Chapter 12

1595 Words
    “Apa kau yakin bahwa dia pelakunya, Di?” tanya Sally dengan nada menginterogasi.     “Aku masih ragu, karena aku melihatnya tidak memakai vest yang koyak saat briefing pagi keesokan harinya. Tapi, aku mencurigainya belakangan ini. Dia sering bolak-balik masuk ke ruangan Mr Graham dan kemarin ia keluar dari ruangan itu dengan sebuah amplop. Kurasa Mr Graham memintanya mengirim berkas itu ke seseorang,” jawab Aldi.      “Apa kau juga menduga bahwa Mr Graham terlibat?”      “Aku tidak bisa pastikan sekarang. Aku akan menyelidikinya lebih jauh,” jawab Aldi dengan tatapan yang serius memandang Sally diikuti dengan anggukan dari wanita itu. Sally kembali masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesinnya. Tapi, ia membuka jendela kaca mobilnya.      “Mama kangen padamu. Hubungi dia selagi kau sempat, okay? Dan, ini ia menitipkan beberapa barang untukmu,” kata Sally sambil memberikan beberapa bungkusan berisi pakaian dan makanan kesukaan Aldi dari Ibunya.      “Katakan pada Papa dan Mama, aku juga merindukan mereka.”      “Ada lagi yang perlu aku katakan? Ah… atau bagaimana kalau kusampaikan juga bahwa kau sudah punya pacar?” tanya Sally sambil tersenyum jahil.      “Heh! Jangan bicara sembarangan. Sudah kukatakan kalau dia itu hanya teman. Dan, ia juga sudah memiliki tunangan,” balas Aldi.      “APA??? Sudah punya tunangan? Wah, sayang sekali. Kurasa adik tampanku memang selamanya akan jadi jomblo abadi. Sudahlah, aku pulang dulu,” balas Sally sambil menyetir mobilnya menjauh dari tempat Aldi berdiri.          Tunangan? Mengapa hatiku terasa aneh ketika Ibunya mengatakan hal itu? Perasaan macam apa ini?  ***     “Dave, apa kau pernah jatuh cinta?” tanya Rivaldi yang kini sudah berada di ruangan kerja Dave dan hari ini adalah jatah libur Rivaldi. Dave yang tengah menyeruput minumannya langsung terbatuk mendengar pertanyaan Rivaldi.  “Mengapa kau bertanya? Ohhh… jangan-jangan kau memang jatuh cinta!”   “Aku hanya bertanya dan kau kan memang sudah jadi playboy ulung. Aku anggap kau bisa menjelaskannya.”    “Kau bertanya pada orang yang tepat!” jawab Dave menyombongkan diri. “Jatuh cinta itu… uhmm… membuatmu selalu memikirkan dia, berusaha menjaganya, melindunginya, merasakan bahwa tanpa hadirnya hidupmu hampa.” Dave mengatakan hal itu dengan sedikit mendramatisir, membuat Rivaldi bergidik melihatnya.      “Tunggu! Kau… jatuh cinta? Ayo, ceritalah! Apa yang sedang kau alami? Dan, mari kita simpulkan apa itu,” cecar Dave.      “Entahlah. Beberapa waktu ini aku bertemu dengan seorang gadis dengan cara yang tidak biasa dan di dalam situasi yang selalu membuatnya terlihat lemah. Ehmm… mungkin rapuh. Berkali-kali aku merasakan bahwa ada bagian diriku yang merasa ingin selalu melindunginya. Selalu ada di sampingnya. Bagaimana menurutmu?”      “Eits… tunggu! Aku rasa kau yang harusnya mencari tahu. Bisa-bisa perasaan itu hanya mungkin sebatas kasihan.”      Kasihan? Apa memang aku hanya kasihan pada Celline dan tidak lebih?      “Ngomong-ngomong, wanita mana yang berhasil membuat The Mighty Rivaldi bergetar ini hah?” pancing Dave. Rivaldi tersenyum sekilas. Belum sempat Aldi menjawab, pintu ruangan Dave diketuk dari luar. Dave memberi instruksi untuk masuk pada orang itu dan pintunya dibuka.      “CELLINE!”, “KAK ALDI!” jawab mereka nyaris bersamaan. Celline yang masuk dan membuat Aldi berjingkat kaget. Wanita yang menjadi topik pembicaraannya dengan Dave kini di hadapannya.      “Eh… kalian saling mengenal?” Dave heran dan kedua orang itu mengangguk. Dave sedikit merasa heran dengan panggilan Celline pada Rivaldi, mengapa memanggilnya Aldi? Selama ini Rivaldi selalu meminta semua teman dan kerabatnya untuk memanggilnya Riva, sama seperti panggilan keluarganya padanya. Jangan… jangan…  Tapi, Dave menyimpan asumsinya itu dan nanti saja akan dibahasnya bersama Rivaldi.      “Ah, Celline ada yang bisa kubantu?” tanya Dave kembali pada Celline yang masih berdiri di depan pintu. Celline lalu beranjak maju dan mendekati meja Dave.      “A—anu, Pak. Saya cuma mau meminta dispensasi untuk pengumpulan proposal skripsi saya. Kemarin tas saya dicopet orang, Pak dan data proposal saya ada di dalam tas itu. Saya harus mulai lagi semuanya dari awal dan apakah bisa jika saya diberikan dispensasi pengumpulannya?” tanya Celline ragu sambil agak menunduk. Takut jika Dave marah.      “Oh ya? Dicopet? Saya paham situasimu, Celline. Tapi, saya tidak bisa memberikan dispensasi lebih dari 2 hari karena pihak jurusan akan segera melangsungkan siding untuk semua proposal. Kalau kamu lebih dari 2 hari, saya nyatakan kamu tidak ikut siding kali ini, oke?” jawab Dave dengan bijak.      Celline tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena Dave mau mengerti. Aldi melihat senyuman Celline dan ia pun ikut tersenyum. Tak berapa lama, Celline pamit keluar dari ruangan Dave. Aldi langsung berdiri dan menyusul Celline keluar. Belum sempat kakinya melangkah, tangan Dave mencekal tangan Rivaldi dan membuatnya berhenti.      “Wait… wait… wait! Mengapa dia memanggilmu Aldi? Bukankah kau lebih suka dipanggil Riva?” tanya Dave.      “Nanti akan aku jelaskan. Sekarang aku mau menyelesaikan urusanku. Bye!” pamit Rivaldi tapi tangan Dave menariknya lagi. Rivaldi memutar bola matanya malas dan menoleh ke arah Dave yang masih penasaran.      “Apa, Dave? Cepat!”      “Just wondering… apa Celline wanita yang membuatmu bergetar?” Rivaldi mendengus sebal, lalu mengangguk dan segera meninggalkan Dave yang tersenyum-senyum mendengar jawaban Rivaldi. Ia melepaskan cengkaramannya lalu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.      Asmara… oh Asmara… Betapa indahnya… Sepertinya sahabatku sudah menemukan cintanya. ***      “CELLINE, TUNGGU!!! TUNGGU!!!” Teriak Aldi menggema di seluruh selasar dan membuat Celline berhenti di tempat dan menoleh kea rah Aldi yang mengejarnya.      “Ada apa, Kak?” tanya Celline sopan.      Sambil tersengal-sengal, Aldi membalas, “Aku… aku… mau mengajakmu ke suatu tempat.” Tanpa menunggu persetujuan, ia menarik tangan Celline dan gadis itu hanya menurut hingga mereka sampai ke parkiran motor.      “Ini pakailah,” kata Aldi seraya memberikan helm dan jaket cadangan yang biasa ia bawa ke mana-mana pada Celline. Celline yang tidak mengerti langsung memakainya.      “Kak Aldi, kita mau ke mana?” tanya Celline sambil menunggu Aldi mengeluarkan motornya dari parkiran.      “Kita mau beli ponsel baru,” jawab Aldi      “Untuk Kakak? Kalau untuk Kakak, buat apa aku ikut?”      “Tentu saja untukmu, Bodoh!” kata Aldi sambil mengetukkan jarinya ke dahi Celline. Lalu ia menarik tangan Celline untuk naik ke motornya. Dan, Aldi mengegas motornya kencang hingga membuat badan Celline menabrak punggungnya dan refleks memeluknya. Aldi tersenyum penuh kemenangan. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi ke salah satu pusat IT di kota itu.       “Kak Aldi, sungguh aku tidak memerlukan ponsel saat ini. A... aku belum punya cukup uang untuk membeli yang baru,” celoteh Celline memecah keheningan. Ia merasa masih belum membutuhkan ponsel apalagi tabungannya juga belum cukup untuk membeli ponsel yang baru.      “Sudah, kau tidak perlu bingung. Pakai saja tabunganku dulu. Di zaman ini, kita tidak bisa hidup tanpa ponsel kan? Bagaimana caranya kau bisa menghubungi Ibumu atau sahabatmu atau mengirim pesan pada dosenmu kalau kau tidak memilikinya?”      “Ta-tapi…”      “Sudah, jangan membantah. Okay? Aku yang berniat memberikanmu ponsel jadi kumohon terimalah maksud baikku,” kata Aldi sambil tersenyum. Entah mengapa Celline seperti terhipnotis dengan senyuman Aldi dan langsung mengikuti langkah Aldi masuk ke pusat perbelanjaan itu.      Aldi membawa Celline ke salah satu toko ponsel di dekat deretan mesin ATM. Ia menyuruhnya untuk melihat beberapa jenis ponsel terlebih dahulu sementara ia mengecek tabungannya di ATM. Aldi melihat isi tabungannya dengan begitu miris. Angka itu berasal dari gajinya selama ini yang sudah ia pakai untuk kebutuhan hidupnya. Baru kali ini, ia merasa begitu malang. Biasanya, ia tidak perlu mempedulikan uang sakunya karena keluarganya pasti bisa mencukupinya, tapi semenjak ia mengemban misi ini hidupnya berbalik 180 derajat.      Ia menghitung-hitung kebutuhannya dan ia tersenyum. Nilainya masih cukup untuk membelikan ponsel Celline dan cukup untuk hidupnya 1 bulan lagi. Ia kembali ke toko itu dan melihat Celline sepertinya sudah menemukan ponsel yang cocok untuknya. Untung saja, harga ponsel yang dipilih Celline sesuai dengan perhitungannya. Ia membayar ponsel itu dan karyawan toko itu membungkus ponsel pilihan itu lalu menyerahkannya pada Celline.      “Kak Aldi, a-aku sungguh berterima kasih padamu. Aku berjanji akan segera melunasi hutangku,” kata Celline tak enak hati membiarkan Aldi membelikannya ponsel.      “Ah.. sudahlah. Lupakan tentang hutang. Aku yang berniat memberimu hadiah. Jadi, jangan jadikan ini sebagai beban. Okay?” jawab Aldi sambil tersenyum. Celline hanya menghela nafas panjang, percuma saja mendebat Aldi, sepertinya pria ini keras kepala.      Selepas dari toko ponsel, Aldi mengajak mereka beristirahat sejenak di sebuah café di dalam sana. Ia memesan dua buah es teh manis beserta sepiring cemilan bagi mereka berdua. Celline masih mengotak-atik ponsel barunya. Ia mencoba semua fitur yang ada di sana agar ia terbiasa. Tiba-tiba Aldi merebut ponsel Celline lalu mengetikkan sesuatu di sana dan mengembalikannya lagi pada Celline.      “Aku sudah memasukkan kontakku di sana. Kalau kau sedang dalam masalah, seperti waktu lalu, tekan angka 1, maka itu akan terhubung langsung padaku.” Jawaban Aldi itu membuat perasaan Celline jadi tak karuan. Ia merasa begitu dijaga dan diperhatikan oleh Aldi. Aldi memberikan perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari orang lain dan membuatnya jadi berbunga-bunga.      Celline menerima kembali ponselnya dan kembali mengutak-utiknya hingga tiba-tiba ia melakukan sesuatu sehingga ponselnya tidak merespon perintahnya.      “Lho… eh… lho…” Aldi beranjak dari tempat duduknya, mengambil duduk di sebelah Celline lalu mengambil ponsel itu dari tangan Celline. Ia mengutak-atik dan layar ponsel kembali ke layar utama. Celline bernafas lega. Aldi menjelaskan panjang dan lebar mengenai cara menggunakan ponsel itu pada Celline hingga gadis itu mengerti. Sesekali mereka bercanda, saling bertanya tentang kehidupan mereka dan mereka mengobrol begitu lama. Hari itu entah mengapa keduanya merasa begitu dekat satu sama lain dan sepertinya mereka mulai merasa saling terhubung. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD