Celline berkutat dengan ponselnya seharian ini di rumah Fabby. Ia bersama dengan Fabby mengerjakan skripsi mereka berdua, kebetulan keduanya mengambil topik yang sama namun dengan objek penelitian yang berbeda. Lagipula, mereka juga berkuliah di universitas yang berbeda jadi tidak ada salahnya jika saling membantu bukan? Mereka saling berbagi buku dan sumber referensi. Tapi, baru beberapa saat mereka mulai mengerjakan, Celline mendapatkan pesan singkat dari seseorang.
Wajah Celline berubah sumringah ketika membalas setiap pesan yang masuk dan ini pertama kalinya bagi Fabby melihat wajah sahabatnya yang seperti itu.
“Eh, sepertinya kau senang sekali hari ini. Apa karena pesan itu?” tanya Fabby namun tidak ditanggapi oleh Celline yang masih sibuk membalas pesan yang masuk selanjutnya. Fabby menggelengkan kepalanya sambil tersenyum jahil. Ia menarik ponsel Celline dari tangannya lalu membaca dengan lantang isi pesan yang tertera di sana. Celline terlihat gelagapan ketika Fabby membaca pesan singkatnya. Ia berusaha mengambil ponselnya dari tangan Fabby, tapi Fabby malah berusaha menghindar dan membawa lari ponselnya sambil terus membacakan dengan lantang isi pesan itu hingga pesan yang terakhir.
Celline mengerucutkan bibirnya dan mukanya merah padam seketika ketika Fabby mengembalikan ponselnya.
“Kau ini… Merebut ponsel tanpa izin,” kata Celline dengan nada marah.
“Ah, aku kan hanya ingin tahu kau chatting dengan siapa. Aku menduga itu pasti bukan Brandon karena biasanya kalau pria culun itu menghubungimu pasti kau tidak mau membalasnya cepat-cepat. Hmmm… sepertinya sahabatku ini menyembunyikan sesuatu,” duga Fabby sambil menyilangkan tangannya di depan d**a.
Celline mengambil nafas panjang lalu mulai menjelaskan tentang pertemuannya dengan Aldi hingga pertolongan Aldi padanya.
“Nah, dari sana entah mengapa setiap ia mengirimkan pesan singkat, aku merasa… uhmmm…”
“Berbunga-bunga?” tebak Fabby.
“Semacam itulah. Walau pesan yang ia berikan singkat, entah mengapa aku menganggapnya begitu… spesial,” kata Celline malu-malu. Fabby mencubit pipi sahabatnya ini gemas.
“Itu namanya kau jatuh cinta, bodoh!”
“Apa iya? Aku… masih belum tahu perasaanku sendiri. Aku belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya. Bahkan, Brandon yang memberikan perhatiannya padaku pun aku tidak pernah menganggapnya serius. Tapi, entah mengapa Kak Aldi begitu… berbeda. Ia mampu memberikanku rasa aman, nyaman dan mungkin… dipedulikan. Apa itu namanya jatuh cinta?” gumam Celline.
“Kata orang, kalau kau jatuh cinta yang kau rasakan hanyalah rasa aman dan nyaman bersama orang itu. Entah mengapa ia sepertinya satu-satunya orang yang mau mengerti dirimu. Eits, tapi tunggu… kau bilang kalau dia bertemu denganmu di setiap situasi tersulitmu kan?” Celline mengangguk.
“Hmm… bisa jadi perasaan pria itu hanya sebatas… iba padamu karena dirimu yang begitu terlihat kacau setiap bertemu dengannya.”
“Lalu… aku harus apa?”
“Tunggu. Kalau memang ia juga memiliki rasa itu padamu, cepat atau lambat ia akan memberitahumu isi hatinya. Tapi, jika itu hanya sebatas iba… maka kau harus siap dengan kenyataan bahwa perasaanmu bertepuk sebelah tangan,” jawab Fabby dengan bijak.
***
"Celline, eng… apa Sabtu siang ini kau ada waktu senggang?” tanya Aldi kepada Celline di sela-sela waktu istirahatnya melalui telepon. Celline terdiam sejenak dengan pertanyaan Aldi sambil mencari-cari di otaknya ada jadwal apa Sabtu ini.
“Sepertinya aku belum ada janji. Ada perlu apa, Kak?” tukas Celline.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” jawab Aldi sambil jantungnya berdegup kencang karena ia belum pernah mengajak seorang wanita berkencan sebelumnya dan entah mengapa sejak beberapa bulan saling berkirim pesan dengan Celline, ia merasa tidak pernah senyaman ini dengan seorang wanita. Ia seperti ketagihan untuk bisa memiliki waktu mengobrol dan mengenal Celline lebih jauh dan lebih lama tentunya. Ia berpikir ingin mengenal Celline dengan situasi yang berbeda. Ia mencoba mengajak… kencan.
“Oh… i-itu… a-a-aku… eng…”
“Aku jemput kau di kampus jam 9 pagi ya? Oh… jangan memakai rok, karena kita akan mengendarai motor ke jarak yang cukup jauh,” putus Aldi lalu sambungan itu ia matikan. Ia tak sanggup menahan detak jantungnya yang makin cepat saat mengatakan hal itu pada Celline. Ia matikan panggilan itu sebelum gadis itu menjawabnya.
Di seberang sana, Celline terpaku dengan ucapan Aldi. Ia masih tidak habis pikir dengan ucapan pria itu.
Apa ini sebuah kencan? Sudut bibir Celline terangkat. Di dalam pikirannya saat ini sepertinya ada pesta kembang api dan itu membuatnya makin merasa bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki perasaan itu. Tapi, ia memiliki harapan besar bahwa Aldi juga memiliki perasaan yang sama padanya.
Kembali pada Aldi. Pria itu tidak berhenti tersenyum sambil bersenandung lagu-lagu cinta favoritnya. Entah mengapa hatinya benar-benar menghangat ketika berinteraksi dengan Celline. Ia memutuskan untuk mencoba mendekati Celline. Meskipun ia selalui menemukan gadis itu begitu rapuh, tapi entah mengapa ia benar-benar ingin selalu ada di dekatnya, menjadi pelindung baginya, menjadi sumber kekuatan bagi gadis itu dan ia ingin gadis itu berubah jadi kuat karena kehadirannya. Mungkin ini tanda ia sedang jatuh cinta pada gadis itu. Cinta mungkin tidak selalu berupa perasaan yang abstrak, tapi cinta itu juga bisa berwujud sebuah keinginan untuk memberikan dan melindungi orang yang kita sayang.
Selepas menutup teleponnya, Aldi bergegas menuju ke ruang locker untuk memasukkan ponselnya kembali. Ketika masuk ke dalam ruangan sempit itu, ia mendengar beberapa rekan kerjanya bercerita sesuatu.
“Eh, aku mendengar Chef Hari dipecat!” kata Simon, pria kurus berkacamata.
“Hah? Masa? Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Jody di sebelahnya menimpali.
“Hai, kalian bicarakan tentang apa?” potong Aldi sambil menyimpan semua barangnya ke dalam lokernya.
“Kau tahu kemarin? Chef Hari dipanggil ke ruangan Mr Graham. Aku mendengar suara Mr Graham meninggi lalu berakhir dengan Chef Hari keluar dari ruangan itu dengan muka yang begitu sebal,” sambung Simon.
“Bagaimana kau tahu jika Chef Hari dipecat hari itu?” tanya Aldi penasaran.
“Aku samar-samar sempat menguping pembicaraan mereka dari luar. Aku mendengar jelas kata terakhir Mr Graham sebelum Chef Hari keluar dari ruangannya. Ia bilang Kau Dipecat!” jelas Simon sambil memperagakan gaya ala Mr Graham.
“Kau tidak mendengar apapun selain itu? Mungkin penyebab mengapa dia dipecat?” telisik Aldi.
