Rasa Itu Masih Ada

1099 Words
Karenina membuka ponselnya. Pesan yang ia kirimkan sejak tadi malam masih tak terkirim. Ia mencoba menelepon, namun tak ada nada sambung. Sambungan terputus. "Ke mana kamu, Aidan?" Gumamnya, risau. Tak biasanya Aidan seperti itu. Apakah dia masih marah? Sejak kejadian di apartemen itu, Aidan tak pernah menghubunginya lagi. Bahkan sejak kemarin ia tak masuk kantor. Apakah ia sengaja menghindarinya? Tiba-tiba saja rasa sesal menyelinap dalam hati Karenina. "Nin, kata Bu Nora, Aidan sakit." Suara Danisa membuat Karenina mendongak. "Sakit apa?" Tanyanya cepat. Danisa menggeleng. "Bu Nora juga enggak tahu. Katanya Bu Miranda yang kasih tahu dia." "Mamanya?" "Iya!" Danisa mengangguk. Karenina mengerutkan kening. Sejak kapan Aidan membiarkan ibunya mengurusinya? Apakah mereka sudah berdamai? "Aku jenguk dia dulu deh, sebelum meeting sama Bu Sita," ucapnya. "Oke..." Danisa menatap bingung. Baru tiga hari lalu mereka bertengkar hebat, dan sekarang Karenina sudah merindukannya? Danisa menggelengkan kepala seraya berlalu pergi. ... Aidan perlahan membuka mata saat mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya. "Masuk!" teriaknya. Seorang wanita muda berseragam pelayan masuk dengan kepala tertunduk segan. "Maaf, Pak. Ibu meminta saya membangunkan Bapak. Sudah waktunya sarapan. Tadi Ibu kirimin makanan. Katanya dimakan dulu sebelum minum obat," ucapnya. Aidan menghela napas, lalu dengan dagunya menyuruh wanita itu keluar. Ia ingin kembali tidur, namun tiba-tiba kepalanya terasa sakit, membuatnya tak bisa memejamkan mata. Dengan kesal, ia melempar bantal dan merutuki sang Mama yang sudah memaksanya bangun. Apa Mama lupa bahwa ia sudah dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri? Apa keluarga barunya tak cukup menyibukkan Mama hingga harus mengganggu hidupnya? Gerutunya dalam hati. Ia menatap jam di meja kecil samping tempat tidur. Sudah pukul sepuluh pagi. Akhirnya, ia beranjak saat perutnya mulai menjerit kelaparan. Aidan menyeret langkah menuju meja makan di penthouse-nya yang super besar. Sarapan paginya sudah tersaji: sepiring buah-buahan potong, seteko teh lemon, dan semangkuk bubur putih dengan suwiran daging ayam dan telur rebus. Ia kembali menghela napas. Apa Mama juga lupa kalau ia tak suka bubur? Gerutunya. "Ratih!" Teriaknya memanggil sang pelayan. "Iya, Pak!" Ratih berlari menghampirinya. "Bikinin saya mi instan!" "Hah?" Ratih melongo menatapnya. "Maaf, Pak. Tapi kita enggak punya mi instan," sahutnya. "Ya, beli dong?!" Aidan menatap Ratih dengan mata melotot. "Tapi kata Ibu..." Ratih tak jadi melanjutkan ucapannya saat melihat wajah Aidan yang tak ingin dibantah. Ia tahu Aidan sengaja melakukan itu hanya untuk membuat sang Mama kesal. "Iya, Pak," angguknya patuh, lalu berlalu dari hadapan Aidan. Namun, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Ratih kembali berlari untuk membukanya. "Mbak Nina?!" Ia hampir terpekik melihat sosok yang datang. "Kamu di sini?!" Tanya Karenina tak kalah terkejutnya. "Iya, disuruh Ibu jagain Pak Aidan. Sekarang dia lagi sakit." Suara Ratih sedikit berbisik. "Pak Aidannya ada di dalam?" Ratih mengangguk. "Lagi tantrum di meja makan," bisiknya di telinga Karenina. "Tantrum kenapa?" Tanya Karenina, ikut berbisik. "Gara-gara dikirimin Bubur Ayam sama Ibu. Dia enggak mau makan. Terus saya disuruh beli mi instan." "Mi instan? Sejak kapan dia suka mi instan?" "Sejak tadi, Mbak. Dia memang sengaja mau bikin kesal Ibu sama sekalian ngerjain saya biar enggak betah di sini. Dari kemarin permintaannya aneh-aneh," gerutu Ratih. Karenina menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Enggak usah beli. Saya bawa makanan," ucapnya. "Untung Mbak Nina datang. Kalau enggak, bisa habis saya dimarahin Ibu." "Memangnya sekarang Ibu suka ke sini?" Ratih menggeleng. "Mana mau Pak Aidan ditengokin Ibu? Sejak enggak jadi nikah sama Mbak Nina, Pak Aidan kan, jadi stres. Ibu jadi ikut-ikutan stres juga. Tiap hari kirimin makanan tapi enggak pernah dimakan sama Bapak. Saya jadinya yang makan. Kasihan Ibu..." "Ratiiiih!! Siapa itu yang datang?" Tiba-tiba saja teriakan Aidan mengejutkan keduanya. Karenina lalu berjalan menghampirinya. Aidan tak bisa menyembuhkan wajah terkejutnya melihat kedatangan Karenina. Ia tak menyangka setelah kejadian di apartemen itu, Karenina masih mau menemuinya. Tiga hari sudah ia memikirkan kesalahannya, menyesali perbuatan yang telah menyakiti hati dan fisik Karenina. Rasa bersalah yang kini menggerogoti jiwa, hingga raganya ikut melemah. Ia dihantui penyesalan atas luka yang ia torehkan, sampai Karenina meluapkan amarah yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Kamu sakit apa?" Karenina bertanya lembut. Kedua matanya menyiratkan kekhawatiran yang tulus. "Aku... cuma kecapekan aja," jawab Aidan sambil tersenyum. Kehadiran Karenina seolah obat mujarab yang langsung menyembuhkan sakitnya. Seketika, nyeri di kepalanya mereda, perutnya tak lagi meronta, dan hatinya terasa ringan. "Kamu belum sarapan?" Karenina menatap makanan di atas meja yang masih utuh. Dan saat Aidan menggeleng, ia mengulurkan sebuah bungkusan yang dibawanya. "Aku bawain sandwich kesukaan kamu." Perhatian kecil dan makanan sederhana itu membuat hati Aidan bergetar. "Terima kasih!" Ucapnya singkat. Ia tak ingin berkata lebih banyak, takut kata-katanya akan kembali menyakiti hati Karenina. "Jadi kamu sakit dari kemarin?" tanya Karenina lagi. "Aku cuma butuh istirahat," sahut Aidan. Ia menatapi Karenina yang sedang menuang Teh Lemon, menambahkan madu, lalu mengaduknya. Setiap gerakan, setiap perhatian kecil itu, terasa seperti sentuhan penyembuh luka di hatinya. Ia tak butuh obat, cukup kehadiran Karenina seperti dulu, yang mengisi ruang dengan kehangatan dan kebaikan. Ketika Karenina mendekatkan wajah dan meletakkan telapak tangannya di kening Aidan untuk mengecek suhu, darah Aidan berdesir hebat. Wajah mereka begitu dekat, aroma Karenina memabukkan indranya. Ia ingin sekali menciumnya, mendekapnya erat, dan berbisik betapa ia merindukannya, menyesal, dan tak ingin dia pergi lagi. Namun ia menarik nafasnya saat tubuh Karenina menjauh, kembali ke kursinya. "Terima kasih sudah menjengukku," ucapnya dengan suara bergetar. "Tapi aku enggak bisa lama di sini. Aku ada lunch meeting di mall sama Bu Sita" ucap Karenina. "Enggak apa-apa. Aku juga mau ke kantor nanti," sahut Aidan. "Tapi kamu masih kelihatan pucat," suara Karenina terdengar khawatir. "Tapi aku udah enggak panas," jawab Aidan cepat, senyum tipis terukir di bibirnya. "Atau kamu mau ikut aku dulu sebelum ke kantor? Sekalian kita makan siang? Kamu 'kan belum pernah ketemu langsung Bu Sita?" Aidan menatap Karenina, ragu terpancar di matanya. Ia sebenarnya tak suka dengan urusan skin care yang baginya hanya membuat repot saja. Namun, ia tak ingin menolak. Ini adalah kesempatan baik untuk memperbaiki hubungan mereka, menunjukkan bahwa ia sudah berubah dan peduli. Karena kini ia kembali percaya bahwa asa itu masih ada untuknya. .. "Kamu beneran enggak mau ikut aku?" Tanya Bintang pada Naira yang tengah sibuk memasukkan perabotan dapur ke dalam sebuah kardus besar. Naira menggeleng. "Masak meeting aja ikut? Aku kan, lagi sibuk packing-packing," sahutnya. "Oke..." Bintang tersenyum lega. Ah, ternyata sekarang dia sudah benar-benar percaya padanya, gumamnya. Tadinya ia mengira bahwa Naira mencurigai kepergiannya ke Jakarta hanya untuk menemui Karenina. Tapi ternyata dugaannya salah. "Nanti aku bawain Ayam Bakar kesukaan kamu, ya?" Imbuhnya, seolah ingin menebus dosa atas prasangka buruknya. Naira mengangguk dengan senyum yang lebar. "Makasih, sayang!" Ucapnya seraya mengecup pipi Bintang. Dan Bintang kembali tersenyum. Ternyata dia memang benar-benar bosan di Malang, gumamnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD