Malam Teror

1063 Words
"Awww... Shhh" Desis kesakitan keluar dari mulut Rossi saat ia membuka bajunya dikamar. Beruntung sesampainya dirumah ia tak melihat sang kakak maklum saja ini masih pagi dan kakaknya masih berada disekolah mengingat ia berbeda sekolah dengannya. Saat seragam Rossi sudah terbuka semuanya dengan susah payah dan memperlihatkan tubuh telanjangnya yang hanya memakai dalaman saja pada cermin sebatas tubuh dalam kamarnya ia kembali meringis. Ia meringis saat melihat luka lebam dan lecet di sekujur tubuhnya bahkan ada yang berdarah, Rossi tak berani untuk mengguyur tubuhnya dengan air pasti rasanya akan sangat menyakitkan. Yang akhirnya, ia hanya memakai kimono untuk menutupi semua lukanya lalu dengan langkah tertatih ia beranjak keluar kamar untuk mengambil air karena tenggorokannya terasa kering akibat menangis tadi. Tapi sebelumnya ia membasuh wajahnya terlebih dahulu untuk menghilangkan airmata dan juga darah dari sudut bibirnya. Sesampainya di dapur Rossi menegak air yang telah ia tuangkan, dan ingatannya kembali memutar saat tadi ia menuju kesini. Disepanjang perjalanan tak ada orang yang mau membantunya. Rossi mendengar rasa iba dan kasihan dari orang-orang yang melihat keadaannya yang hancur dan menahan sakit, tapi sayangnya tak ada seorangpun yang mau membantunya walau mereka merasa kasihan terhadapnya. Dan juga Rossi tak membutuhkan rasa iba dan kasihan itu yang ia butuhkan hanya pertolongan. Sekali lagi Rossi merutuki peruntungan dirinya, yang selalu ditinggalkan saat ia membutuhkan bantuan. "Kenapa sudah pulang?" pertanyaan bernada datar membuat lamunan Rossi pecah lalu ia menolehkan kepalanya kesumber suara. Alangkah terkejutnya ia, saat melihat orang yang bertanya padanya adalah kakaknya yang ia coba untuk dihindari. "Ka.. kaka kenapa su..sudah pulang?" gagap Rossi yang hanya dibalas dengan satu angkatan alis dari kakaknya. Tanpa membalas dia langsung duduk dihadapan kursinya membuat Rossi semakin terasa terintimidasi oleh tatapan tajam dan dingin milik sang kakak, keluarga satu-satunya yang ia miliki karena kedua orangtuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. "Harusnya aku yang bertanya, kenapa kau sudah pulang? Kau membolos?" ia mengembalikan pertanyaan kepada sang adik dengan raut wajah dan dinginnya membuatnya ia semakin berbeda dengan Rossi. Rossi hanya menggangguk terdiam sambil berusaha menyembunyikan rasa gugup dan sakit secara bersamaan. Batinnya ia terus berdoa supaya kakaknya itu tak mencurigai apapun yang ada pada dirinya, karena ia takut sisi yang lainnya ikut murka jika melihatnya. "Matamu bengkak dan merah kenapa? Sudut bibirmu juga?" baru saja Rossi menghela nafas lega ia langsung menahan nafas karena pertanyaan yang terlontar dari sang kakak. Gawat kakaknya mulai curiga. "Apa terjadi sesuatu?" kembali sang kakak melemparkan pertanyaannya bahkan pertanyaan sebelumnya belum Rossi jawab. Namun belum sempat dijawab, Rossa berlalu dari hadapan sang adik setelah menepuk kepala Rossi dengan lembut membuat Rossi terpaku dan matanya kembali memanas. "Maafkan aku kak Oca aku berbohong dan aku belum siap menceritakannya padaku. Biarlah, biarlah diriku yang mengetahui dan merasakan ini" batin Rossi pedih.  Tapi ia melupakan fakta lainnnya, Kakanya tak dapat dibohongi sekecil apapun karena batinnya yang terikat kuat dengan Rossi. Tak terasa hari semakin sore, kini keduanya tengah berada didapur tengah memasak untuk makan malam nanti. Oca nama panggilan Rossa kebagian memasak sedangkan Rossi memotong sayurannya. Walau sesekali Rossi mendesis sakit saat tangannya bergerak akibat pukulan Mila dan kedua temannya. "Belikan aku garam kewarung" perintah Oca yang langsung diangguki Rossi. Tanpa banyak bicara setelah mengambil uang ia langsung melesat keluar meninggal Oca yang masih fokus dengan masakannya, namun jika kita lihat lebih teliti ujung matanya manatap tajam kepintu dimana Rossi keluar tadi. Sedangkan dilain tempat, tepatnya dirumah Mila. Ia tengah menonton tv seorang diri diruang tamunya yang luas karena orang tua dan asistennya sedang keluar rumah karena ada keperluan masing-masing. Jam kini menunjukan angka 17.45 belum lagi diluar angin bertiup kencang dan sesekali petir menyambar. Namun itu tidak menghilangkan fokus Mila terhadap film yang ia tonton, sehingga suara pintu yang terbuka dengan kencang mengejutkannya. "MAMA!!!! PAPA!!! BI!!!" teriak Mila memanggil orang-orang yang menghuni rumahnya, namun nihil Mila tak mendapatkan sautan dari orang yang dipanggilnya. Hingga mau tak mau dengan keberanian yang kuat Mila melangkah menuju asal suara yang ternyata dari pintu belakang rumahnya. Sesampainya dipintu Mila berdecak kesal karena pintunya terbuka lebar karena angin yang bertiup kencang. "Dasar mengagetkanku saja, anginnya kencang sekali mana mama dan papa belum pulang lagi" gumam Mila sambil melihat kearah luar. Saat akan menutup pintu, ekor matanya melihat sebuah kotak dibungkus indahdiatas meja santainya. Karena penasaran Mila berjalan untuk mengambil kotak itu. Sebuah bayangan melintas dibelakangnya, namun saat menoleh bayangan itu sudah menghilang Mila hanya menggedikan bahunya acuh iya pikir mungkin bayangan gorden tertiup angin atau semacamnya. "AAAAAAAAA!!!!!!" teriakan Mila menggelegar dengan badan terduduk dan wajah yang pucat setelah melihat isi kadonya yang ternyata adalah potongan kepala kelinci dan badan kucing yang terpotong-potong. Mila bergetar dengan hebat bahkan keringat dingin membasahi wajah cantiknya sambil melihat kotak yang kini isinya bererakan dilantai karena ia lempar. Tak mau berlama-lama ia langsung bangkit kedalam menutup pintu lalu menguncinya. "Siapa yang mengirimkan itu padaku??" gumamnya ketakutan sekaligus kesal. Iapun mulai melangkah kakinya menuju area dapur bermaksud mengambil air putih sambil memandang sekeliling rumahnya dengan was-was. "PAPA!!!! MAMA!!!" kembali Mila berteriak ketakutan saat matanya melihat kearah meja makan yang dimana bercak darah dan kepala kucing ada ditengah-tengahnya bahkan Mila kembali bergetar dan jatuh terduduk saat dilantai putihnya tertulis "I WILL KILL U" dengan darah sebagai tintanya. Tak lama ia kehilangan kesadarannya dan pada saat itu semua keluarganya kembali kerumah dengan raut khawatir karena mereka tadi mendengar jeritan anaknya. Dan betapa syoknya mereka saat melihat itu semua. "Siapa yang melakukan ini semua??" geram ayahnya namun ia kembali melihat keadaan putrinya dan menggendongnya menuju kamar Mila. Kembali ke Rossi yang kini tengah ngos-ngosan sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam kepada kakaknya. Sambil menerima garam, Oca menaikan sebelah alisnya menanyakan apa yang terjadi hingga Rossi seperti ini dan juga membuatnya menunggu lama. "Ma..maaf lama, tadi aku salah membeli barang jadi aku menukarnya kembali" jawab Rossi disertai dengan cengiran. Maklum jarak antara rumahnya dengan warung memang cukup jauh dan Rossi berlari menghiraukan rasa sakitnya takut kakaknya menunggu terlalu lama. "Hmm,, kaka habis darimana??" tanya Rossi setelah melihat baju kakanya sedikit basah. Perasaan dapurnya tidak bocor, kenapa baju kakaknya bisa basah? Mungkin itu yang ada dipikiran Rossi. "Habis mengangkat jemuran, lupa" jawab Oca sambil berkutat kembali dengan masakannya yang tertunda tadi dan Rossi hanya mengangguk-anggukan kepala tanpa bertanya lagi. Oca yang melihat hanya tersenyum ganjil tapi matanya kembali memicing saat melihat baju sang adik didepannya terlihat noda merah seperti... darah? "Darah apa yang ada dibajumu itu??" tanya Oca tajam membuat Rossi gelagapan bukan main. "In... inni.. "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD