Zombie 13 - Be Careful

2211 Words
Zombie 13 - Be Careful "Nyonya Bregenza Altahir," baca Xavier. Xavier benar-benar penasaran dengan catatan medis nyonya Bregenza. Disana tertera kalau nyonya Bregenza mengidap penyakit kanker rahim stadium satu. Hanya itu saja yang Xavier mengerti selebihnya banyak bahasa medis yang tidak Xavier ketahui. "Jadi selama ini nyonya Bregenza mengidap kanker rahim? Padahal dia adalah tulang punggung keluarga," ujar Xavier. Nyonya Bregenza selalu tampak kuat di depan Xavier. Dia memang tinggal berdua dengan kakek Simon. Nyonya Bregenza memang pernah menikah dan sudah cerai. Xavier yang tidak terlalu kepo dengan kehidupan pribadi orang lain. Tidak tahu alasan kenapa nyonya Bregenza sampai bercerai dengan suaminya. Yang jelas setelah bercerai dengan suaminya. Nyonya Bregenza kembali ke rumah kakek Simon. Membantu merawat kakek Simon. Padahal nyonya Bregenza sediri kesakitan dengan penyakit kanker rahimnya. Sungguh mulia pengorbanan seorang anak. Xavier yakin, pasti nyonya Bregenza tidak memberitahukan soal penyakitnya pada kakek Simon. Karena selama ini. Kakek Simon selalu membangga-banggakan nyonya Bregenza yang sangat gigih dalam bekerja. "Nyonya Bregenza yang malang. Sekarang nasibnya bagaimana ya? Kasian juga kalau tahu kakek Simon sudah mati dibunuh sama gue. Semoga saja nyonya Bregenza memahami apa yang gue lakukan pada kakek Simon," oceh Xavier. Setelah mengambil beberapa obat bius yang akan di pakai. Mereka bersiap-siap untuk pulang ke terowongan bawah tanah. Namun, sepertinya Xavier masih belum mau pulang. Katanya dia tahu tempat penjual toko senjata. Ia mencari senjata yang bisa menembakan bius pada targetnya. Sebetulnya itu ide buruk. Karena sebentar lagi matahari akan tenggelam. Itu artinya para zombie akan semakin ganas. "Sebaiknya besok saja kita kemabali ke sini. Bukankah yang di butuhkan hanya beberapa obat bius?" Tanya Jessica. "Ya, tapi kita perlu senjata dan persediaan makanan. Jika mulai gelap, kita akan bermalam dulu di toko senjata itu. Pokoknya kita harus hati-hati dan saling melindungi," ujar Xavier. Ternyata Xavier masih sama seperti dulu. Xavier yang Jessica kenal. Sifat keras kepalanya masih juga belum menghilang dari dirinya. Mereka di kampus tidak telalu dekat karena memang mereka berbeda jurusan. Hanya saja memang saat di kampus. Mereka pernah satu mata kuliah yang diajarkan oleh profesor Felix. Jessica juga kuliah di universitas yang sama seperti Xavier. Jessica mengambil jurusan Biologi. Xavier dan Jessica pernah satu grup penelitian. Xavier terkesan sangat dingin, selalu menutup dirinya sendiri dan tidak banyak bicara. Baru kali ini Xavier berbicara panjang lebar. Dulu mau bicara panjang lebar. Pasti membicarakan tentang penelitian ilmiahnya. Jessica mengerti kenapa sikap Xavier seperti itu. Karena memang Xavier sangat sibuk dengan kuliah dan sebagai asisten profesor Felix di laboratorium terbesar di kota Troxbo. Sekarang kita Troxbo sudah hancur. Tidak ada lagi kehidupan. Selain para zombie yang berkeliaran di jalan. Kota Troxbo sudah di kuasai oleh monster pengigit yang tidak pernah kenyang. Jesicca membuka pintu apotek. Dia di sambut oleh dua zombie yang hampir saja memakan tangannya. Dengan sigap Xavier menembak kepala dua zombie itu. Ternyata suara tembakan dari Xavier mengundang sekawanan zombie menuju apotek. Jessica menarik Xavier entah kemana. Yang jelas mereka harus pergi dari sekawanan zombie itu. Karena mereka tidak akan mungkin bisa menghabisi satu per satu dari mereka. Mereka sampai di persimpangan jalan. Xavier langsung menarik Jessica ke sebuah toko. Jesicca melihat sekitar toko yang baru saja mereka masuki. Ternyata tokonya adalah toko persenjataan. Di dalam mereka bertemu beberapa Zombie. Saat Xavier akan kembali menembak. Jesicca menghadangnya. Ia langsung menancapak pisau di