TWY Part 2a

1187 Words
Rania sudah selesai menghidangkan sarapan untuk Papa dan Adiknya. Rutinitas seperti ini sudah jadi kebiasaannya jika ia tidak bertugas jaga malam di rumah sakit. Hanya ia wanita di rumah ini, jadi Ranialah yang menggantikan peran seorang Ibu setelah setelah Mamanya meninggal dunia. “Pa, sarapan dulu. Korannya bisa di baca nanti kan?” tegur Rania pada sang ayah. Kebiasaan Candra setiap pagi sanggup duduk lama membaca hampir semua isi koran. Ia sendiri sudah rapi dengan seragam kerja berwarna putih bersih. “Iya sayang. Adik kamu mana? Belum selesai siap-siap?” tanya Candra saat melihat kursi di sebelahnya masih kosong. “Rania udah panggil Gavi katanya sebentar lagi selesai siap-siap,” jawab Rania sambil mengunyah nasi goreng. “Ya sudah, biarkan saja. Rania, kamu mau ikut sama Papa berangkat kerja?” tanya Candra sambil menikmati sarapan buatan putrinya. Rania menggeleng, “Nggak pa. Rania naik ojek online aja.” “Kenapa nggak mau sama Papa berangkat kerjanya?” Candra memang selalu mendapat penolakan dari anak gadisnya kalau urusan mengantar atau menjemput ke tempat kerja. “Papa, rumah sakit dan tempat kerja Papa nggak searah. Jadi buat apa buang-buang waktu antar Rania kalau pakai ojek online lebih efektif. Lagi pula jalan ke rumah sakit pagi-pagi suka macet, jadi kalau naik ojek bisa fleksibel gitu, bisa nyelip-nyelip.” Candra tersenyum mendengar jawaban diplomatis dari putrinya. “Baiklah. Anak Papa memang selalu benar. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak beli mobil saja, Rania? Papa bisa bantu jika tabungan kamu kurang.” Rania menggeleng keras, “Mobil bukan kebutuhan utama Rania saat ini, Pa. Uang Rania, sengaja di sisihkan buat liburan kita bertiga pas pergantian tahun ini,” jelas Rania. Candra mendesah pelan, “Papa dan Gavi tidak perlu liburan. Gunakan uang kamu untuk hal yang lebih penting, Sayang. Itu adalah hasil kerja keras kamu siang dan malam jadi silakan di nikmati.” “Papa tenang saja. Jangan terlalu memikirkan keuangan Rania. Selama ini masih tercukupi kok,” ucapnya dengan tenang. Candra memang sangat beruntung memiliki anak seperti Rania dan Gavi. Keduanya tidak pernah neko-neko, hidup sederhana walaupun ia mampu memberikan lebih pada kedua anaknya. Saat Candra ingin mengajak putra dan putrinya pindah ke rumah yang lebih besar, Ranialah yang paling keras menentang. Ia sudah nyaman tinggal di rumah sederhana, tempat di mana begitu banyak menyimpan kenangan bersama Mamanya. Sedangkan Gavi, saat semua teman-temannya ke sekolah membawa mobil, ia dengan setia membawa motor antik kesayangannya tanpa merasa gengsi. “Kak, yang di ruang tamu buket bunga Kakak?” tanya Gavi begitu bergabung dengan ayah dan kakaknya di meja makan. “Iya. Buket bunga pernikahan Dokter Delila kemarin,” jawab Rani santai. “Kakak ikut rebutan gitu?” tanya Gavi dengan raut tidak percaya. “No. Di kasih sama orang.” Gavi menaikkan satu alisnya, “Maksud Kakak gimana? Kok aku bingung ya. Bukanya kalau di acara pernikahan gitu, pengantin lempar bunga ke arah tamu. Lah kenapa Kakak malah di kasih sama orang.” Gavi melayangkan tatapan bingung ke arah Candra. “Papa ikut bingung,” goda Candra. Rania meraih gelas berisi air putih untuk ia minum sebelum menjawab pertanyaan Gavi. Cerita yang ia alami kemarin memang aneh. Atau bisa di kategorikan kejadian yang memalukan dan menyebalkan. “Jadi kemarin itu ada cowok yang berhasil nangkap buket bunga ini dan kayaknya dia nggak sengaja nangkap. Kenapa Kakak bisa menyimpulkan seperti itu, karena posisinya dia di depan Kakak dan jauh dari kerumunan orang yang lagi nungguin acara lempar buket bunga. Kakak juga nggak ikutan makanya milih diem di pinggir. Terus tiba-tiba aja buket bunganya di kasih ke Kakak terus dia terus pergi tanpa ngomong apa-apa. Aneh kan? Yang nyebelin, orangnya jutek banget.” Rania masih tidak habis pikir dengan tingkah pria itu. “Jangan-jangan jodoh,” seru Gavi membuat Candra menahan senyum. Rania bedecak, “Ck. Anak ini suka bicara ngelantur. Jodoh dari mana coba, nggak kenal juga. Lagian ya Kakak nggak mau berjodoh sama orang kayak gitu. Cara ngeliatnya udah kayak mau nelen Kakak hidup-hidup” “Kali aja jodoh Kakak datangnya ajaib, sesuai sama sifat Kakak yang selalu bikin aku sama Papa geleng kepala. Tiba-tiba datang ke rumah dengan naik kuta poni terus ngelamar Kak Rania,” mata Gavi menatap ke atas seolah sedang membayangkan apa yang ia utarakan. Rania melempar kerupuk ke arah Gavi namun tidak berhasil mengenai tubuh sang adik. Gavi reflek menjulurkan lidah meledek kakaknya yang wajahnya semakin sebal. Candra menggeleng dengan tingkah kedua anaknya, “Sudah-sudah, jangan berantem di meja makan. Gavi kamu harus sarapan dengan cepat, ini sudah siang.” Candra harus turun tangan sebelum perdebatan keduan anaknya berubah menjadi perang dunia ke tiga atau tidak terhitung sudah ke berapa kalinya. “Iya Pa..” jawab Gavi sambil menatap jail ke arah Rania. Rania tersenyum meledek pada Gavi hingga membuat sang ayah kembali berdeham, memberi peringatan. “Pa, Rania berangkat ya.” Rania mencium punggung tangan Candra kemudian berpamitan. Sebelum pergi, ia menyambar rambut Gavi kemudian mengacaknya, “Sekolah yang benar, jangan pacaran terus. Awas jangan ngebut bawa motor,” pesan Rania pada Gavi. “Kak Rania, Gavi udah sisiran. Bawel banget sih, pantesan jomblo terus,” seru Gavi kesal. “Lagi pula itu motor antik susah diajak ngebut, Kak!” imbuhnya. *** Rania baru saja turun dari motor yang ia tumpangi. Setelah membayar. Ia segera melangkahkan kakinya ke pelataran rumah sakit swasta yang cukup terkenal di Jakarta. “Pagi Suster Rania,” sapa Joni begitu Rania masuk ke ruang IGD. Joni salah satu cleaning service yang bertugas membersihkan IGD. “Pagi, Pak. Lagi tugas ya?” tanya Rania. “Iya Sus. Biasa rutinitas sebelum ruangan ini di serbu pasien.” “Namanya juga Rumah Sakit, Pak. Masa di serbu pembeli cendol kan nggak lucuya.” Rania memang suka bercanda dengan Joni yang usianya terpaut jauh di atas Rania. Ia memanggil sebutan Pak kepada Joni karena menurutnya, panggilan Mas membuatnya merasa canggung. ”Suster mah ada-ada aja. Oh iya tumben nih main ke IGD mentang-mentang udah enak jaga pasien VVIP. Pasti kangen sama saya ya?” Rania tergelak, “Pak Joni ini masih aja suka ngelawak. Tapi benar sih, saya kangen tapi kangen tugas di sini, bukan kangen sama Pak Joni. Nanti saya dimarahin sama istrinya Bapak kalau macam-macam sama suaminya. Bercanda Pak Joni,” jawab Rania sambil melempar senyum lebar. Sebelumnya Rania memang bertugas di IGD selama dua tahun sebelum di pindah ke ruang perawatan pasien VVIP. “Tapi kan lebih enak di VVIP, Sus. Nggak menangani pasien gawat.” “Duh Pak Joni kok gitu sih ngomomgnya. Saya di mana aja enak kok tugasnya. Namanya juga pekerjaan harus ikhlas jalaninnya,” jawab Rania. “Iya benar Sus. Jaman sekarang cari kerja susah jadi harus disyukuri aja selama masih bisa makan. Masih banyak yang di luar sana yang hidupnya lebih susah dari saya.” “Ah bener banget tuh, Pak. Jadi selama masih dikasih tubuh yang sehat, pekerjaan apapun kita lakukan dengan ikhlas. Asal bukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum.” “Suster Rania, pemikirannya bagus sekali. Pantas saja banyak yang kagum sama Suster.” “Tuh kan jangan muji saya. Pak Joni mau dengar cerita dari saya nggak?” tiba-tiba raut wajah Rania berubah serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD