TWY Part 4b

1187 Words
Sebelum menuju ruang VVIP untuk tugas jaga sore, Rania menyempatkan diri untuk pergi ke ruang IGD. Ia ingin bertemu Erika yang sudah seminggu tidak ia temui. Bukan tanpa alasan, kesibukan masing-masing selalu saja menyita waktu hingga untuk bisa bernapas saja sudah bersyukur. Apalagi Erika yang bertugas di IGD selalu saja kewalahan menghadapi pasien yang tiba-tiba membludak. Rencana makan siang bersama selalu gagal karena pasien juga karena jadwal kerja keduanya tidak bersamaan. “Wih baunya enak banget nih,” seru Rania begitu masuk ke ruang perawat. Erika dan beberapa perawat yang lain menoleh ke arah pintu masuk. “Eh, Ibu tumben ke sini. Nggak ada hujan nggak ada angin tumbenan nongol,” suhut Erika sambil menikmati nasi box. “Hai Suster Rania..” sapa yang lainnya. “Hai juga semuanya. Pas banget lagi makan siang ya.” Rania duduk di kursi kosong sebelah Erika. “Iya Sus. Ini kita lagi kebagian rejeki makan siang gratis dan makanannya enak banget lagi.” Jawab Suster Ana. “Siapa yang ulang tahun?” Tanya Rania polos. “Bukan ada yang ulang tahun. Tapi ada pengusaha kaya yang sempat di rawat di sini kirim makanan untuk seluruh karyawan rumah sakit sebagai ucapan terima kasih,” jelas Erika. “Wah baik banget. Orang kaya mah bebas. Iya nggak?” “Iya Sus. Kita di kasih nasi box yang isinya rendang plus ayam penyet udah senang banget.” “Betul. Semua harus di syukuri.” “Ada perlu apa ke sini?” tanya Erika. “Ketemu kamu, kan kangen lama nggak ketemu.” “Jadi terharu akutuh,” ucap Erika dengan nada manja. “Ih jijay banget sih.” “Kan kamu yang bikin aku jadi jijay,” cibir Erika. “Dah ah, cuma numpang lewat bentar. Kalau begitu aku ke ruangan dulu ya. Nanti ada yang ngomel kalau aku telat. Di bilang makan gaji buta,” ucap Rania membuat radar Erika menangkap sosok yang di maksud Rania. “Mona kan? Alah dari jaman di IGD kagak ada berubahnya itu tantekun. Heran gue kok ada manusia seperti itu diterima kerja di sini.” Erika begitu sebal setiap mendengar tentang Mona. “Kamu sehati banget sama si Nathan. Bencinya sama Mona udah mendarah daging.” Rania tergelak melihat wajah Erika berubah kesal. “Tapi memang nyatanya begitu. Mentang-mentang dulu papanya pernah jadi dokter di sini jadi suka seenaknya aja,” celetuk Sarah yang sedari tadi hanya diam. “Waduh salah pilih topik. Kalau udah menyangkut Mona semua orang sampai dedemit gabung buat mengeluarkan keluhan. Mending jangan dibahas lagi nanti nafsu makan kalian hilang, kan kasihan makanan enak jadi kebuang karena nyebut MO-NA.” ucap Rania dengan nada menekankan. “Gara-gara kamu. Udah buruan balik,” usir Erika. “Iyaiya. Bye semuanya. Semangat, Oke?” ucapnya sambil mengangkat satu tangannya yang mengepal. Saat keluar dari IGD, tiba-tiba langkah Rania terhenti saat namanya di panggil oleh seseorang yang suaranya sudah Rania hafal. “Suster Rania,” panggil dokter Andrian. “Siang Dok. Habis istirahat makan siang ya?” “Iya. Kamu jaga sore?” “...” Rania mengangguk. “Tadi habis dari IGD? Ketemu siapa?” “Oh cuma singgah sebentar ketemu Erika” jawab Rania. “Saya jarang lihat kamu ke sini, kenapa?” Rania bingung dengan maksud pria di hadapannya “Hhmmm, iya karena pasien VVIP lumayan banyak dan saya jadi sibuk, Dok. Lagian saya nggak enak sering-sering ke sini.” Andrian mengangguk paham. “Kalau begitu saya boleh minta nomor telepon kamu? Kalau ada apa-apa biar saya mudah menghubungi kamu.” Rania merasa aneh dengan sikap Andrian tapi ia tetap memberikan apa yang di minta pria itu. Tidak ada alasan menolak, apalagi kalau sampai membawa pekerjaan dalam hal ini. “Boleh Dok...” jawab Rania ragu. Andrian menyerahkan ponselnya pada Rania, membiarkan gadis itu yang mengetik nomor teleponnya. “Oke thank,” ucap Andrian di balas dengan senyum ramah oleh Rania. “Rania...” panggil seseorang yang membuat Rania terkejut dan spontan gadis itu menoleh ke sumber suara. Ternyata ada Nathan yang berdiri di depan lift sambil melambaikan tangan. Perlahan pria itu berjalan menghampiri Rania yang masih bersama dengan Andrian. “Jangan teriak kali Nat, kamu kira ini hutan,” gerutu Rania kesal. “Abisnya aku melambaikan tangan dari tadi tapi kam nggak lihat. Makanya aku teriak.” Sahut Nathan santai. Lalu pandangannya beralih pada sosok pria yang diam sejak tadi. “Eh ada Dokter Andrian.” “Halo Nathan. Lama tidak jumpa,” sapa Andrian ramah. “Iya Dok, saya jarang keluar kandang kalau udah masuk,” jawabnya santai “Dokter, saya duluan ya.” Merasa terlalu lama membuang waktu, Rania memilih untuk pergi dari hadapan Andrian bersama dengan Nathan. “Iya Suster Rania.” Sahut Andrian. Begitu pintu lift tertutup, Nathan sudah siap dengan pertanyaan untuk Rania. “Tadi ngapain kamu ngambil ponselnya si Dokter IGD?” tanya Nathan. Wajahnya dicondongkan ke telinga Rania yang berdiri di sebelahnya. Rania terkejut merasakan hembusan nafas Nathan pada telinganya, hingga membuat adis itu mengusap telinganya. “Nggak usah ngomong di depan telinga aku, Nath. Kamu kira aku budeeg apa?” protes Rania sambil menjauhkan tubuhnya dari Nathan. “Jawab dulu? Kamu PDKT sama Andrian? Wah parah, kamu kan tahu kalau Eliana suka sama Dokter IGD itu.” Sembur Nathan. “Mulut kamu comel banget! Siapa yang PDKT, Dokter Andrian minta nomor telepon aku biar gampang kalau misalnya dia ada perlu sama gue. Puas?” Rania benar-benar sebal dengan Nathan. Wajahnya ganteng tapi mulutnya kayak petasan lebaran, nyeroscos terus. Nathan tergelak kemudian tangannya menjawil dagu gadis di sebelahnya. “Marah-marah terus neng. Cepat keriput lho.” Rania menoleh ke samping, matanya mendelik Nathan. “Awas kalau mulut kamu sampai nyampah sembarang, aku potong anu kamu biar sekalian ganti kelamin jadi cewek,” ancam Rania sengit. Pintu lift terbuka, keduanya sudah sampai di lantai gedung khusus pasien VVIP. Rania dan Nathan keluar dari lift tanpa menghentikan perdebatan yang cukup seru. “Astaga, cantik-cantik kok barbar banget sih. Aku bukan mau cari bahan gosip, tapi tulus perhatian sama teman sendiri. Baik-baik dekat sama cowok biar ke depan nggak jadi masalah. Apalagi cowok itu adalah gebetan alias inceran teman kamu sendiri,” jelas Nathan. Rania memikirkan setiap kalimat yang keluar dari mulut lemes Nathan. Walaupun menyebalkan tapi perkataannya ada benarnya juga. Kalau Eliana melihat dia berduaan dengan Andrian bisa ngambuk tujuh hari tujuh bulan temannya itu dan Rania tidak mau hal itu sampai terjadi. “Kok kamu nggak bilang dari tadi sih? Harusnya kamu cepat-cepat tarik aku menjauh dari Dokter Andrian,” protes Rania dengan wajah terlihat takut. Nathan menghela napas. “Gimana mau narik kamu, aku panggil aja kamunya marah.” “Ya maaf. Kamu kan tahu ini rumah sakit, nggak baik kalau ribut,” jawab Rania pelan. “Aku peduli sama kamu, Rania. Aku emang kayak petasan tahun baru atau petasan lebaran tapi niat aku baik kalau menyangkut soal teman atau sahabat.” Ucapan serius Nathan membungkam mulut Rania hingga membuat ia menyerah untuk berdebat. Nathan yang menyebalkan begitu tulus ingin membantunya. Rania menjadi terharu tapi jelas tidak akan menunjukkan pada pria berparas tampan ini. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD