Jingga yang tidak tahu apapun terkejut ketika teriakan marah dari Mei terdengar dari bawah. Tidak sulit baginya menebak apa yang membuat mood wanita ini anjlok sehingga ia terdengar uring- uringan. Apalagi dari kantor. Pasti Semuanya ada hubungannya dengan Kevin. Hanya pria itu yang bisa membuat mood Mei jatuh seperti ini.
"Jingga apa kamu tuli! Cepetan ke sini!"
Jingga terburu - buru turun dari tangga menuju Mei yang nampak sangat tidak bersahabat. Lalu berdiri dengan wajah tertunduk di depan Mei.
"Ada apa Bi? Apa ada yang bibi butuhkan?" Kembali Jingga memperlihatkan wajah innocent yang semakin membuat Mei semena - mena.
"Mulai besok kamu yang memeriksa laporan di perusahaan, ingat ya jangan menggoda Kevin. Kalau sampai kamu memggodanya maka aku ngak akan melepaskanmu," ancam Mei. Matanya menyala marah begitu teringat jika Kevin sangat perhatian pada gadis di depannya ini. Padahal Mei merasa gadis ini tidak cantik sama sekali.
Jingga agak bingung dengan keputusan mendadak dari Mei. Dia mencoba bertanya agar tahu apa yang terjadi. "Memangnya kenapa kok Jingga yang disuruh ke perusahan Bi?" Hanya singgah dengan wajah yang menunduk.
Pertanyaan Jingga justru membuat Mei semakin sewot. Mana mungkin dia mengatakan jika Kevin yang menyuruh Jingga ke perusahaan karena dirinya tidak mengerti apapun tentang pembukuan dan juga laporan perusahaan. Dia juga enggan mengatakan jika Kevin yang menyuruhnya agar Jingga tidak besar kepala. "Jangan banyak tanya kamu. Pokoknya besok kamu kerja, ngerti," tekan Mei.
"Iya Bi aku besok akan ke perusahaan."
"Huh," dengus Mei.
Mei meninggalkan Jingga menuju ke kamar. Tak lama kemudian suara bantingan pintu terdengar. Setelah berpikir sejenak, Jingga akhirnya sadar jika mood Mei yang buruk akibat ia harus menyuruhnya bekerja di perusahaan. Jingga bisa menebak siapa yang memiliki ide itu. Pasti itu ulah Kevin. Pria itu memang memiliku keunggulan tersendiri untuk membuat marah Mei, sayangnya kemarahan Mei dilampiaskan kepadanya.
Jingga mengangkat bahu dan berniat kembali ke kamar. Akan tetapi niatnya harus terhenti kala Mei kembali berteriak.
"Jingga! Bawakan aku makan!" Teriak Mei.
Mei menggelengkan kepalanya melihat sikap tak tahu aturan. Sudah sangat jelas jika wanita penyihir itu tak tanggung - tanggung memperlakukannya seperti babu. "Iya Bi."
Jingga melangkah ke meja. Di sana ia menata makanan di nampan dan terburu- buru membawa ke kamar Mei makanan yang sudah disiapkan oleh pelayan, yang disewa oleh Kevin tadi.
Dia mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar Mei.
Tok.
Tok.
"Bi, aku masuk ya. Makanannya sudah siap."
"Hem."
Jelas tak ada sambutan bersahabat dari Mei. Dia tak memperdulikan kedatangan Jingga dan asyik membaca majalah. Akan tetapi gerakannya terhenti kala sebuah ide menyenangkan muncul di kepalanya.
"Ini makanannya Bi," ucap Jingga. Gadis itu menata makanan di meja depan sofa yang berada di sisi kanan ranjang.
Mei menyeringai sinis, dia pun melihat jika Jingga tidak membawakannya minuman. Ide untuk membuat Jingga kelelahan pun ia lakukan.
"Jus buahku mana. Memangnya aku minum apa kalau kamu cuma bawa makanan," hardik Mei yang mulai menikmati penyiksaannya. "Tsk kamu kalau bekerja ngak pernah pake otak ya?"
Jingga menarik nafasnya diam - diam agar tidak emosi.
"Oh, Jingga akan membawakannya Bi. Tunggu ya?"
Jingga menuruni tangga menuju ke dapur. Dia sebenarnya tahu jika Mei sedang melampiasakan kekesalannya karena Kevin, dengan membuatnya naik turun tangga. Namun itu tidak akan membuatnya menyerah.
Tok.
Tok.
"Bi aku masuk ya. Aku sudah bawa minumannya."
Begitu Jingga masuk ia menaruh minuman untuk Mei di sisi kiri nampan. Tapi wanita itu kembali memerintah Jingga. "Makanannya kok ngak ada kerupuknya sich, mana enak? Ambil sana."
Jingga menarik nafas panjang - panjang, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjambak wanita ini. Dia benar- benar menguji kesabarannya hingga ujung.
"Iya Bi."
Jingga berbalik menuju ke pintu kamar, tanpa ia duga Mang Asep sudah berada di sana dan membawa krupuk. Pria itu menyosorkan toples kerupuk pada Jingga. Tadi ia tak sengaja melewati kamar Mei dan mendengar Mei meminta kerupuk. Padahal dari lantai tiga, ia melihat Jingga baru saja naik untuk membawakan Mei minuman.
"Non ngasihnya agak lama. Biar dikira ngak ada yang bantu non Jingga," bisik Mang Asep. Jingga mengangguk dimengerti. Dia bersyukur dibantu mang Asep.
"Iya, mang. Terima kasih bantuanya ya," bisik Jingga.
Setelah lima menit Jingga masuk ke kamar membawa toples kerupuk. Dia kembali menaruhnya di meja bersama dengan makanan lain. Datangnya Mei kembali berulah, dia turun dari ranjang dan mulai makan. Dan mendadak ia melakukan gerakan seolah tangannya tak sengaja menyenggol minuman jus.
Prank!
Gelas pun pecah, dan pekerjaan baru Jingga sudah menunggu Jingga. Hati Mei sangat puas sudah menyiksa Jingga dengan memberi banyak pekerjaan.
"Ups, maaf ya Jingga. Bibi tak sengaja, kamu bersihkan ya."
Sekali lagi Jingga menunduk tanpa melawan. Dia berusaha mengatur nafasnya agar tidak mengumpat dan meledak.
'Sabar, sabar... demi ayah aku harus sabar...'
"Aku akan mengambil kain pel dulu ya bi."
Mei tidak menyembunyikan wajah kejamnya. Dia tertawa mengejek pada Jingga yang pengecut dan seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
'Jingga memang ngak mungkin macam - macam. Gadis lemah dan cupu sepertinya mana mungkin berani merebut posisiku di samping Kevin dan juga perusahaan.
"Iya, jangan lupa pel yang bersih ya. Aku ngak mau ada semut yang datang. "
Jingga berbalik tanpa menanggapi ucapan Mei.
'Mana ada semut yang mau mendekat sama orang sepertimu.'
Beruntung mang Asep juga sudah menyediakan kain pel dan ember. Jingga duduk sejenak sebelum kembali lagi ke kamar Mei.
"Non duduk dulu. Setelah lima menit baru masuk ya."
"Iya mang."
Lima menit berlalu, Jingga kembali dengan kain pel dan ember. Dia menuju ke kamar mandi di kamar Mei untuk mengambil air. Begitu Jingga melewati Mei, wanita itu menjegal kakinya sampai ia terjungkal dan ember berisi air tumpah di lantai.
"Ahaha kau memang pantas jadi babu ya. Pantas saja Karim bilang ibumu kayal babu. Bakat itu menurun padamu hahaha..." ejek Mei. Tak ada rasa bersalah sedikitpun darinya yang seorang wanita. Padahal sebagai seorang wanita dia mengerti bagaimana perasaan disia - siakan. Tapi wanita ink justru menjelek - jelekkan almarhum ibunya.
Jingga merasakan amarahnya hampir meledak. Dadanya berdenyut seolah terbakar. Meski demikian ia melanjutkan tugasnya mengepel semua kekacauan yang dibuat oleh Mei. Sedangkan wanita itu menyangga dagu di ranjang sambil mengawasi Jingga.
"Tùnggu apa lagi, cepet bersihkan. "
Mei mengawasi Jingga lalu mulai berkomentar kejam.
"Makanya Jingga, jadi wanita itu harus pandai dandan. Soalnya laki - laki itu suka wanita yang cantik. Lihat ibumu, dia ngak berguna dan ngak mau dandan. Akhirnya ayahmu jadi selingkuh sama aku kan?" cibir Mei. Dia tidak berhenti di sana. Mei masih menghina orang tua jingga tanpa henti.
"Padahal ayahmu juga ngak bagus - bagus amat. Dia tua, loyo. Ih menjijikkan."
Mei terus mengoceh, dia tidak tahu jika sudah membuat Jingga tak bisa lagi bersikap lunak padanya. Gadis itu kini memiliki pemikiran sendiri karena Mei terus menghina ibunya.
"Huaah aku ngantuk."
Akhirnya pelampiasan Mei berhenti di situ. Wanita itu tertidur setelah mengoceh dan menjelek- jelekkan ibu ayahnya. Dia pasti bosan karena Jingga sama sekali tidak menanggapi semua hinaannya sehingga tertidur.
Saat tidur, tangannya bergerak sebuah benda jatuh di samping tubuhnya.
Jingga tertarik pada benda yang Mei peluk dan jatuh ke samping badannya bersama dengan tangannya. Ia memperhatikan majalah yang Mei pegang. Rupanya wanita itu sedang memegang sebuah majalah yang covernya terdapat foto Kevin.
"Hoo kau benar - benar jatuh cinta dengan pria itu ya. Baiklah, karena hari ini kau membuatku benar - benar kesal maka jangan salahkan aku jika kejam," lirih Jingga. Dia mulai memikirkan ide Nada yang sekarang terdengar bagus. Jingga tidak terima Mei sudah menjelek - jelekkan ibunya.
Jingga kembali dari kamar Mei setelah selesai. Mang Asep menawarkan Jingga membawa ember dan kain pel agar Jingga bisa beristirahat. Mang Asep yang juga mendengar kata - kata dari Mei juga tak bisa menahan emosinya.
''Sabar ya Non. Wanita penyihir itu mulutnya memang busuk."
Gadis itu hanya tersenyum kecut. "Jangan khawatir mang. Aku baik - baik saja kok."
Jingga menuju ke kamar dan berbaring di sana. Kakinya cape karena naik turun tangga. Dan dia juga ingin tidur sejenak.
Drrt.
Drrt.
Nada is Calling.
Jingga tersenyum melihat sepupunya telepon.
"Halo, Nada kenapa kau belum tidur?" tanya Jingga.
Nada memulai aksi berceloteh. "Jingga, Tono bilang agar kamu coba mendapatkan info dari nenek lampir itu, apotek mana yang sering ia kunjungi. Tono akan mencoba mencari info dari sana."
Jingga terdiam. Dalam hatinya ia berharap semoga saja Mei tidak menyuruh pelayan yang dulu bekerja di sini untuk membeli obat. Dia juga berharap agar Mei tidak membeli obat di apotek random.
"Baiklah," jawab Jingga.
Nada mulai menanyakan rencana yang ia sarankan. Baginya sangat disayangkan pria seperti Kevin harus jatuh ke tangan penyihir seperti Mei.
"Jingga, apa kabar dengan keputusanmu untuk merayu Kevin. Ingat Jingga dia adalah kelemahan dari Mei, jika kau tidak memanfaatkannya maka itu sangat disayangkan."
"Aku sudah mengambil keputusan. Dan yah, aku ingin wanita itu benar - benar merasakan apa yang sudah ia perbuat. Dia sama sekali tidak menyesal tapi justru menghina ibuku," geram Jingga di telepon.
"Nah, begitu. Aku mendukungmu Sister."
Jingga dan Nada pun mengakhiri percakapan di telepon. Jingga juga ingin beristirahat karena esok hari ia disuruh ke perusahaan. Di sana ia bisa melihat karyawan mana yang loyal pada ayahnya, dan siapa saja yang penjilat.
Drrt.
Drrt.
Kali ini ada nomor tak dikenal masum ke ponselnya. Ini membuat Jingga ragu untuk mengangkat ponselnya.
"Memangnya apa yang aku takutkan," guman Jingga.
"Halo?" Jawab Jingga.
"Oh suaramu sangat enak didengar telinga. Aku beruntung bisa menelponmu dan kau menjawabnya."
'Kevin? Apa dia sudah gila?'
"Ada apa Daddy? Jingga ngatuk dan butuh tidur. Hari ini Jingga kelelahan."
"Ya sudah Daddy hanya bilang kalau besok kau datang tepat waktu ke kantor ya?" ucap Kevin.
"Iya Daddy. "
Tut.
Kevin mematikan ponselnya. Dia tahu jika ada yang tidak beres. Padahal ia sudah menyewa pelayan, tapi kenapa ia bilang kelelahan.
"Besok aku akan mencari tahu."
Di sisi lain Jingga tersenyum karena ia yakin berhasil memanipulasi Kevin agar ia mencari tahu kenapa ia kelelahan. Pastinya ia tahu Kevin akan kembali melontarkan kata - kata pedas untuk Mei.
Tbc.