TWY Part 1b

1207 Words
“Hai...” sapa Delila menyapa ketiga gadis yang tengah duduk di meja bundar. “Dok, kenapa di sini? Memangnya sudah selesai nyapa tamu,” tanya Rania saat Delila duduk di sebelahnya. “Aku aja yang cuma lihatin pegel sendiri, orang penting mah undangannya nggak main-main.” Erika menimpali. “Udah kok. Namanya juga hari bahagia, sekali seumur hidup jadi rasa capek nggak akan terasa saking senangnya,” jawab Delila. “Dokter ada perlu sama kita-kita?” tanya Rania. Delali mengangguk, “Aku mau tanya sesuatu sama kamu,” tiba-tiba wajah Delila berubah serius. “Sepertinya penting, Dok,” tebak Erika. “Jelas dong..” goda Delila sambil berkedip nakal pada Rania. “Mau tanya apa sih, Dok? Aku jadi takut.” “Takut apanya? Memang aku mau berbuat jahat sama kamu apa.” protes Dalila. “...” Rania hanya menatap Delila penuh tanda tanya. “Itu lo suami aku tanya, kamu kenal sama pria yang tadi kasih kamu buket bunga?” Delila tidak tahan melihat ekspresi Rania yang terlihat lucu. “Nggak! Mana mungkin aku kenal cowok super judes kayak dia,” jawab Rania mantap. “Terus kenapa bisa dia kasih kamu buket bunga yang aku lempar?” Dalila belum puas dengan jawaban Rania. “Aku nggak tahu, Dok. Kebetulan aja aku berdiri tepat di belakang dia dan itu pun aku nggak tahu cowok nyebelin itu adalah dia. Tiba-tiba dia menghadap ke belakang terus nyerahin buket bunga ini sama aku,” jelas Rania sambil menunjukkan buket yang dimaksud. “Oke..oke. Aku percaya kok sama kamu, Rania. Cuma suamiku kaget saja cowok itu bersikap kayak tadi.” “Emangnya Dokter kenal sama cowok tadi?” tanya Eliana yang sedari tadi diam sebagai pendengar. “Nggak begitu. Tapi Ferel yang kenal, katanya teman baiknya dia,” jawab Dalila. “Kenapa suami Dokter bisa punya teman jutek kayak gitu sih?” gumam Rania pelan namun masih bisa Delila dengar. “Tapi ganteng banget, Dok,” sambar Erika. “Sepertinya kamu kesal banget sama dia. Memangnya kalian terlibat masalah apa?” tanya Delila dengan mata menelisik. Begitu juga dengan tatapan Erika dan Eliana menuntut penjelasan pada Rania. “Ahh nggak kok, perasaan Dokter saja. Kita baru pertama ketemu bagaimana bisa kesal dengannya. Kenal juga nggak,” jawab Rania gugup karena ia memberi jawaban bohong. “Ohh begitu..” gumam Delila. “Ya sudah Dok, kalau bisa suami Dokter Delila suruh kenalin temennya ke aku aja. Dengan senang hati aku bakalan nerima,” ucap Erika dengan wajah imut yang di buat-buat. Seketika tangan Eliana mendarat di bahu Erika kemudian mendorongnya. “Dasar genit! Baru juga putus udah nyari mangsa lagi. Lagi pula mana mau cowok sekeren itu sama kamu. Ngaca we ngaca!” seru Eliana. “Lama-lama kamu kayak Nathan deh gonta ganti pacar terus kayak ganti daleman.” Rania dan Delila tidak bisa menahan tawa mendengar ucapan Eliana. Sedangkan Erika mendengus kesal dan tidak terima dengan perkataan temannya itu. “Memangnya kalau putus nggak boleh cari yang lain, hah?” tanya Erika kesal. “Satu lagi, jangan samakan aku sama cowok playboy itu. Dia mah hobi ganti pacar, kalau aku kan beda. Aku kan selalu jadi korban diselingkuhin,” ucap Erika sedih. “Kamu boleh kok punya pacar lagi, tapi kasih istirahat dulu hati kamu. Kalau putus aja bilang nggak mau pacaran lagi, nangis kejer di rumahku sampai asisten rumah tangga aku pada takut. Aku juga yang repot kalau kamu disakitin cowok.” “Sudah..sudah. kalian ini nggak di tempat kerja nggak di nikahan aku kok ribut terus. Erika, apa yang di katakan Eliana benar. Kamu harus memberi jeda hati kamu sebelum menerima orang baru. Contoh Rania, jomblo akut aja masih bahagia” ucap Delila dengan senyum jahil melirik Rania. “Dokter! Kok aku di bawa-bawa sih. Aku nggak jomblo tapi single. Tolong bedakan,” protes Rania. Ketiganya tertawa kompak sampai beberapa orang menoleh ke arah mereka. Rania semakin kesal karena menjadi bulan-bulanan temannya. “Kalian jahat, ih,” saat ini mode Rania setengah merajuk. “Cup cup cup. Maaf Rania, aku hanya bercanda. Aku harap kamu segera menemukan pria yang cocok sesuai kriteria kamu. Aku bakalan seneng banget kalau sampai kamu nyusul aku menikah biar anak-anak kita kelak bisa berteman,” ucap Delila sambil memegang bahu Rania. “Ya ampun, Dok. Didoakan seribu orang juga percuma kalau dia sendiri nggak punya keinginan menikah,” sambar Eliana. “Kita lihat saja nanti. Apa prinsip yang dijaga selama ini akan tetap kokoh atau justru ada pria yang datang untuk meruntuhkan prinsip itu,” tandas Delila sambil menjawil hidung Rania kemudian pergi meninggalkan ketiganya. “Puas kalian jailin aku?” tanya Rania dengan wajah tertekuk kesal. “Muka model kamu sih, emang paling empuk jadi sasaran untuk kita jaili,” ledek Erika. “Kita bukan jail kok, hanya mengingatkan saja. Punya prinsip boleh tapi kamu juga pikirin masa depan kamu. Tidak selamanya bisa hidup sendiri, Rania,” ucap Eliana tulus. *** Rania baru saja sampai di rumahnya sekitar jam sembilan malam. Ia memutuskan pulang dan tidak menginap lagi di hotel karena ia rindu dengan Papa dan adiknya. Selain itu, besok ia juga harus bekerja. Izin sehari membuat Rania rindu dengan pasien-pasiennya. “Sepertinya kamu lelah sekali, Nak,” sapa Candra saat melihat Rania berbaring di atas kasur lengkap dengan dress yang digunakan di acara pernikahan Delila. Rania belum sempat ganti pakaian karena ia merasa lelah luar biasa bahkan kakinya terasa sangat pegal. Rania menoleh ke arah pintu kamarnya, “Sangat Pa. Rasanya kaki Rania mau copot gara-gara harus pakai high heels 10 cm.” Candra tersenyum, “Tapi kamu cantik pakai gaun itu.” Rania bangun dan duduk di pinggiran tempat tidur. “Rania udah kucel begini masih kelihatan cantik, Pa? Sepertinya Papa harus ganti lensa kaca mata, mungkin saja pengelihatan Papa jadi nggak jelas lihat Rania,” ucap Rania asal. Candra tergelak kencang mendengar ucapan anaknya yang ceplas ceplos. “Kamu ini nganggap Papa sudah sangat tua? Tadi Gavi kasih lihat Papa foto kamu yang di unggah di media sosial kamu, Rania.” “Oh gitu. Berarti Papa lihat Rania sekarang nggak cantik dong,” tanya Rania yang lebih terdengar seperti sebuah protes. Candra menghampiri putrinya, tangannya terangkat mengelus pucuk kepala Rania, “Kamu cantik, selalu terlihat cantik seperti Mama kamu, sayang,” ucap Candra penuh kasih sayang. “Papa..” Rania menghamburkan pelukan pada Papanya yang berdiri tepat di hadapannya. Candra membelai kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. “Rania, kalau kamu sudah punya teman dekat, ajak ke rumah dan kenalkan dengan Papa.” Rania mengurai pelukannya, “Papa, kok tiba-tiba bahas soal ini. Kenapa?” Candra tersenyum tenang, “Papa juga ingin lihat kamu menikah seperti teman kamu itu. Pasti sangat menyenangkan bisa memiliki menantu.” Rania mendesah lemah, “Masalahnya Rania belum kepikiran buat nikah untuk waktu dekat, Pa. Jadi Rania belum ada niat punya teman dekat.” “Papa tidak akan memaksa, tapi kamu jangan sampai lupa diri karena terlalu menikmati waktu sendirian.” Kekhawatiran Candra sangat beralasan, bayangkan ketika teman yang seumuran dengannya sudah menggendong cucu bahkan memiliki dua cucu. Sedangkan putrinya masih betah menikmati kesendirian serta pekerjaannya. Rania menyentuh tangan Candra, "Pa, jangan khawatir. Kalau Rania sudah siap, pasti Rania akan menikah,” ucapnya dengan tenang. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD