TWY Part 5a

1263 Words
Tolong baca author note ya :) ======================= “Kamu baru pulang?” Suara Dirga menggema di ruang keluarga Narawangsa begitu putranya masuk ke dalam rumah. Pria bernama Derren itu menghentikan langkahnya lalu menghampiri sang ayah. Ia duduk berseberangan dengan Dirga. “Papa kenapa belum tidur? Ini sudah malam dan kenapa duduk di sini sendirian?”      Pria dengan rambutnya sudah memutih itu menghela napas lelah, “Papa memikirkan kamu, Derren. Ada hal yang selalu mengganggu pikiran Papa.” Kening Derren mengkerut mendengar keluhan ayahnya. “Kenapa mikirin aku? Jangan bilang karena aku telat pulang? Pa, aku sudah titip pesan kan sama Sally kalau aku pulang terlambat karena harus lembur. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Sang ayah menatap lekat putranya, “Kamu terlalu sibuk Derren sampai Papa tidak pernah punya kesempatan ngobrol sama kamu.” “Papa mau ngobrol soal apa sama aku?” Derren penasaran apa yang mengganggu pikiran ayahnya hingga membuat pria paruh baya itu rela menunggu hingga pulang. “Papa ingin kamu segera menemukan pasangan hidup. Ini sudah terlalu lama, Papa dan Mama juga semakin tua dan sakit-sakitan. Jadi Papa minta sama kamu agar segera menikah.” “Kenapa papa tiba-tiba membahas hal seperti ini? Harusnya Papa minta Sally yang menikah, umurnya sudah pantas melepas masa lajang. Aku ini pria, lebih memiliki toleransi jika umur segini belum menikah,” jawabnya. “Kamu pikir, adikmu mau menikah kalau kamu sendiri belum menikah? Sally tidak mau menikah karena dia tidak mau melangkahi kamu belum lagi dia memikirkan Jesse.” “Ah pemikiran dari mana itu, kalau Sally siap ya tinggal nikah saja.” “Kamu memang keras kepala Derren.” “Sudahlah Pa, jangan membahas hal konyol seperti ini tengah malam. Sebaiknya Papa istirahat, jaga kesehatan Papa. Aku mau ke kamar dulu, capek kerja seharian.” tandas Derren lalu meninggalkan Dirga yang belum mendapat jawaban memuaskan dari putranya. “Papa tidak mau tahu Derren, suka tidak suka kamu harus menikah,” ucap Dirga dengan suara meninggi. Derren seakan tidak peduli dengan titah sang ayah, ia fokus menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya di lantai dua. Namun sebelum masuk ke kamarnya sendiri, ia mampir sejenak ke kamar Jesse lalu membuka pelan-pelan pintu tersebut. Dilihatnya Jesse yang tertidur dengan pulas. Hal yang selalu ia dapati ketika pulang ke rumah, putranya selalu saja sudah dalam keadaan tidur. Derren mendekat Jesse sambil tersenyum, lalu tangannya membelai kepala bocah itu. “Good night boy, maafin Papa jarang punya waktu nemenin Jesse di rumah. Semoga kelak kamu mengerti ya.” Bisik Derren diakhiri dengan kecupan pada pucuk kepala Jesse. *** Gavi sedang fokus memarkirkan mobil Papanya di garasi rumah. Ia baru saja pulang dari mengantar Rania untuk belanja keperluan rumah dan serta bahan makanan untuk bertiga. Walaupun lelah, tapi cukup menyenangkan bisa membawa mobil milik ayahnya. Berbeda dengan Rania, begitu sampai dengan selamat baru ia bisa bernapas lega. Bagaimana ia tidak cemas sepanjang jalan pulang, Gavi mengambil kesempatan untuk mengendarai mobil dengan ngebut. Takut-takut jika tiba-tiba ada polisi yang melihat kelakuan adiknya, bisa panjang urusan mereka berdua. “Lain kali kakak pergi sendiri aja deh, Gav. Dari pada degdegan begini,” gerutu Rania saat mengambil kantung yang berisi belanjaan. Gavi membantu membawa sisa kantung belanjaan berjalan mengekori kakaknya. “Takut amat sih Kak, aku sudah antar Kakak pulang dengan selamat lho. Padahal aku nggak ngebut kan, bawanya slow aja,” jawab Gavi santai. Rania mendelik Gavi yang bicara tidak sesuai fakta. “Dasar tukang ngebut.” “Siapa sih, masih wajar kok,” Gavi berkilah. “Eh kok di kunci? Papa ke mana?” Rania terkejut saat ingin membuka pintu tapi ternyata terkunci. “Kamu ada kunci dengan nggak?” Gavi memeriksa kunci mobil milik ayahnya, “Ada nih. Papa kan selalu bawa.” “Ya udah buruan buka. Aku kok khawatir ya Papa pergi nggak bilang sama kita.” Gavi membuka pintu dengan kunci cadangan yang ada di gantungan kunci mobil. “Kebiasaan nih Kakak pikirannya negatif terus,” gerutu Gavi. Saat pintu terbuka suasana ruang tamu sepi dengan lampu menyala. Gavi meletakkan kantung belanjaan di atas meja makan kemudian melangkah menuju kamar ayahnya. Beda hal dengan Rania, ia segera mengecek kamar mandi namun hasilnya nihil. Rania lantas pergi ke halaman belakang berharap Candra ada di sana. Ia bernapas lega saat sang ayah duduk di gazebo kecil di taman belakang. Pria itu sedang duduk sambil memperhatikan ikan yang ada di kolam kecil sebelah gazebo. Rumah mungil itu ditata dengan baik sehingga lahan yang ada di belakang rumah, dimanfaatkan untuk tempat duduk berupa gazebo serta kolam ikan kesayangan Gavi lengkap dengan air mancurnya. Tidak lupa, lampu taman sebagai penerang di sana. “Papa...” panggil Rania pelan. Candra mendongak “Sayang, kalian sudah pulang. Kenapa bisa masuk, kan pintunya Papa kunci?” Sebelum menjawab pertanyaan dari ayahnya, Rania kembali ke dalam rumah untuk mengatakan pada Gavi kalau Candra ada di taman belakang. Tidak butuh waktu lama, gadis itu muncul kembali dan duduk di samping Candra. “Ada kunci cadangan yang Papa simpan jadi satu sama kunci mobil. Papa kenapa malam-malam di sini? Rania tadi khawatir tahu-tahu rumah sepi,” ujar Rania cemas. Ia duduk di sebelah pria itu. “Papa hanya bosan, sayang. Jadi Papa duduk di sini sambil lihat ikan-ikannya Gavi yang makin banyk,” jawab Candra. Namun entah mengapa Rania merasa ayahnya sedikit berbeda. Wajahnya terlihat lelah, matanya sendu dan kerut kecemasan tercetak jelas di wajahnya. Ada yang tidak biasa dari sikap Candra akhir-akhir ini. Tangan Rania terangkat, mengambil tangan ayahnya. “Pa, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Papa? Rania perhatikan akhir-akhir ini Papa terlihat berbeda.” Candra mengulas senyum, “Kamu bicara apa, Rania? Papa baik-baik saja, hanya lelah dengan pekerjaan.” “Kalau begitu Papa berhenti saja bekerja, biar Rania saja yang bekerja. Kita bertiga tidak akan kekurangan walaupun hanya Rania yang kerja, Pa.” ucap Rania yakin. Selama ini mereka sudah terbiasa hidup sederhana, jadi jika ayahnya tidak bekerja pun ia yakin tidak akan kelaparan. Apalagi selama ini Gavi juga mendapat beasiswa sehingga beban Rania dan Candra tidak terlalu berat. Gavi memang terkenal pintar, bahkan ia sudah bertekad untuk menjadi seorang dokter, kelak. “Sayang, Papa bekerja bukan hanya untuk mencari uang tapi mencari kesibukan. Papa akan bosan kalau seharian di rumah,” jelas Candra. “Tapi Rania nggak mau Papa sakit karena capek kerja.” “Justru kamu jangan terlalu gila bekerja. Libur bukannya istirahat, seharian malah bersih-bersih rumah dan belanja. Pikirkan diri kamu sendiri, Rania. Umur kamu juga sudah cocok untuk memiliki pasangan,” ujar Candra. Ia memang menginginkan anaknya segera memiliki pasangan karena selama ini sekalipun ia belum pernah melihat laki-laki datang ke rumah ini yang mengaku sebagai pacar putrinya. “Rania belum berpikir sejauh itu, Pa,” elak Rania. Candra menghela napas, “Umur Papa terus bertambah, sayang. Papa ingin melihat kamu menikah dan memiliki anak. Papa mau lihat cucu Papa yang lucu-lucu,” suara Candra sedikit bergetar. Rania memperhatikan wajah Candra, “Papa kenapa bicara seperti itu. Papa pasti bisa lihat Rania dan Gavi menikah. Terus bisa main sama cucu Papa juga”. Candra tergelak, “Kamu punya pacar saja belum bagaimana bisa kasih Papa cucu.” “Ya kan nanti, Pa. Mungkin dua atau tiga tahun lagi,” jawabnya santai. “Kalau jodoh kamu datang besok atau lusa, bagaimana? Apa masih di pending sampai dua atau tiga tahun lagi?” “Pa, Rania yakin jodoh untuk putri Papa ini pasti akan datang di waktu yang tepat. Jadi Papa tenang saja ya, jangan terlalu takut Rania tidak menikah. Rania pasti menikah dengan pria yang memang ditakdirkan oleh Tuhan untuk menemani Rania sampai akhir hayat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD