Jingga Pov.
Menjadi licik bukanlah sebuah opsi melainkan keharusan bagiku. Untuk bertahan dalam tekanan Mei aku harus merubah sifat tak enak hati yang menemaniku hampir seumur hidupku. Sudah saatnya aku menjadi lebih berani karena bukan saatnya lagi menunggu faktor keberuntungan. Aku sudah menyerah untuk diam sambil menunggu bukti penting itu datang sendiri. Aku sadar jika harus melakukan segala cara agar Mei mengakui kejahatan yang ia perbuat. Dan aku tahu seorang wanita mengaku atau mengatakan semua yang ada di dalam hatinya ketika ia sedang emosi. Wanita biasanya akan meledak jika ia tidak bisa menahan perasaannya, tugasku adalah mencari cara agar Mei meledak. Satu - satunya yang aku pikirkan adalah menggunakan Kevin.
Jika karena perbuatanku, masyarakat mengcap diriku tidak punya perasaan, maka aku harus terima. Aku akui memang salah membuat suami agar menyakiti wanita, tapi untuk wanita yang sudah membuat ayahku meninggal dan menghina almarhum ibuku--- aku rela mendapat cacian itu.
Andai saja ada orang yang mengatakan untuk membuat Mei mabuk sehingga mengakui kejahatannya-- terus terang aku sudah memikirkan dari dulu. Jika saja keterangan orang mabuk bisa dianggap legal oleh pengadilan maka semua akan lebih mudah. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Semua tidak semudah yang ada di sinetron.
Pagi ini aku menunggu kehadiran Kevin yang akan memberikan pukulan menyakitkan pada Mei. Aku rasa sikap Kevin akan pantas diterima Mei, sekali lagi jangan salahkan aku karena Mei sudah menghina ibuku maka ia harus merasakan penghinaan dari suaminya. Dia pasti memberi kata - kata yang menyenangkan telingaku. Aku berharap ucapan Kevin nanti mengena pada mental wanita kejam itu.
Tap.
Tap.
Ini dia, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga dan menuju ke arahku. Sudah saatnya berakting lagi. Aku juga harus menyiapkan telingaku agar tahan. Dan suara musik dari kamarnya itu benar - benar mengganggu.
"Makanan sudah siap belum?" Mei memulai ocehannya yang tidak terkendali. "Tunjukin kalau kamu berguna."
"Sudah, Bi. Kali ini aku memasak gado - gado untuk sarapan..." jawabku santai.
"Ternyata kamu juga pandai masak ya? Tidak seperti wanita lapuk yang hanya bisa memerintah dan makan saja. "
Aku terkejut dengan kedatangan Kevin dari pintu masuk. Seharusnya aku mendengar suara pantofel nya mengetuk lantai.
'Apa aku terlalu berkonsentrasi pada Mei sehingga tidak mendengarnya? Atau karena suara musik yang terdengar dari kamar Mei yang menutupi suara langkah kaki Kevin?' tanyaku dalam hati.
Sebagai reaksi terkejut, aku tanpa sadar melihat ke arah Kevin, dan ia sama menakjubkan seperti biasanya. Sangat mengagumkan, seksi dan beraroma jantan. Dia memiliki senyum yang mahal, karena bisa dipastikan senyumnya akan membuat siapapun jatuh cinta. Jangankan tersenyum, saat ia bersikap dingin saja sudah merontokkan hati para gadis.
Tunggu dulu apa hanya aku yang terkagum - kagum dengan pria itu? Ah, tentu saja tidak. Lihat saja Mei, ia bahkan tidak mendengarkan sindiran dari Kevin saat indra penglihatannya menangkap sosok menakjubkan yang masuk dari arah pintu masuk.
Mei bahkan tidak merasa malu atau apapun. Dia masih tenggelam pada pesona Kevin.
'Apa dia menderita Ikemen Syndrom?' batinku.
Sangat menjijikkan, wanita ini seolah tidak memiliki harga diri. Dia tetap menunjukkan wajah yang tergila - gila pada Kevin padahal ia dihina oleh suaminya. Di mana urat malunya, lihat saja Kevin menatapnya jijik.
Aku memperhatikan mata Mei melebar, bahkan menelisik penampilan Kevin mulai dari bawah hingga ke atas, lalu ke tengah - tengah tubuh pria itu. Dari matanya yang melotot dan menelan ludah susah payah, aku bisa menebak apa yang sedang wanita ini fantasikan. Yah sudah jelas Mei membayangkan benda yang hidup milik Kevin berada di dalamnya.
Huh, tidak hanya serakah dan kejam dia juga memiliki otak meesum. Dari sini aku berpikir, bagaimana mungkin Ayahku bisa mencintai wanita seperti ini. Apa yang sudah ia pikirkan ketika jatuh cinta pada wanita seperti ini. Mungkinkah ayahku dulu ingin kembali merasakan perasaan ketika masih muda sehingga ia berpacaran dengan Mei. Entahlah, apapun itu semoga saja dia beristirahat dengan tenang.
"Daddy!" Panggilku agak keras sehingga menyadarkan Mei dari fantasi yang aku yakin menjijikkan.
Seperti dugaanku, dia melonjak dan agak kebingungan. Lalu ia berhasil menguasai diri dan bersiap menyambut Kevin dengan senyum.
"Kevin, kau sudah datang..."
Sangat lucu, dia tidak tahu jika Kevin menyadari ia melototi benda yang tersembunyi dari balik celana Kevin.
Aku sungguh tidak sabar melihat reaksi apa yang akan diberikan oleh Kevin kala menyadari jika istrinya melototi barangnya. Apa dia akan menyeret Mei naik ke kamar dan melakukan kewajibannya sebagai suami ataukah melakukan hal yang berlawanan dengan itu. Sungguh aku sangat penasaran dan merasa antusias melihat reaksinya.
"Jaga matamu. Kau menjijikkan," cela Kevin.
Yeah, inilah yang aku tunggu. Semburan kata-kata pedas dari Kevin pada Mei adalah hiburan tersendiri bagiku. Lihat saja, Mei memerah karena malu. Dia tidak bisa menyembunyikan keinginannya sekaligus kekagumannya pada milik Mei yang sudah lama ia pelototi.
Sejujurnya aku juga kagum akan sesuatu yang berada di balik celana berbahan mahal yang dikenakan oleh Kevin. Itu nampak menggelembung besar. Kevin adalah pria yang tinggi besar, tegap sekaligus proporsional. Dia memiliki otot yang menghias tubuhnya tapi tak berlebiham seperti binaraga. Dia ramping dan berotot, yang pastinya miliknya mungkin juga sangat berotot.
"Maaf, aku akan ke kamar dulu dan ganti---."
Kevin mengabaikan Mei dan langsung menuju ke arahku. Dia menunjukkan senyum yang bisa membuat wanita dan gadis - gadis di jalan ribut. Sedangkan Mei menatapku tajam seolah ingin memakanku hidup - hidup.
"Rupanya kamu pandai masak ya? Rajin dan pendiam, ngak seperti wanita yang hidupnya saja seperti kutukan bagi orang lain," sindir Kevin pada Mei. Dia memujiku lalu menghina Mei.
"Aku- aku juga bisa masak kok!" bantah Mei.
"Bearti kamu malas. Aku bahkan tak pernah melihatmu masak. Sudahlah, apa kau siap Jingga? Kita ke kantor sekarang. Ada banyak laporan yang harus kamu periksa. Sebab kemarin ada manusia yang ngak punya otak menghabiskan waktu sia - sia di kantor. "
Aku mengikuti alur yang dibuat Kevin. "Iya Daddy, Jingga ambil tas dulu ya?"
Kuputar tubuhku membelakangi Kevin, juga mengabaikan Mei yang tadinya berdiri membeku.
Samar - samar aku mendengar Mei mengiba pada Kevin. Sungguh luar biasa akting yang ia tunjukkan. Jika orang tidak mengenal sifatnya maka siapapun pasti tertipu dan mengira ia sangat malang. Mungkin saja aktingnya itu yang membuat ayahku dulu terpedaya.
"Kevin, kenapa kau menghina ku di depan Jingga lagi," lirih Mei.
Aku bisa mendengarnya dari atas segala yang Mei ucapkan mereka. Yah jujur saja, langkahku perlambat agar bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Barang kali aku bisa mengetahui seperti apa Kevin itu.
"Yang aku katakan adalah kenyataan. Kau sama sekali tidak menunjukkan hal yang berguna padaku. "
"Katakan apa yang harus aku lakukan agar aku bisa bernilai di depan matamu?"
Aku semakin menajamkan pendengaranku. Benar - benar penasaran pada jawaban dari Kevin. Jika aku perhatikan, Mei memang berusia tiga puluhan lebih, sama dengan Kevin. Dia masih kencang di usianya yang tidak lagi muda, jadi aku mulai menebak - nebak apa yang Kevin katakan. Aku yakin jawaban Kevin bukan meminta Mei tampil cantik.
"Aku hanya ingin istriku menjadi istri yang baik dan berguna. Bukan wanita munafik," jawab Kevin.
Rasanya aku ingin tertawa. Mana mungkin Mei bisa melakukannya. Dia kan wanita yang meracuni suaminya dengan obat agar ia meninggal.
Tanpa ingin mendengar percakapan mereka, aku mengambil tas. Dan ketika aku kembali untuk menuruni tangga, Mei naik dengan terburu - buru menuju kamarnya.
'Siapa perduli. Aku bahkan tidak simpati sama sekali.'
Di bawah Kevin sudah menunggu kedatanganku dengan senyum tipis.
"Kau sudah siap?" tanya Kevin.
"Iya, Daddy. "
Tanpa aku duga, Kevin meraih tanganku dan menggandeng lembut. Kami berjalan berpegangan tangan seperti sepasang kekasih. Aku sudah tidak perduli Mei melihat atau tidak. Aku ingin membuatnya kesal sampai mati. Ini balasan karena sudah menghina ibuku.
Ketika aku dan Kevin sampai di garasi rumah, tidak ada mobil Kevin yang terlihat. Yang ada adalah sepeda motor Harley Davidson yang gede dan sangar. Perasaanku mengatakan jika kami akan naik sepeda ini. Yang tentu saja dengan senang hati aku menaikinya.
"Jadi kita akan naik ini Daddy?" tanyaku kagum. Aku tidak bisa membayangkan betapa menyenangkan mengendarai jalan yang masih pagi dengan motor gede.
"Bagaimana? Apa kau suka?" tanya Kevin. Dia mengambil jaket kulit dan memakainya bersama dengan helm sangat juga. Aku bahkan tidak sanggup berpaling dari keelokan sosok pria di depanku ini.
"Ini, pakailah." Kevin menyodorkan jakuet kulit berwarna merah padaku. Aku ternganga dibuatnya.
"Aku sudah mempersiapkan jaket kulit ini untuk pagi ini. "
Aku tak bisa untuk tidak terharu dengan ucapannya. Kevin yang sudah menyiapkan jaket kulit untukku jelas menunjukkan betapa perhatian dia.
Tanpa ragu aku memakainya. Di luar dugaan ukurannya pas. Warnanya juga sesuai dengan pakaianku.
"Seperti yang aku duga, jaket itu sangat pas di tubuhmu... simpan itu ya? Kita bisa bersepeda bersama saat berangkat kerja."
Aku teringat dengan Mei, dengan perlahan aku melirik ke arah balkon. Sudah kuduga, ia mengintip di sana.
'Bagaimana Mei, apa rasanya menyakitkan. Inilah yang ibuku rasakan, ' batinku.
Sayangnya aku harus kembali memasang topeng pura - pura. "Aku akan mendapat masalah jika bibi Mei tahu," lirihku. Tentu saja aku tidak ragu mengisyaratkan kalau dia akan membuatku bekerja keras jika cemburu atau kesal pada Kevin.
"Wanita itu... apa dia membuatmu melakukan pekerjaan rumah sendirian?" tanya Kevin padaku.
Aku mengangguk lirih, tak mungkin aku melewatkan kesempatan membuat Mei semakin buruk di mata Kevin.
"Jangan khawatir Daddy. Jingga tak apa kok. Setelah mencuci baju, memasak dan membersihkan rumah-- Jingga biasanya bisa istirahat. Yang pasti bibi Mei hanya minta rumah bersih."
Lihatlah wajah suram dari Kevin kalau mendengar apa yang istrinya lakukan padaku. Dia pasti berpikir apa yang dipikirkan oleh semua orang. Bukankah sangat kejam membuat seorang gadis membersihkan rumah berlantai tiga ini sendirian. Padahal pelayan dua saja membutuhkan waktu tiga jam untuk menyapu dan mengepel. Sudah pasti Kevin bisa membayangkan betapa lelahnya aku.
"Wanita itu benar - benar gila."
"Eh, kenapa Daddy berkata seperti itu?"
"Apa lagi, membuatmu bekerja membersihkan rumah sendirian bukan hal yang bisa dilakukan oleh satu orang. Dia benar - benar kejam."
Aku pun kembali memasang wajah polos. "Jingga sudah terbiasa Daddy sekarang ayo kita brangkat agar tidak terlambat ke kantor dan kesiangan. "
Kevin mengangguk, tak lama kemudian deru motor gede Harley Davidson terdengar. "Ayo naik."
Oh Gosh... Dia semakin tampan dengan kacamata gelapnya. Sungguh membuat hati siapapun lumer.
"Iya Daddy."
Aku juga tanpa ragu naik sepeda itu. Yang mana Kevin segera mengambil tanganku agar melingkar di perutnya.
"Pegangan Cerry. Kau tidak mau jatuh kan?"
"Iya Daddy."
Kami pun melaju meninggalkan kediaman Broto dan juga Mei yang mengintip dari balik jendela.
'Bukankah sangat ironi Mei? Kau terpaksa menyembunyikan pernikahanmu karena kematian ayahku baru berusia sebulan lebih. Jadi tidak akan ada yang bilang aku berselingkuh dengan suamimu...'
Tbc