TWY Part 4a

1091 Words
Rania tengah fokus memeriksa laporan pasien miliknya sebelum nanti ke kamar Dirga untuk persiapan kepulangan pria itu. Sebenarnya hari ini Rania mendapat jadwal libur tapi karena ia mendapat info kalau Dirga pulang hari ini, maka ia memutuskan untuk menukar jadwal libur dengan Lona. Entah kenapa sikap Dirga begitu baik dengan Rania hingga menimbulkan kecurigaan rekan kerjanya. Bahkan ada yang bilang kalau Rania dibayar untuk menemani Dirga disaat pekerjaan gadis itu sedang senggang. Untungnya Rania memiliki sikap masa bodoh, sehingga kabar miring yang tidak benar itu tidak pernah mempengaruhinya. Ia hanya melakukan pekerjaan dan sebisa mungkin membuat pasien nyaman disaat merasa bosan di rumah sakit. Karena jika pasien senang, maka proses penyembuhan juga akan berjalan dengan cepat. “Permisi..” sapa Rania dengan wajah ceria khasnya. “Suster Rania.” Sapa Sally, anak perempuan Dirga. “Halo Mbak. Wah ini siapa?” tanya Rania sambil menghampiri bocah laki-laki yang tengah duduk di sofa bersama Sally. “Dia cucu saya, Sus. Namanya Jessferrel panggilannya Jesse.” Jawab Dirga yang sedang duduk di sofa terpisah dengan anak dan cucunya. “Anak Mbak Sally?” Tanya Rania terkejut. Setahu Rania, Sally belum menikah sesuai cerita wanita itu. Sally tergelak, “Bukan, Sus. Ini keponakan aku, anak dari kakakku.” Rania tersenyum canggung, merasa tidak enak. “Wah, maaf ya Mbak. Padahal kan Mbak sudah cerita kalau belum menikah.” Rania berlutut di hadapan bocah manis itu “Hai Jesse, namaku Rania.” Rania mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan bocah tampan itu. Jesse menoleh ke arah Sally bingung. “Ayo kasih salam sama Aunty Rania dulu, Jes.” Ucap Sally sambil mengangkat tangan bocah itu untuk membalas perkenalan Rania. “Hai Aunty,” jawab Jesse malu-malu. “Jesse umur berapa sekarang?” “...” Jesse menujukkan empat jari miliknya. “Sekarang sudah masuk TK A dong,” ucap Rania sambil mengelus pipi Jesse. Ia sangat suka anak kecil, rasanya gemas melihat bocah di hadapannya. “Sebenarnya bulan depan baru empat tahun Sus dan ini lagi bolos dari playgrup. Katanya mau jemput Kakek, udah nggak sabar mau ngajak pulang,” jelas Sally sambil mengelus kepala keponakannya. “Jesse anak baik ya, sayang sekali sama Kakek.” Rania kembali berdiri, “Karena semua administrasi sudah selesai, sekarang Bapak sudah bisa pulang. Jesse bisa ajak Kakek pulang sekarang,” jelas Rania. Seketika bocah itu melonjak senang, “Hore, Jesse nggak kesepian lagi deh di rumah karena Kakek sudah pulang. Yey” teriak Jesse senang. Padahal sejak Rania datang, bocah ini sangat irit berbicara. Melihat tingkah lucu dan menggemaskan Jesse, sontak membuat orang yang ada di ruangan tertawa lebar. Dirga beranjak dari duduknya, lalu mendekati Rania yang tengah berdiri. Pria paruh baya itu menyentuh tangan Rania dengan lembut. “Terima kasih Suster Rania sudah menemani saya selama di sini. Karena Suster selalu menghibur, saya tidak kesepian lagi,” ucap Dirga tulus. “Sama-sama, Pak. Janji jangan ke sini lagi ya.” “Kenapa begitu?” tanya Dirga terkejut. “Ya kalau Bapak ke sini lagi berarti Bapak sedang dalam kondisi tidak baik,” jawab Rania. Seketika Dirga tergelak mendengar jawaban Rania. “Suster selain baik ternyata pintar juga. Saya sampai terkecoh dengan ucapan Suster.” Rania hanya menampakkan senyum lebar mendapat pujian dari Dirga. “Baiklah. Kalau saya nanti undang kamu makan malam dengan keluarga saya sebagai ucapan terima kasih, kamu harus mau,” ucap Dirga kembali. “Wah, kan yang merawat Bapak di sini bukan saya saja. Ada dokter dan perawat yang lain. Jadi tidak adil jika hanya mengundang saya,” jawab Rania jujur. “Saya pasti membalas kebaikan rekan kamu yang lain. Tapi yang rela menemani saya mengobrol sampai malam kan cuma Suster Rania.” Rania meletakkan jari telujukknya di depan bibirnya. “Sssttt. Jangan bilang siapa-siapa Pak nanti saya bisa kena marah karena membuat pasien begadang.” “Tapi saya sekarang jadi tahu lo, Sus,” celetuk Sally pura-pura kesal. Rania meringis takut, “Maaf ya Mbak, ini Bapak Mbak Sally yang maksa.” “Benar Sally. Papa yang minta Suster Rania menemani Papa ngobrol. Jangan marah sama dia,” jelas Dirga. Sally tergelak, “Untung ada Suster, kalau saya yang menginap di sini, pasti saya yang di paksa begadang. “Mbak Sally bikin saya takut saja. Saya kira marah beneran.” Rania bernapas lega. “Tolong pikirkan niat baik saya, Sus. Suatu hari saya akan meminta jawabannya,” tandas Dirga. *** “Papa, kenapa belum tidur?” Rania terkejut saat terbangun pukul sebelas malam dan ruang kerja sang ayah masih terang. Candra mengangkat wajahnya, membetulkan letak kaca mata yang sedikit turun. “Sayang, kenapa bangun? Papa masih ada pekerjaan sedikit, sebentar lagi selesai.” Rania menghampiri Candra, berdiri di sisi pria itu. “ Rania hampir nggak pernah lihat Papa lembur. Kenapa sekarang tiba-tiba lembur?” Rania hafal sekali kebiasaan ayahnya. Sudah sangat lama Candra tidak melakukan hal ini. Dulu sekali ia ingat ayahnya gila kerja jika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya salah satunya yang Rania ingat adalah ketika ayahnya begitu merindukan istrinya yang sudah meninggal. Maka dengan bekerja tanpa kenal waktu adalah jalannya mengalihkan kegundahan hatinya. Jadi Rania curiga, apakah ayahnya sedang memikirkan sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang? “Besok Papa ada rapat sayang, jadi harus membuat laporan untuk dipresentasikan,” jawab Candra tenang. Rania menghela napas pelan, “Iya Pa. Tapi jangan sampai lewat tengah malam. Nanti Papa bisa sakit. Ingat kata dokter, kan?” Candra memiliki riwayat hipertensi jadi sebisa mungkin harus menjaga kesehatan. “Iya sayang, sebentar lagi pekerjaan Papa selesai. Kamu kenapa bangun?” “Rania haus Pa. Jadi bangun mau ambil air putih. Tadi ketiduran jadi belum sempat ambil air untuk di bawa ke kamar,” jelas Rania. “Ya sudah sana ambil air, terus tidur lagi. Papa lihat kamu kelelahan.” Seminggu ini Rania tidak sempat mengambil libur karena teman kerjanya mengambil cuti untuk acara keluarga jadi hanya Rania yang mampu menekan ego untuk menggantikan temannya itu. “Iya Pa. Rania tinggal dulu ya. Ingat, Papa harus segera tidur. Kalau sampai Rania ruangan ini masih menyala, Rania marah sama Papa.” Candra tergelak, “Kamu persis seperti Mama kamu. Selalu marah kalau Papa mengabaikan kesehatan.” “Namanya juga anak Mama, pasti sifatnya sama. Lagi pula Rania seperti ini karena sayang sama Papa. Rania cuma punya Papa dan Gavi, jadi Rania harus menjaga harta yang paling berharga di dunia ini. Apapun akan Rania lakukan untuk Papa dan Gavi. Kebahagiaan Rania adalah kalian berdua, tidak ada lagi.” Candra tersenyum haru dengan ucapan putrinya. Bagaimana bisa ia tidak bahagia memiliki wanita yang begitu peduli, seperti istrinya dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD