BAB 7

1172 Words
Cancri dan Marcus baru saja tiba di mansion keluarga Snake, para pelayan sudah membungkukkan tubuh mereka saat Cancri memasuki ruangan mansion utama. "Daddy ...," panggil Zivora dan Ashura dalam waktu bersamaan. Kedua gadis itu berlari menghampiri Cancri, mereka menengadahkan kepala dan tersenyum manis. "Ada apa putri-putriku ini, apa ada sesuatu yang sangat menarik?" tanya Cancri. Pria itu menyetarakan tinggi badannya, ia mengusap wajah kedua anaknya dan kembali tersenyum. "Daddy, Grandpa mengajak kami berlibur ke Amerika." Ashura semakin melebarkan senyumnya. Zivora menatap adiknya, ia tersenyum saat mendengar kabar itu. "Apa kalian sangat senang?" tanya Cancri. "Tentu. Tapi itu sangat kurang," ujar Zivora. Cancri menaikkan alisnya, ia menatap putri sulungnya yang terlihat tidak terlalu puas. "Seharusnya Daddy juga ikut pergi," balas Ashura. Cancri merentangkan tangannya, ia segera mengangkat tubuh kedua putrinya dan melangkah kearah ruang keluarga. "Dengar, Daddy tak bisa meninggalkan pekerjaan. Bagaimana jika saat kalian kembali, kita berlibur ke mansion pulau?" "Benarkah?" tanya keduanya bersamaan. Cancri mengangguk, kedua putrinya segera mengecup pipi sang ayah dan tertawa bahagia. "Tapi, kapan pekerjaan Daddy akan selesai?" tanya Ashura. Cancri mengembuskan napasnya. "Daddy akan mengusahakan dalam tahun ini." Ashura dan Zivora secara bergantian mengusap wajah Cancri. Mereka tertawa saat sang ayah menutup mata, dan setelahnya memeluk tubuh ayah mereka dengan erat. Cancri mengecup kening kedua putrinya, ia merasa begitu damai sekarang. Kehadiran keduanya membuat Cancri kembali mengenang Tania dan Rania, seandainya ia tidak melenyapkan kedua putrinya itu. "Daddy, apa Daddy sakit?" tanya Ashura yang merasakan tubuh ayahnya sedikit berbeda. "Tidak. Ada apa, sayang?" tanya Cancri. "Daddy begitu berbeda hari ini. Apa Daddy bekerja sangat keras?" tanya Zivora. Cancri merasa aneh, kedua putrinya begitu peka dan bisa menebak jika ia merasa sedikit lelah karena permainannya tidak berakhir seperti keinginannya. "Hei, apa kalian berdua sedang menjadi seorang peramal?" tanya pria itu. "No, Dad." Suara keduanya bersamaan. "Lalu?" tanya Cancri. "Bau amis, apa Daddy baru saja terluka?" tanya Ashura. Cancri nyaris saja lupa jika kedua putrinya memang begitu teliti, bahkan memiliki penciuman yang tajam. Ia juga ingat saat bulan pertama Lizzy dan Felica akan menghisap darahnya, dan itu karena anak-anak yang berkembang dirahim mereka. "Daddy hanya terjatuh, tidak sakit sama sekali." Cancri mengelus kepala dua malaikat itu, ia bersandar dengan tenang pada sofa. "Daddy, apa kami boleh mengepang rambut Daddy?" tanya Ashura. Cancri melepas pelukannya. "Apa kalian yakin bisa menyisir dan mengepang rambut Daddy?" "Ya!" sahut keduanya cepat. Oh ... Cancri begitu bahagia kala menatap binar bahagia kedua putrinya. Pria itu kembali mengusap wajah anaknya, satu kebiasaan yang selalu ia lakukan kepada orang-orang yang begitu berharga dalam hidupnya. "Kami juga menyayangimu, Dad." Cancri mengangguk, ia senang melihat kedua putrinya begitu akur dan kompak. "Pelayan, berikan sisir dan pengikat rambutku kepada mereka." Cancri kembali tersenyum. "Kenapa kalian bangun sangat cepat?" "Kami merindukan Daddy," sahut Zivora. "Apa kalian sangat mencintai Daddy?" tanya Cancri. "Tentu," sahut Ashura. Ia melirik Zivora, keduanya lalu terkekeh. "Apa kalian merencanakan sesuatu?" tanya Cancri. "Daddy, apa Mommy pernah menyisir rambut Daddy?" Cancri terkekeh, ia mengecup kening Ashura lalu melakukan hal yang sama kepada Zivora. "Lebih dari menyisir, apa kalian percaya?" "Kami akan melakukan lebih!" tegas Zivora. Sudah cukup ia melihat wajah ayahnya yang selalu murung saat sendirian, ia akan bekerja sama dengan adiknya untuk membuat kenangan yang tak bisa sang ayah lupakan. "Permisi, Tuan. Barang yang Anda minta sudah kami bawakan," ujar Kepala Pelayan. Wanita paruh baya itu membungkuk, ia kemudian menegakkan tubuhnya dan mundur. Tatapan mata Cancri benar-benar membuatnya tak bisa bergerak. Ia terpesona saat pria itu memandanginya. "Elia, terima kasih. Kalian bisa meninggalkan ruangan ini sekarang," ujar Cancri. Para pelayan mematuhi perintah Cancri. Sedangkan Zivora dan Ashura segera turun dari pangkuan Cancri. Mereka meraih sisir yang ada diatas nampan dengan kain emas yang melapisinya. "Daddy, tutup mata Daddy dan jangan mengintip!" titah Ashura. Cancri hanya menurut, ia membiarkan rambut panjangnya tergerai dengan bebas. Pria itu menenangkan diri, ia mengambil posisi nyaman dan berusaha untuk tertidur. Tidak akan mudah merawat rambutnya, dan itu akan sangat lama karena Zivora dan Ashura masih sangat kecil. Ashura dan Zivora saling menatap, mereka memulai pekerjaan dan menatap rambut ayah mereka dengan jeli. Ular-ular yang ada antara helaian rambut Cancri segera pergi, mereka tak ingin mengganggu kegiatan kedua putri kecil itu. "Zivora, apa kau bisa meminta Elia mengambil beberapa pewarna di kamarku?" bisik Ashura. Zivora mengangguk, ia segera bergegas. Ashura melirik ayahnya, ia akan membuat kejutan untuk pria itu sekarang. Ashura mulai menyisiri rambut sang ayah, ia tersenyum saat menghirup aroma rempah hutan dari rambut panjang sang ayah. Helaian rambut itu berwarna putih, begitu lembut dan sangat nyaman untuk disisir. Zivora segera kembali, ia mulai menyisir rambut ayahnya dan duduk berhadapan dengan Ashura. "Ashura, kenapa rambut Daddy begitu panjang. Apa kau tahu alasan Daddy memanjangkan rambutnya?" tanya Zivora. "Tidak, tapi itu pasti berkaitan dengan Mommy." Ashura mengelus rambut ayahnya, ia tersenyum saat ingat cerita Marcus setiap kali ia ingin tidur. "Kau benar. Kakek Marcus pernah bercerita jika Daddy memanjangkan rambutnya sejak berumur dua tahun," balas Zivora. "Apa menurutmu Daddy sangat tampan?" tanya Ashura lagi. "Ya. Bagaimana menurutmu?" tanya Zivora. "Daddy adalah yang paling tampan!" sahut Ashura. "Tapi, apa kau pernah mendengar gosip jika Daddy sangat diidolakan oleh wanita-wanita diluar sana?" tanya Zivora. "Aku membenci mereka, apalagi sekretaris dari perusahaan Daddy yang sering berkunjung kemari." Ashura merengut, ia memang tak menyukai jika ada wanita lain yang dekat dengan ayahnya. Gadis kecil itu memasang wajah masam, ia sering melihat jika sekretaris itu berusaha menarik perhatian sang ayah. "Aku tak akan membiarkan wanita-wanita itu mengganggu Daddy!" timpal Zivora. "Itu sangat menyebalkan!" ujar keduanya bersamaan. "Ashura, apa Daddy sudah tertidur?" tanya Zivora. "Aku akan memeriksanya," sahut Ashura. Gadis itu segera berdiri, ia menatap wajah tenang ayahnya yang kini tertidur. "Daddy," panggil Ashura. Tetapi ayahnya itu sama sekali tidak bereaksi. Ashura melambaikan tangan kanannya didepan wajah sang ayah, ia tersenyum dan segera berlari kearah pintu keluar. "Elia, apa kau sudah mengambil pewarna di kamarku?" tanya Ashura saat melihat Kepala Pelayan masih berdiri dengan setia didepan pintu masuk. "Tuan Putri, saya sudah mengambilnya sejak tiga puluh menit lalu," sahut Elia. Ia memberikan pewarna itu kepada Ashura, kemudian tersenyum saat Ashura segera berlalu dan menutup pintu. "Zivora, ayo kita mulai." Ashura memberikan salah satu spidol kepada Zivora, mereka sama-sama tersenyum. "Ayo!" sahut Zivora penuh semangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD