"Ini.... tadi.. aku menolong seseorang yang terjatuh dan tangannya berdarah jadi kemungkinan darahnya nempel dibajuku,, iya pasti darah orang itu" jawab Rossi sedikit tak yakin dan Oca langsung mengangguk percaya dan mulai berkutat dengan masakan lagi. Tanpa Oca ketahui, kini Rossi tengah menghela nafas lega.
Setelah semuanya selesai dan kini mereka tengah menyantap makan malam yang tadi mereka buat dengan hening tanpa ada yang berbicara sama sekali. Hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar serta suara hujan yang turun dimalam ini membuat suasana semakin hening dan sunyi. Namun mereka berdua tidak merasa takut ataupun sebagainya.
Besoknya mereka berdua berangkat sekolah seperti biasanya, namun yang berbeda kini mereka berdua berangkat bersamaan walaupun sekolah keduanya tentunya berbeda membuat siapapun yang melihat keduanya akan mengernyit heran dan takjub sekaligus. Mereka yang melihat keduanya seperti melihat satu orang yang tengah bercermin namun berbeda seragam. Ya, mereka berdua adalah kembar identik tak ada yang mampu membedakan keduanya andai saja mereka memakai baju yang sama, karena baju itulah yang kini menjadi sarana membedakan keduanya.
"Ros!!!!!"
Merasa namanya dipanggil mereka berdua memandang Kirana, orang yang memanggil mereka dengan pandangan bingung namun dengan raut berbeda. Kirana yang melihat itu menjadi salah tingkah, apalagi sorotan tajam yang dilakukan Oca membuat nyali Kirana makin menciut. Entah mengapa hawa keduanya sangat berbeda jika Rossi menyenangkan walau wajahnya kadang datar berbeda dengan kakak kembarnya yang mempunyai sorot dan aura dingin tak tersentuh dan misterius itulah yang sering digambarkan tentang Oca.
"Hai, Kir. Sudah lama menunggu disini?" tanya Rossi mencairkan suasana. Sedangkan Oca kini ia duduk dengan santai dan muka datarnya tanpa berniat menyapa Kirana karena merasa ia tak mempunyai ikatan ataupun urusan dengannya.
Tak lama bus yang mereka tunggu sudah tiba, tanpa banyak kata merekapun menaikinya dengan tujuan sekolah masing-masing. Tentunya tanpa ada percakapan diantara ketiganya. Rossi turun lebih dulu karena jaraknya yang lumayan dekat dibanding sekolah sang kakak. Sebelum bus berangkat kembali Rossi dengan semangat melambaikan tangannya kepada sang kakak meski ia tahu Oca tak akan membalasnya.
Rossa sendiri yang melihat tingkah adiknya hanya tersenyum tipis melihat itu. Namun senyuman itu tak berlangsung lama saat seorang pemuda dari sekolah yang sama dengannya menatap intens kepada dirinya, yang ditatap kembali dengan datar dan dingin milik Rossa.
"Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihatmu tersenyum walau tipis" ujarnya tak kalah dingin yang tak ditanggapi oleh Rossa. Ya jika Rossa dan Azka disandingkan maka mereka akan dilabeli dengan cold couple karena keduanya sama-sama memiliki sifat yang dingin dan misterius.
Tapi mereka berdua tak memperdulikan itu semua, karena mereka berdua tak mau ribet. Biarkan saja mereka memanggil keduanya sesuka mereka karena sekali lagi mereka berdua tak peduli.
Tak terasa seminggu telah berlalu, setelah kejadian menyeramkan terjadi dirumahnya. Mila menjadi paranoid dan bahkan tak segan-segan menjerit ketakutan saat ia merasa ada seseorang yang mengikutinya setiap hari. Bahkan Mila akan langsung bergetar hebat setelah membully Rossi seperti yang ia rasakan saat ini. Setelah dengan brutal ia memukul Rossi untuk melampiaskan amarah dan rasa takutmya karena Mila menganggap bahwa Rossi adalah pelakunya. Namun, malam ini ia malah merasakan kecemasan dan kegelisahan yang akut. Sesekali ia memandangi sekeliling kamar luasnya.
"Kenapa seperti ada yang mengawasiku?" gumam Mila. Tubuhnya berjengkit kaget saat suara denting diponselnya terdengar dan saat membaca siapa yang mengirimkannya ia langsung mengumpat namun bernafas lega ternyata Karen yang mengiriminya pesan untuk meminta menemaninya sekarang dirumah Karen. Tanpa memikirkan pesan itu dua kali, Mila segera mengganti pakaiannya dan berjalan keluar rumah tanpa disadari bahaya mengancam keselamatannya.
Malam ini yang entah hanya perasaan Mila atau memang benar adanya, terasa sedikit menyeramkan dari biasanya. Bahkan saking heningnya suara serangga malam Mila tak mendengarnya disepanjang jalan ia menuju rumah Karen membuat rasa paranoid itu kembali. Apalagi sesekali ia mendengar suara langkah yang amat sangat jelas dikesunyian ini seperti mengikuti dirinya, namun saat ia membalikan badan tak ada siapapun hanya angin malam yang berdesir.
"Apalagi sekarang Ya Tuhan? Kenapa aku merasa diikuti?" gumam Mila cemas sambil meremas kedua tangannya. Dan kembali melanjutkan langkahnya dengan sedikit menambah kecepatan, bukannya merasa lega Mila malah bertambah cemas dan takut saat suara langkah kaki itu kembali terdengar dan ikut mempercepat langkahnya. Hingga tak sadar kini Mila berlari karena panik.
"Berhenti!!! Siapapun itu!! Jangan mengikutiku!!!" teriak Mila entah pada siapa namun ia masih mendengar suara langkah kaki itu. Mata mila melihat belokan dihadapannya dan tanpa banyak kata ia langsung membelokan langkahnya berniat bersembunyi untuk melihat siapa yang mengikutinya.
Namun setelah sekian lama, Mila tak melihat satu orangpun membuat bulu romanya berdiri karena memikirkan yang tidak-tidak. Untuk memastikannya Mila berdiri dari jongkoknya dan melongokan kepalanya dibalik tembok. Namun Mila langsung menjerit kaget karena ia melihat kepala kucing terpotong dan dilumuri darah tepat berada dihadapannya hingga Mila jatuh terduduk dengan wajah pucat.
"Apa itu? Siapa yang melakukan hal keji dan tak berperikemanusiaan ini?" gumam Mila dengan wajah pucatnya.
"Aku yang melakukannya" belum sempat rasa terkejut yang awal ia rasakan menghilang, kembali suara seseorang yang menjawab gumamannya mengagetkan diarah belakang membuat Mila enggan memalingkan muka untuk melihat orang itu.
"Kenapa? Apa kau ingin memprotesku? Atau melaporkanku? Silahkan aku tak keberatan. Namun sebelum kau membuka mulut busukmu itu, aku akan lebih dulu memenggal kepalamu seperti kucing itu"
Ucapan itu membuat tubuh Mila bergetar hebat, dan bertanya-tanya apa orang itu akan membunuhnya sama seperti kucing itu? Jika ia apa yang harus Mila lakukan ia tak mau mati.
"Mau tak mau kau harus mati." Pungkas orang itu dan tak lama ia mengayunkan sebilah pedang kearah Mila.
"AKHHHHHHHHHH!!!!!"
Teriakan yang memekakan telinga bersamaan dengan suara guntur terdengar dimalam yang sunyi itu. Ya, suara teriakan itu adalah milik Mila. Hujan mulai turun dengan derasnya namun seseorang itu yang berjubah hitam tak terhambat sedikitpun hingga seringai mengerikan terlihat dibibir tipis itu saat melihat darah yang menetes diujung pedang yang tercampur dengan hujan. Bahkan kini jalanan itu terlihat basah bukan hanya oleh air hujan namun juga darah. Sedangkan tubuh Mila sendiri kini tergeletak tak berdaya.
"Kena kau, kucing manis!! Tunggulah sebentar lagi, kedua sahabatmu akan menyusulmu" kembali desisan kejam dan seringaian itu terlihat dan ia meninggalkan tubuh dengan kepala milik Mila begitu saja. Hingga tak lama dia kembali dan menatap jasad itu datar lalu menghampirinya dan entah apa yang ia lakukan selanjutnya hanya keheningan dan suara hujan yang menjadi saksi atas apa yang ia lakukan pada tubuh itu.
Dilain tempat, Rossa membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar adiknya untuk mengecek apa ia sudah tidur apa belum. Ia menyampirkan handuk yang telah ia gunakan untuk menggosok rambutnya yang basah, namun belum sempat ia membuka pintu kamar adiknya suara teguran membuat Rossa mengurungkan niatan awalnya.
"Apa yang kau lakukan didepan kamarku kak?" tanya Rossi. Bukannya menjawab, Rossa malah melihat keadaan tubuh adiknya yang basah kuyup dan menenteng plastik hitam.
"Darimana?" Rossa balik bertanya membuat Rossi sedikit mendengus tak suka pada sifat kakaknya yang satu ini.
"Padahal aku yang bertanya terlebih dahulu. Aku habis dari apotik untuk membeli obat. Eh malah hujan, yaudah terpaksa deh nerobos daripada aku menunggu hujan reda dan pulang larut terus dimarahi kakak" jelas Rossi panjang lebar.
"Obat?" gumam Rossa dengan kerutan dikening karena heran mendengar kata obat "kau sakit?" kembali Rossa melontarkan pertanyaan membuat Rossi meringis karena keceplosan.
"Huh,,, sedikit" cicit Rossi sambil mengutuk kecerobohannya dalam hati. Ia takut kakak bertanya-tanya dan tentunya ia tak akan bisa menjelaskan yang sebenarnya. Maka matilah Rossi.
"Ck, lain kali berhati-hatilah jangan sampai sakit lagi. Apa perlu aku bantu mengobatinya?" ini adalah pertanyaan untuk yang kesekian kalinya. Namun Rossi menggelengkan kepalanya saat sang kakak menawarkan diri.
"Tak usah kak. Mending kakak masuk kamar dan istirahat ini sudah malam. Besok kakak bisa terlambat" heboh Rossi yang langsung mendapat decakan tak suka dari Rossa.
"Harusnya aku yang berkata seperti itu. Lagian besok hari minggu jika kau lupa" balas Rossa dan langsung melangkahkan kakinya menuju kamar sedangkan Rossi lagi-lagi meringis malu atas kecerobohannya. Dan iapun langsung masuk kekamar untuk mengganti bajunya karena dingin mulai ia rasakan.
Setelah ia menutup pintu kamar, Rossa yang ternyata masih didepan pintu kamarnya menatap tajam kearah pintu kamar adiknya lalu mata itu menatap kearah jendela yang sesekali kilatan petir terlihat. Matanya terlihat nyalang dan tak lama seringaian menakutkan tercetak dibibirnya.
"Lagi?" entah pada siapa Rossa bertanya, karena ia hanya sendiri disana namun tak lama sebuah kekehan terdengar dan Rossa membalikan tubuhnya untuk masuk kedalam kamarnya. Dan kini tinggalah ruangan yang diterangi cahaya temaram setelah Rossa masuk kedalam kamar.
Sedangkan didalam kamar, Rossi menatap dingin pada kasurnya dan juga memegang erat kantung kresek itu.
"Selamat....... malam" gumam Rossi setelah menjeda cukup lama dikata selamat dan melanjutkannya.
Dilain tempat, seseorang tengah berdiam diri membiarkan hujan mengguyur tubuhnya dan melihat kearah sebuah rumah dan menyeringai keji. Lalu melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu tanpa melihatnya dua kali.