kepala sang Zombie. "Jangan ada suara tembakan lagi. Itu kan memperumit sitausi kita sekarang. Sepertinya ide elo buat bermalam di sini bagus juga. Sambil kita cari senjata yang elo butuhkan. Kita bisa tidur malam ini di toko persenjataan ini. Kita enggak mungkin kembali sekarang. Karena pasti kawanan zombie akan berkumpul di malam hari," ucap Jesicca panjang lebar sambil berbisik. "Baiklah, kita mulai cari senjata yang gue inginkan. Elo ambil beberapa senjata yang menurut Lo nabtinya akan berguna," pinta Xavier. "Oke. Ingat kalau ketemu Zombie lagi. Elo tusuk aja pakai pisau. Biar ga menimbulkan suara lagi. Kita cari aman aja. Karena setelah ini, elo masih harus penelitian kan sama profesor Felix. Jangan biarkan virus zombie ini menguasai otak dan tubuh Lo!" Saran Jessica. Mereka mulai menelusuri toko senjata yang mereka datangi hari ini. Jesicca mulai memasukan beberapa amunisi peluru kedalam tasnya. Dan ada beberapa pisau kecil dan pistol kecil juga. Jessica yakin suatu saat apa yang di bawa ini akan berguna bagi kelompoknya di ruang bawah tanah. Jessica tertarik pada satu senjata yang sepertinya akan berguna untuk kelompoknya nanti. Jessica memang belum pernah menggunakan senjata tersebut. Dia hanya melihat senjata itu dalam film action yang penah ia tonton. Sekarang mana bisa Jessica menonton film action kesukaannya. Semua itu tinggal kenangan manis. Karena kita tidak pernah akan tahu kapan wabah ini akan berakhir. Jessica mengambil senjata laras panjang yang bisa tentara gunakan. Sepetinya hebat dan gagah. Jesicca sudah seperti senneper. Jessica tersenyum lebar, ia mencoba menarik pelatuk senjata tersebut. Dan... Dor! Dor! Dor! Ternyata senjata itu menembak beberapa kali ke atas langit-langit. Xavier buru-buru menghampiri Jessica. Xavier langsung menepuk jidatnya yang tidak bersalah. Rasanya Jessica ceroboh sekali bisa salah memakai senjata dalam situasi genting seperti ini. Pasti kawanan Zombie akan datang menghampiri mereka. Padahal Xavier belum menemukan senjata yang ia cari. "Bodoh! Kenapa menembak ke langit-langit!" Tukas Xavier kesal. "Maaf, ternyata gue memang belum bisa menggunakannya. Gue cuma coba-coba tadi," sesal Jessica. "Lalu sekarang gimana? Kita enggak akan bisa bermalam di sini. Sudah pasti para zombie akan terpancing dari suara tembakan yang elo buat tadi. Elo lagi bikin lonceng makanan. Supaya mereka ke sini?" Xavier benar-benar marah. Jesicca hanya bisa diam saja. Karena ini memang kesalahan yang ia perbuat. Tidak lama kawanan Zombie mulai berkumpul di depan toko persenjataan. Satu persatu mereka masuk. "Jangan menembak lagi. Tikam saja kepalanya dengan benda tajam yang gue kasih tadi ke elo!" Perintah Xavier. Ia tidak mau memancing lebih banyak kawanan Zombie lagi. Dengan beberapa tembakan. Mereka juga harus menghemat amunisi. Kawanan zombie sudah mulai berkerumun di hadapan mereka. Tidak ada pilihan lain selain menembaki mereka, sambil terus mencari jalan keluar dari toko persenjataan. Bukan senjata yang mereka dapatkan. Namun, jadi umpanan monster pengigit yang akan menjadikan mereka seperti yang lainnya. Akhirnya setelah menikam bebarapa zombie yang menyerang mereka. Mereka menemukan jalan keluar dari toko senjata itu. Mereka langsung berlari menjauh dari kawanan Zombie. Lari secepat mungkin hingga para zombie tidak bisa menemukan jejak mereka. Xavier melihat sebuah rumah di depan. Ia langsung membawa Jessica masuk kedalamnya. Semoga saja rumah itu aman untuk sementara. Karena tidak mungkin mereka kembali ke terowongan bawah tanah di malam hari seperti ini. "Maaf," sesal Jessica saat mereka masuk kedalam rumah kosong. "Enggak perlu minta maaf, semuanya sudah terjadi. Sebaiknya kita harus menyisir tempat ini dulu. Karena kita juga tidak tahu, tempat ini aman atau tidak dari Zombie," ucap Xavier dengan nada ketus. Kesal? Pastinya, karena senjata yang harusnya menjadi milik mereka. Malah mereka tinggalkan karena panik melihat kawanan Zombie yang mulai masuk memenuhi toko. Untungnya tas berisi bius dan sampel kulit Zombie tidak ketinggalan. Sekarang tas itu yang lebig penting dari segalanya. Perut Xavier tiba-tiba berbunyi. Dia benar-benar sudah sangat lapar. Bagaimana tidak, mereka baru makan satu kali seharian ini. Tentu mereka akan lapar, ditambah stamina mereka yang terus di kuras karena terus-menerus di kejar kawanan Zombie. "Setelah melakukan penyisiran di tempat ini. Lebih baik kita cari makanan di rumah ini. Elo dan gue perlu makan. Kita butuh stamina," ujar Jessica. Xavier sama sekali tidak menghiraukan apa yang di katakan oleh Jessica. Jesicca tahu, Xavier pasti marah, karena kantong senjata yang sudah ia kumpulkan di toko senjata. Tertinggal begitu saja, akibat kecerobohan yang di perbuat oleh Jessica. Ya, Seperti simalakama. Sudah di kumpulkan, tapi dibuang begitu saja. Jessica memang pantas diabaikan seperti itu oleh Xavier. Jessica menemukan beberapa makanan di dapur rumah kosong itu. Memang hanya kue kaleng dan beberapa roti yang hampir busuk. Jessica hanya mengambil kue kalengnya saja. Setidaknya kue kaleng itu bisa mengganjal perut mereka yang lapar. "Kita bermalam di sini. Ingat jangan melakukan hal bodoh lagi!" Ujar Xavier dengan wajah yang dingin. "Maaf, baik. Gue akan lebih berhati-hati lagi. Sekarang makanlah ini. Gue tahu ini enggak akan mengenyangkan, tapi setidaknya ini bisa mengganjal perut kita sampai besok," Jessica menyerahkan satu kue kaleng pada Xavier. Dengan ragu Xavier meraihnya. Dia juga tidak mau pingsan karena kelaparan. Xavier juga butuh stamina untuk menghadapi hari esok. Siapa tahu, hari esok lebih berat lagi dari hari ini. Mereka masih harus mencari kendaraan untuk kembali ke terowongan bawah tanah. Tidak mungkin kan mereka ke toko persenjataan itu lagi, untuk mengambil mobil. Bisa saja besok mereka juga masih berkumpul di sana. Xavier mulai memakan kue kaleng yang diberikan oelh Jessica. Sepertinya, makanan apapun yang mereka temukan sekarang. Akan menjadi makanan terenak, karena mereka makan dalam keadaan lapar. "Maaf tadi gue bentak elo. Kita harus tetap hati-hati Jess, kita harus tingkatkan kewaspadaan. Kecerobohan hanya akan membunuh kita. Kita hampir mati barusan. Maaf kalau gue terlalu keras sama elo," sesal Xavier. Dia merasa tidak enak karena terus memarahi Jessica. Padahal Jessica juga tidak sengaja menembaki langit-langit toko persenjataan itu. "Iya, Xavier. Gue yang harusnya minta maaf. Gara-gara gue, kita harus kehilangan senjata yang sudah capek-capek kita kumpulkan. Gue janji akan lebih berhati-hati lagi," sesal Jessica. "Ya, sudah lupakan. Sekarang elo tidur di sofa aja. Biar gue yang tidur di karpet bawah. Ingat jangan kemana-mana. Kalau elo mau kemana-mana bangunkan gue. Kita harus tetap bersama-sama. Biar kita bisa saling melindungi." Diluar sikapnya yang keras kepala. Xavier memang selalu perhatian. Meski dengan memandang wajahnya yang dingin. Namun, Jessica merasakan. Kalau Xavier memang perhatian, ia perduli dan merasa tanggung jawab. "Ya, sebaiknya kita istirahat," Jessica mulai memejamkan matanya. Namun, ada pertanyaan yang mengganggu pikirannya. "Elo di mana saat wabah ini terjadi?" Tanya Jessica. "Sedang di rumah. Mau pergi ke laboratorium, tapi Mark gedor-gedor rumah gue. Mark kasih tahu ke gue, kalau laboratorium meledak. Dan orang-orang jadi aneh. Kulit mereka menghijau dan saling memakan satu sama lain. Awalnya gue pikir dia mengada-ada. Sampai gue putuskan untuk telepon profesor Felix. Beliau yang bilang kalau semua ini diakibatkan oleh virus zombie. Mungkin saja semua ini terjadi berasal dari ledakan laboratorium. Karena kita tidak akan tahu virus jenis apa ini. Ada yang sengaja atau tidak sengaja mencampurkan chemical satu dengan chemical lainnya. Dan terciptalah virus mengerikan ini," cerita Xavier panjang lebar. Baru kali ini Jessica benar-benar mendengarkan Xavier bercerita. "Ya, gue juga menduganya seperti itu. Gue curiga sih ini bukan tidak sengaja. Tapi ada yang mensabotase semua kekacauan ini. Entahlah, gue hanya bisa menerka-nerka." Xavier melirik ke arah Jessica. " Kalau elo? Elo lagi di mana saat wabah ini terjadi?" "Gue juga mau berangkat kuliah. Gue lihat adik, kakak, ayah dan ibu sedang ada di luar rumah. Ayah sedang motong rumput di bantu adik gue. Ibu sedang bercocok tanam sama kakak perempuan gue. Tiba-tiba datang para zombie itu dan mengigit semuanya. Gue bukannya nolongin mereka. Gue malah lari ketakutan. Gue bersembunyi selama berhari-hari. Gue masih berharap ini semua adalah mimpi buruk, saat gue terbangun. Semuanya akan kembali seperti sedia kala, tapi nyatanya. Semuanya sangat kacau. Sampai gue menemunkan kelompok ini. Gue di beri tahu beberpa informasi tentang zombie. Ternyata keluarga gue yang di gigit, semuanya sudah menjadi zombie," mata Jessica mulai berkaca-kaca. "Maaf, sepertinya gue salah menanyakan hal itu," sesal Xavier. "Enggak apa-apa. Semua orang pasti mengalami kehilangan kok. Dari situ gue mencoba kuat dan tegar. Dulu gue pernah belajar menembak. Enggak menyangka sama sekali. Kalau hal ini berguna sekarang. Gue paling di andalkan di kelompok. Karena hanya gue yang bisa menggunakan senjata. Mereka juga masih takut kalau harus menghadapi para zombie. Gue juga sebetulnya takut. Kalau semuanya takut, bagaimana kita bisa bertahan hidup? Gue harus berani demi mereka yang sudah menyelamatkan gue dari keterpurukan. Gue anggap semua Zombie yang gue hadapi adalah pembunuh keluarga gue," jelas Jessica. Satu tetes air mata terjatuh dari pelupuk matanya. Sepertinya ia tidak bisa menahan lagi kesedihannya. Perlahan Xavier mulai memeluknya. Jessica sepertinya memang membutuhkan pelukan dari Xavier. Sebetulnya Xavier menyimpan rasa pada Jessica sejak satu kelompok di mata kuliah profesor Felix. Namun, ia terlalu pengecut untuk mengakuinya. Apalagi disituasi seperti ini. Apa pantas ia mengakui perasaanya? Tidak, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana caranya menemukan vaksin. Agar kiamat ini cepat berakhir secepatnya. Xavier tahu betul bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Terlebih lagi secara mendadak seperti yang di alami Jimmy. Kecelakaan yang menewaskan Jimmy membuat Xavier sedikit frustasi. Meskipun Xavier tidak suka dibanding-bandingkan dengan Jimmy. Dan hidup dalam bayang-bayang Jimmy sebagai anak ilmuan ternama. Tetap saja Xavier terpukul saat tahu Jimmy meninggal. Xavier sudah penah kehilangan ibunya. Bahkan belum sekalipun sempat mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ibunya sudah meninggal duluan saat melahirkan Xavier. Meskipun Jimmy hanya memberikan kasih sayang yang sebatas cuti kerja saja. Namun, hal itu cukup membuat Xavier bahagia. Sejak lahir Xavier memang belum merasakan kasih sayang seorang ibu. Setidaknya Xavier pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Dan kasih sayang seorang kakak. Mark memang selalu berusaha jadi ayah dan ibu bagi Xavier. Namun, seorang kakak tetaah seorang kakak. Sulit menerima meskipun Mark berusaha menjadi pengganti ayah dan ibunya. Sifat Mark yang berantakan dan tidak disiplin malah membuat Xavier merasa sebal. Jauh dari mata seorang anak pada ayah dan ibunya. Tidak terbayangkan sama sekali, kalau Xavier ada diposisi Jessica. Kehilangan keluarganya didepan matanya. Jessica melihat sendiri para kawan zombie mengigit keluarganya satu per satu. Kalau Xavier melihat Jimmy dan Mark digigit zombie satu per satu. Pasti hatinya sangat hancur. Xavier pasti akan sangat sedih seperti Jessica saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD