TWY Part 6b

1200 Words
Tidak terasa mobil yang di tumpangi Rania sudah memasuki halaman rumah keluarga Dirga Narawangsa. Begitu masuk Rania dibuat takjub dengan luas halaman serta taman indah dengan lampu taman di sekitarnya. Rumah ini mirip dengan istana, lebih megah dari rumah Eliana yang pernah di kunjungi Rania. “Makasih ya, Pak,” ucap Rania begitu keluar dari mobil. “Sama-sama Non. Di depan pintu sudah ada Bi Asih yang nunggu jadi Non Rania langsung masuk saja.” “Iya Pak..” Rania berjalan canggung menuju pintu masuk kediaman Dirga. Jantungnya berdegub kencang dan perasaannya mendadak tidak tenang. Rania menarik napas kemudian menghembuskan pelan, ia ingin menenangkan diri sebelum menghadapi hal yang mungkin saja tidak terduga bagi Rania. “Selamat malam Non Rania. Silakan masuk, sudah ditunggu sama Bapak dan Non Sally,” sapa wanita yang usianya mungkin memasuki kepala empat. Mungkin ini yang di bilang Pak Budi bernama Bi Asih. “Terima kasih…” sahut Rania pelan ditambah dengan senyum ramah yang berusaha ia keluarkan disela persaannya yang gugup. Rania mengekor di belakang wanita itu untuk menuju tempat di mana Dirga dan Sally menunggu. Lagi-lagi Rania terkagum-kagum dengan interior mewah di dalam rumah ini. Rasanya mata Rania berkunang-kunang melihat benda mewah bertebaran di setiap sudut rumah. Tapi ia tidak berharap bisa memiliki rumah seperti ini, karena ia pasti akan merasa sepi. Rania lebih suka rumah yang sederhana yang akan memberikan kesan hangat bagi penguuninya. “Akhirnya yang di tunggu datang juga,” seru Sally. Ia beranjak dari duduknya kemudian menghapiri Rania, tamu yang ditunggu sejak tadi. “Selamat malam Bapak Dirga dan mbak Sally,” sapa Rania ramah. “Malam Suster Rania, ayo duduk.” Sahut Dirga. Sally memeluk Rania dengan hangat sembelum mempersilakan gadis itu duduk “Aku kira kamu nggak datang,” bisik Sally. “Ya kali nggak datang Mbak, kan udah janji sama Mbak Sally. Kalau nggak datang yang ada Mbak Sally yang ke rumah saya,” jawab Rania pelan. Sally terkekeh geli, “Kamu tahu saja rencana terakhir saya. Ayo kita duduk.” Sally mendorong pelan tubuh Rania dan menuntunnya ke sofa untuk duduk. “Bagaimana kabarnya, Pak? Sakitnya nggak ada kabuh lagi kan?” tanya Rania begitu mendaratkan bokŏngnya di sofa empuk berwarna gold, berseberangan dengan Dirga. “Kabar baik. Apalagi kamu bersedia datang ke sini, saya merasa tubuh saya semakin membaik.” Rania tersenyum canggung, “Ah Bapak. Saya kan bukan vitamin mana bisa seperti itu.” Dirga tergelak, “Saya rindu mendengar hal lucu dari kamu, Rania.” “Tuhan, semoga yang aku pikirkan tidak terjadi,” batin Rania. Rania bukan tipe orang yang gampang berperasangka buruk terhadap orang lain. Tapi gara-gara Gavi dan ucapan Dirga bahkan Budi membuat Rania tidak bisa berpikir seakan semua baik-baik saja. Setelah obrolan ringan, akhirnya makan malam dimulai. Rania duduk di seberang Sally, bersebelahan dengan Dirga. Hidangan makan malam kali ini membuat Rania geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, yang makan hanya bertiga tapi menunya bisa untuk makan bersepuluh. Mungkin bagi keluarga Dirga ini hal yang biasa tapi bagi Rania ini termasuk pemborosan. Kebiasan Rania di rumah masak makanan yang penting ada protein dan sayur serta buah. Lebih baik masak secukupnya daripada masak banyak tapi tidak habis maka akan terbuang percuma. Jika sampai membuang makanan, gadis ini akan merasa sedih mengingat saudara-saudaranya yang hidup dalam keterbatasan tidak bisa menikamti makanan mewah dan ia tidak suka jika ingat akan hal itu. “Dari tadi saya tidak lihat Jesse, emang Jesse kemana, Mbak Sally?” tanya Rania begitu makanan miliknya tandas. “Jesse pergi..” sahut Dirga. “Dengan Papa dan Mamanya?” Sally menggeleng, “Jesse lagi ngenep di rumah saudara sepupunya. Besok baru pulang, makanya rumah jadi sepi nggak ada Jesse. Papanya Jesse mendadak nggak bisa pulang karena ada pekerjaan penting, makanya nggak ikut makan malam.” “Oh..” “Jesse sudah tidak memiliki Mama, Rania.” “Maaf, Pak,” ucapnya dengan wajah terlihat canggung. Selama ini ia tidak tahu mengenai kebenaran itu. Ia pikir, Ibunya Jesse adalah wanita karir sehingga tidak pernah terlihat saat ayah mertuanya di rawat di rumah sakit. “Rania, kalau bisa jangan panggil saya Bapak lagi. Panggil saya Om saja, kamu kan sedang tidak merawat saya,” celetuk Dirga. “Ahh. Iya Pak eh maksud saya Om,” jawab Rania canggung. “Papa minta dipanggil Om biar berasa muda tuh. Modus banget si Papa,” sindir Sally membuat ayahnya tergelak kencang. “Papa kan memang masih muda, kamu saja belum menikah.” “Jangan bahas nikah deh, Pa. Rania juga belum nikah padahal umur kita beda dua tahun. Iya kan?” Rania terkejut namanya tiba-tiba di sebut, “Saya belum kepikiran nikah, Mbak. Belum ada calon juga jadi saya santai-santai saja,” jawab Rania jujur dan sedikit merasa malu. “Jodoh tidak ada yang tahu datangnya kapan. Bisa saja besok, lusa atau beberapa tahun lagi. Yang jelas, Tuhan punya waktu yang tepat untuk kamu Rania. Kalau datang besok, apa kamu siap menikah?” ucapan Dirga mengingatkan Rania pada ucapan ayahnya beberapa waktu lalu. “Pasti mau dong. Apalagi kalau calonnya baik, ganteng dan mapan mana bisa nolak. Iya nggak, Rania?” “Tapi kalau belum kenal mana bisa menikah, Mbak. Belum tahu luar dalamnya, perkenalan singkat belum tentu cocok.” “Bisa saling mengenal satu sama lain tidak hanya sebelum menikah, Rania. Bisa juga dilakukan pada saat sudah menikah. Anggap saja setelah menikah sebagai proses pacaran tapi sudah sah,” jelas Dirga. “Benar itu kata Papa. Jaman sekarang lagi ngetren nikah model begitu. Nikah rasa pacaran katanya lebih uwu dan pasti seru banget.” “Hallow. Ini dunia nyata bukan cerita novel romance, di mana tokohnya dijodohkan dengan orang asing kemudian jatuh cinta dan hidup bahagia lalu memiliki banyak anak,” pikir Rania. “Sudah jangan di bahas lagi. Kasihan Rania jadi pusing mikirin ucapan kamu.” “Gara-gara Papa sih mancing kan jadi seru,” celetuh Sally santai. “Maaf ya Ran, aku cuma bercanda kok. Jangan dimasukin ke hati, anggap saja angin malam kemudian berlalu.” Rania bingung dengan hubungan antara ayah dan putrinya, tiba-tiba bercanda dan tiba-tiba serius. Tapi interaksi keduanya sangat hangat, saling melengkapi. “Nggak masalah kok, Mbak. Saya sih orangnya santai, suka bercanda juga,” jawab Rania. “Sekali lagi terima kasih karena kamu mau datang untuk makan malam. Walaupun tujuan dan rencana saya tidak sesuai tapi malam ini cukup membuat saya senang.” “Rencana apa, Om?” Rania tidak salah dengar kan dengan ucapan Dirga. “Bukan apa-apa, mungkin belum waktunya saja. Saya harap kamu sering main ke sini. Saya senang kalau rumah ramai seperti ini,” pinta Dirga. “Kamu juga bisa main ke tempat kerjaku. Kemarin aku sudah kasih kartu namanya kan, jadi nggak ada alasan kamu nggak tahu alamatnya.” “Iya Mbak, kapan-kapan saya pasti mampir ke sana. Saya juga mau ngucapin terima kasih sama Om dan Mbak Sally sudah repot-repot mengundang saya makan malam. Bahkan menunya banyak sekali sampai saya bingung mau makan yang mana.” “Ini kan sudah jadi janji saya waktu pulang dari rumah sakit, Rania. Saya harap setiap hari bisa merasakan suasana makan malam yang hangat seperti ini.” Ucap Dirga dengan tatapan tulus kepada Rania. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD