa bulan yang lalu, Fabby memiliki seorang kekasih dan waktunya lebih banyak tersita untuk bersama dengan kekasihnya daripada bersama dengan Celline. Dan ini membuat Celline makin merasa sendirian.