“Eng… sepertinya… aku samar-samar mendengar kalau Chef Hari mengatakan sesuatu tentang resep barunya. Ia seperti tidak menginginkan Mr Graham mengetahui resepnya atau apa begitu. Aku tidak terlalu jelas.”
Mata Aldi terbelalak. Jangan-jangan Mr Graham berbuat ulah lagi. Ia segera mengambil ponselnya lagi dari tasnya lalu keluar meninggalkan Simon dan Jody diam-diam yang masih melanjutkan pembicaraan itu menuju celah kecil di balik dinding parkiran motor karyawan. Ia menekan-nekan tombol di ponselnya.
“Papa sudah dengar berita terbaru? Chef Hari dipecat pagi ini,”
“APA???” suara di seberang sana terdengar sangat kaget, mengingat Chef Hari adalah karyawan paling loyal dan paling berkontribusi di The Grand Dining. Bahkan, saat restoran itu baru menjalankan bisnisnya, Chef Hari sudah di sana untuk ikut berjuang membesarkan The Grand Dining. Dan, hari ini ia mendengar bahwa orang penting di restoran itu telah dipecat. Betapa syoknya Antony! Entah mengapa tiba-tiba jantungnya terasa tidak senormal biasanya. Ada rasa sakit yang muncul di d**a kirinya dan ia memegangi dadanya sambil berusaha mendengarkan laporan anaknya.
“Menurut informasi yang aku dapat, sepertinya Mr Graham geram padanya akan sesuatu dan itu berkaitan dengan menu baru yang Chef Hari buat. Tiba-tiba aku merasa Mr Graham mungkin juga berkaitan dengan kasus ini, Pa.”
“Jangan gegabah, Nak. Kau harus punya bukti yang cukup kuat untuk itu. Kita tidak bisa sembarangan menuduh,” jawab Antony di seberang sana sambil terus memegangi dadanya yang makin lama makin nyeri.
“Aku tahu apa yang harus kulakukan. Papa tidak perlu kuatir. Aku akan mencoba mencari waktu untuk menemui Chef Hari untuk menanyakan lebih detil. Bisa Papa kirimkan alamat rumahnya padaku? Aku akan menanyakan padanya secara langsung.”
“Papa akan mengirimkannya, tapi kau harus benar-benar berhati-hati, Di! Jangan sampai rencanamu diketahui semua orang” pesan Antony dengan nada suara yang tidak sekuat sebelumnya lalu menutup panggilan itu. Ia berusaha mengambil nafas sambil tangannya memegangi d**a kirinya yang makin nyeri. Sementara tangannya yang satu lagi, membuka laci dan mengambil obat di dalam sana. Ia lalu menenggaknya cepat sebelum akhirnya pria itu kembali bersandar dan memejamkan matanya.
Sejenak setelah ia memutus panggilan itu, Rivaldi mendapatkan sebuah pesan singkat dari Antony tentang alamat. Ia mengingatnya lalu menghapus semua rekam jejak panggilan itu agar tidak diketahui siapapun. Ia berjalan masuk kembali ke ruang loker tanpa sadar seseorang telah menguping pembicarannya daritadi.
***
Malam sebelumnya
“Wah… kelihatannya menu ini sangat menggiurkan, Chef!” kata Simon, asisten Chef Hari yang membantunya menyelesaikan menu baru yang dibuat Chef Hari.
“Tunggu, kau belum lihat sentuhan akhirnya. Ini akan membuatnya terasa begitu spesial,” kata Chef Hari sambil membuat garnish khusus dan menempatkan hiasan itu di atas piring saji membuat menu baru itu terlihat begitu mewah dan istimewa.
Mr Graham yang hendak masuk ke ruangannya melihat ke arah dapur dan menemukan kedua orang itu berkutat dengan sebuah hidangan yang ia belum pernah lihat sebelumnya. Ia mendekati meja saji itu dan berdeham membuat Simon dan Chef Hari tersentak kaget.
“Wah… sepertinya ini akan jadi best seller di restoran kita. Bagus sekali kerjamu, Chef!”
“Terima kasih, Mr. Graham. Apa Anda ingin mencobanya?” Chef Hari menyodorkan sebuah garpu pada Mr Graham yang langsung disambutnya. Mr Graham memotong secuil hidangan itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sejenak ia memejamkan mata, merasakan betapa lezat dan juicy-nya hidangan berbahan dasar daging domba itu.
“It’s Perfect!!! Perfect!!!” puji Mr Graham sambil tersenyum lebar.
“Anda terlalu menyanjung, Mr Graham,” Chef Hari merendah.
“Terkait dengan menu ini, mari kita coba bicarakan detilnya di dalam ruanganku. Aku ingin tahu lebih detil tentang menu ini,” sahut Mr Graham lalu berjalan masuk ke kantornya diikuti Chef Hari di belakangnya.
“Chef Hari, aku sungguh senang dengan hidangan baru kreasimu. Apa bisa aku meminta resepnya?”
Chef Hari mengernyitkan dahinya. Selama ia bekerja di The Grand Dining, ia tidak pernah diminta untuk memberikan resep masakan kreasinya karena para petinggi The Grand Dining sepakat untuk menjaga hak cipta dari setiap kreasi menu yang ada. Para Chef yang membuat menu baru tetap dapat menyimpan resep itu untuk dirinya sendiri. Para asisten hanya membantu menyiapkan bahan, tapi hanya para Chef yang boleh meramunya menjadi hidangan. Dengan begitu, cita rasa aslinya tetap terjaga. Maka dari itu ia heran ketika Mr Graham meminta ia menuliskan resepnya. Ia tidak mau melakukan itu untuk melindungi hak ciptanya.
“Maaf sebelumnya, Sir. Untuk apa Anda meminta resep itu?”
“Aku bermaksud mendokumentasikannya dalam arsip perusahaan.”
“Ah kalau itu, aku yang akan mengerjakannya sendiri. Anda tidak perlu repot-repot melakukannya untukku dan bukankah itu sudah jadi tanggung jawabku,” jawab Chef Hari karena dia benar-benar ingin melindungi karyanya.
“Aku hanya ingin membantu meringankan kerjamu, Chef!”
“Terima kasih atas inisatif Anda, tapi kurasa aku bisa melakukannya sendiri,” balas Chef Hari.
“Baiklah kalau kau begitu keras kepala. Bagaimana jika kuberikan kau 500 juta untuk resepmu itu? Maukah kau memberikannya untukku. Kurasa itu angka yang besar untuk sebuah resep dari maestro kuliner sepertimu.”
Chef Hari mulai merasakan kejanggalan dengan perilaku Mr Graham. Chef Hari tidak gentar, berapapun tawarannya ia tidak mau melepaskan hak cipta dan kreasinya pada pria botak itu.
“Maafkan aku, Sir! Tapi, resepku bukan untuk dijual kepada siapapun. Aku tidak akan memindah tangankan resep itu pada siapapun dan kau tak bisa memaksaku untuk itu. Aku heran mengapa kau benar-benar ingin resep ini, Mr Graham? Atau jangan-jangan Anda ingin menjual menu ini pada kompetitor?” curiga Chef Hari.
“Kau tidak perlu tahu apa yang aku lakukan, Chef. Serahkan resep itu atau karirmu di bidang kuliner akan habis hari ini juga!” kata Mr Graham yang meninggi karena sudah kehabisan kesabaran.
“Aku katakan sekali lagi, sekali tidak TETAP TIDAK! Terserah apapun yang Anda mau lakukan, aku tidak akan menyerahkan resep itu padamu,” kata Chef Hari marah lalu keluar dari ruangan Mr Graham. Jody memperhatikan Chef Hari yang pergi begitu saja dari ruangan Mr Graham terheran-heran.