BAB 8

1116 Words
Pukul tujuh malam Cancri akhirnya terbangun, pria itu segera membuka matanya. Beberapa kali ia mengedipkan mata dan menyesuaikan terangnya cahaya lampu dalam ruangan itu. Matanya menatap kanan dan kiri, lalu bibirnya menyunggingkan senyum. Saat ini kedua putrinya sedang tertidur dengan tenang, mereka memeluknya dengan erat. Pria itu menatap kearah Marcus yang baru saja tiba. “Marcus, ada apa?” “Pain, kita mempunyai rapat di markas pusat.” Cancri kembali memejamkan matanya, ia sangat malas menghadiri rapat. Seandainya Snake atau Scaled ada, mungkin akan lebih baik. “Apa rapat itu tidak bisa ditunda?” tanya Cancri. “Tidak. Semua petinggi Golden Snake dari berbagai belahan dunia sudah hadir,” sahut Marcus. “Biarkan mereka beristirahat malam ini, kita akan mengadakan rapat besok.” Cancri kembali membuka mata, ia sama sekali tak mengizinkan Marcus melakukan protes. Lebih baik ia tidur dan menghabiskan waktu bersama kedua putrinya. “Baiklah, aku akan menghubungi Kai dan Avren.” “Ya,” sahut Cancri malas. Ia menatap Marcus yang segera pergi dan mengecup kening kedua anaknya. Pria itu memutuskan untuk bangun, ia duduk dan memijat pelan keningnya. Rasa sakit pada kepalanya begitu terasa, ia perlu obat sekarang juga. “Rizzel!” panggil Cancri. Rizzel segera muncul, wanita sudah lama berada disekitar Cancri yang tertidur. “Obatku,” ujar Cancri. Rizzel dengan cepat memberikan obat kepada Cancri. Ia menatap Cancri yang dengan cepat menelan obat itu tanpa bantuan air. “Pain, kau berpikir terlalu banyak. Jangan membuat kondisimu semakin buruk,” ujar Rizzel. “Aku tahu, berhentilah untuk mengatakan banyak hal sekarang. Aku ingin tidur dengan nyaman dan jangan sampai ada yang mengangguku hingga pagi.” “Aku hanya menasehatimu, kau harus segera melakukan pencucian darah atau kau akan mati!” tegas Rizzel. “Jangan khawatir, ini baru satu tahun percobaan dan racun itu cukup baik bagi tubuhku.” Cancri menggeleng pelan, ia meraih jepitan rambut dan segera merapikan rambutnya. Pria itu kembali menatap Rizzel. “Apa kau mendapat informasi tentang kesehatan Alexander?” tanya Cancri. “Tuan Muda Alexander dalam keadaan baik,” sahut Rizzel. “Bagaimana dengan kedua orangtuanya?” “Nona Rebecca dan Vulcan juga dalam keadaan baik,” sahut Rizzel lagi. Cancri mengangguk. “Kau boleh pergi, aku ingin segera beristirahat.” Rizzel mengangguk, ia segera menghilang dan menyisakan Bride yang memang sengaja keluar untuk bertemu Cancri. “Bawa Zivora, aku akan tidur di kamar bersama mereka berdua.” Cancri segera bangun, ia meraih tubuh Ashura dan menatap Bride yang meraih tubuh Zivora. Mereka segera melangkah kearah lift, lalu menuju lantai atas. Cancri mengecup kening Ashura, ia menatap wajah manis gadis itu ketika tertidur. “Kau tidak berencana menyerahkan Golden Snake dengan cepat kepada Tuan Putri?” tanya Bride. Cancri melirik bawahannya. “Tidak, aku harus menjaga mereka berdua dengan benar. Mungkin Golden Snake akan tetap dibawah kendaliku.” “Tapi kesehatanmu,” ujar Bride. “Bride, itu bukan masalah bagiku.” Pintu lift segera terbuka, Cancri juga melangkah secepat mungkin kearah kamarnya. Ia tak bisa menahan rasa sakit yang mulai menjalar dikepalanya. Pria itu membuka pintu agak kasar, ia meletakkan tubuh Ashura dengan lembut diatas ranjang. Bride masuk, ia juga meletakkan tubuh Zivora. Pria itu menatap Cancri yang kini memilih membuka balkon kamar dan duduk pada sofa diluar sana. “Bride, kemari.” Bride segera menghampiri Cancri, ia berdiri disamping pria itu dan matanya menatap hutan yang sangat luas. Tempat itu begitu tenang, menguntungkan bagi mereka yang ingin hidup damai tanpa gangguan dari pihak luar. “Saat umur Ashura dan Zivora sudah lebih matang. Aku akan mengirim mereka ke Amerika,” ujar Cancri. Bride melirik. “Apa yang ingin kau lakukan?” “Aku harus menemukan racun yang lebih kuat daripada yang sekarang, kau tahu persaingan semakin ketat dan aku tak ingin mafia-mafia kecil itu menggeser kekuasaanku.” Bride mengembuskan napasnya pelan. “Pain, ambisimu sangat besar. Apa kau tidak tahu jika pemerintah dunia selalu mengawasimu?” “Apa yang kau dapatkan?” tanya Cancri. “Mereka kembali mengawasi bisnis kotormu,” ujar Bride. Cancri mengangguk. “Biarkan saja, kita masih punya banyak cara untuk melakukan berbagai bisnis.” “Pain, apa mereka bertiga masih tidur?” tanya Bride pada akhirnya. Cancri tak menyahut, ia menyandarkan tubuhnya dan menatap langit yang gelap. “Kau lelah?” tanya Bride. “Tidak, aku hanya lapar.” “Apa yang ingin kau makan malam ini?” “Bawa lima orang wanita kedalam penjara bawah tanah, aku ingin menikmatinya dengan benar sekarang.” Bride menggeleng. “Jika kau lapar, kau bisa meminta pelayan membuat makanan dan mengantarkannya kemari.” “Bride, tubuh ularku sangat lapar. Aku perlu makanan yang besar dan lezat sekarang,” ujar Cancri. “Kau benar-benar rakus! Dua bulan lalu kau baru saja menikmati lima manusia dan sekarang kau ingin menikmatinya lagi. Persediaan makananmu semakin menipis, dan kami harus secepatnya mencari makanan yang sesuai dengan tipemu.” “Kau terlalu banyak bicara, apa aku harus memotong gajimu?” tanya Cancri. “Pain!” tegas Bride tak terima. “Apa yang salah?” tanya Cancri tanpa mengalihkan pandangannya. “Kau benar-benar lebih kikir daripada mereka bertiga,” sahut Bride. Cancri menatap Bride datar. “Buka pintu, ada Mommy diluar sana.” Bride segera berlalu, ia membukakan Chaeri pintu. Setelah Bride pergi Cancri menutup matanya, ia menghirup aroma menenangkan yang perlahan mendekat. Pria itu mengalihkan tatap matanya, memandangi wajah cantik sang ibu yang selalu memamerkan senyuman manis nan anggun. “Cancri, Mommy dengar kau sedang sakit.” Chaeri segera duduk di depan anaknya, wanita itu meneliti wajah Cancri. “Mom, apa ada yang salah dengan wajahku?” tanya Cancri. “Apa kau sudah berdiri didepan cermin?” tanya Chaeri. Ia tertawa kecil, matanya kembali menatap Cancri. Cancri menggeleng, ia merasa tidak ada yang berubah dari dirinya. Pria itu menatap ibunya, melihat bagaimana wanita itu tersenyum geli. “Mom, ada apa ini?” tanya Cancri. “Masuklah, kau harus melihat wajahmu sekarang juga.” Cancri yang merasa penasaran segera masuk, pria itu menghampiri kaca yang ada disudut ruangan kamarnya dan terkejut. “DADDY! BAGAIMANA APA TERLIHAT TAMPAN?” tanya kedua putrinya dari arah belakang. Cancri mengalihkan pandangan matanya, ia bisa melihat kedua putrinya yang sedang tertawa senang. “Anak-anak, apa kalian sangat bahagia?” “Ya! Bahkan kami ingin Daddy tidak menghapusnya dalam beberapa hari.” Zivora dan Ashura kembali tertawa, mereka benar-benar kompak dan sangat akrab. Cancri mengangguk, ia menghampiri kedua putrinya dan mencubit pipi mereka. “Kalian sangat nakal.” “Apa Daddy bisa pergi bersama kami besok?” Ashura memeluk Cancri, ia melingkarkan kakinya pada tubuh sang ayah. “Daddy harus menemani kami, sebelum kami pergi berlibur.” Zivora meraih boneka didekatnya, ia memeluk boneka itu dan menatap Cancri. “Baiklah, bagaimana jika menghabiskan waktu dipusat kota?” tanya Cancri. “Kami setuju, Dad.” Cancri meletakkan tubuh Ashura diatas ranjang. “Jika kalian serius, segera kembali tidur dan Daddy akan menyelesaikan beberapa pekerjaan malam ini.” Keduanya segera berbaring, mereka mengatur posisi yang nyaman dan memejamkan mata. “Selamat tidur Malaikat Kecilku.” “Selamat malam, Daddy.” Setelah itu Cancri kembali menemui ibunya, ia terus tersenyum dan merasa anak-anaknya begitu aktif. Ada perasaan senang yang selalu menghujamnya sekarang, meskipun tumbuh tanpa seorang ibu, tetapi kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang. Cancri tahu, keduanya sangat merindukan sosok ibu dam mereka tak bisa mendapatkannya dari orang lain. ‘Felica, jika benar dugaanku, aku akan mempertemukan kalian lagi. Kau harus tahu, mereka sangat merindukanmu.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD