Kembali

1497 Words
Karenina memcoba menahan senyum, melihat wajah Aidan yang masam, seperti anak kecil yang dipaksa menghadiri acara orang dewasa. Sesekali, Aidan memainkan ponselnya, mencari kesibukan. Dan sesekali ia hanya menatap sisa makanan di piringnya, seolah remah makanan di piring itu lebih menarik daripada presentasi di depannya. Karenina tahu, Aidan benci berada di tengah-tengah rapat dengan Bu Sita, pimpinan perusahaan marketing yang selama ini mebantu Chantika Skin Care. Namun, ia sengaja memaksanya ikut. Ia ingin Aidan tahu, bahwa bisnis skin care yang sering dia pandang sebelah mata itu tak semudah yang dipikirkannya selama ini. Ada begitu banyak tahapan rumit, detail yang tak terhitung, dan pengorbanan waktu serta energi yang tak pernah Aidan rasakan di perusahaan properti miliknya. Karena perusahaan properti yang dipimpinnya bersama sang Ayah itu bahkan sudah besar dan mapan sebelum Aidan lahir. "Jadi, bagaimana Pak Aidan, setuju dengan usulan saya?" Suara Bu Sita yang ramah namun lugas membuyarkan lamunan Aidan. Dengan malas, Aidan mengangkat wajahnya, lalu mengangguk acuh tak acuh, seolah tak peduli apa pun yang dibahas. Bu Sita tersenyum maklum. Wanita paruh baya itu sudah sering mendengar ‘drama’ Aidan. "Kalau begitu, semua sudah beres. Nanti saya akan kirimkan orang untuk berdiskusi lebih lanjut dengan Bu Nina." "Siapa orangnya?" Tiba-tiba saja Aidan bersuara, nadanya berubah serius. "Untuk saat ini saya belum bisa memutuskan, Pak. Saya akan diskusikan dulu dengan tim siapa yang punya ide sesuai dengan keinginan Bu Nina," sahut Bu Sita, masih dengan ketenangan yang sama. "Bukan Bintang, kan?" Aidan mengejar, sorot matanya menajam. "Aidan?!" Karenina terkesiap, menatap Aidan dengan mata membelalak tak percaya. "Kami bekerja dalam tim, Pak. Dan anggota tim kami banyak, bukan hanya Bintang," sahut Bu Sita tenang, senyumnya sedikit mengembang. "Oh, jadi sebenarnya dia masih kerja di perusahaan Bu Sita?" Tiba-tiba Aidan menegakkan punggungnya, menatap wanita itu tajam. Namun, Bu Sita kembali menanggapinya dengan tenang. Ia sudah hafal sifat Aidan. "Maaf, Pak Aidan. Saya belum bisa melepasnya. Kami masih membutuhkan dia. Tapi akan saya pastikan bahwa dia tidak akan menangani lagi proyek Chantika Skin Care. Dan Pak Aidan tidak perlu khawatir. Sekarang dia tinggal jauh di luar kota. Dan bekerja dari rumah." Jawaban Bu Sita membuat wajah Aidan terlihat sedikit lega. "Maaf. Saya hanya ingin memastikan saja." Bu Sita tersenyum penuh pengertian. "Saya mengerti." "Emm... Saya rasa pertemuan kita kali ini sudah cukup, Bu? Bu Sita juga ada meeting lagi, kan, dengan klien yang lain?" Karenina menatap Bu Sita, memberikan isyarat agar pertemuan itu segera diakhiri. Bu Sita mengangguk paham. "Kalau begitu saya pamit duluan," ucapnya, lalu beranjak pergi. Sesaat Bu Sita menghilang dari pandangan, Karenina tak bisa lagi menahan emosi di dadanya. "Kamu memang enggak pernah belajar dewasa, Aidan!" Ditatapnya Aidan dengan mata melotot. "Kamu selalu saja mencampuradukkan pekerjaan dengan urusan pribadi!" "Loh, bukannya dulu kamu yang memulai?" Sahut Aidan, tak kalah kesal. "Itu sudah berlalu, Aidan! Kenapa kamu masih mengungkitnya?" "Karena aku tahu kamu masih mencintainya!" Jawaban itu membuat Karenina terdiam seribu bahasa. Andaikan Aidan tahu betapa ia sangat membenci Bintang saat ini... Tapi ia tak ingin Aidan tahu. Ia tak ingin memberinya harapan di saat ia belum siap untuk menerimanya kembali. Namun, ia juga tak ingin melihat kedua mata Aidan kehilangan asa. Karena hatinya kini sangat rapuh. Ia tak ingin melihat Aidan kembali jatuh sakit karena memikirkan hubungan mereka. "Aku hanya enggak suka kamu menyebut namanya di saat aku sedang berusaha melupakannya," ucapnya lirih. Mendengar itu, wajah Aidan berubah. Kelegaan terpancar jelas di kedua matanya, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. "Kamu mau pulang sekarang? Aku harus ke kantor," tanyanya dengan suara lebih lembut. Dan saat Karenina mengangguk, ia segera mengulurkan tangannya, menggandengnya keluar dari restoran. Namun, tanpa mereka sadari dari sudut sebuah kafe yang tersembunyi, Bintang menatap keduanya dengan sorot mata tak percaya. Hatinya meradang, benaknya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan. Mengapa Karenina kembali pada Aidan? Apa laki-laki itu sudah memaksanya? Tapi mengapa Karenina tampak begitu bahagia? Mereka saling bergandengan tangan, seolah tak ada apa pun yang pernah terjadi. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mengapa Karenina berubah begitu cepat? "Bintang...?" Suara Bu Sita menyadarkan Bintang dari lamunannya. "Maaf, Bu!" Ucapnya seraya buru-buru memalingkan wajah. "Menjauhlah dari mereka, Bin. Saya tidak mau kehilangan pelanggan." Bu Sita berbisik, matanya melirik ke arah Aidan dan Karenina yang mulai menjauh. "Maaf, Bu, saya cuma kaget," gumam Bintang, pipinya memerah. Bu Sita menghela napas panjang. "Itulah mengapa kita tidak boleh mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan," ucapnya, seperti sebuah nasehat. Bintang hanya bisa tersenyum malu mendengarnya. Seperti semua orang di kantornya, Bu Sita pun mengetahui tentang hubungan mereka yang penuh drama. Dan itu pula lah yang membuat Bu Sita memintanya untuk bekerja dari jauh, mengira jarak akan menyembuhkan segalanya. Tapi keadaan justru tak semakin membaik. Seolah semua yang dilakukannya menjadi sia-sia. Untuk apa Karenina meninggalkan pernikahan jika hanya untuk kembali pada Aidan? Apakah laki-laki itu telah memaksanya? Atau mengancamnya kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, membelit benaknya. "Oh ya, Bin. Mulai sekarang kamu sudah tidak menghandle proyek Chantika Skin Care lagi." Bu Sita tiba-tiba mengubah topik. "Maksudnya, Bu?" Bintang mengerutkan kening. "Kamu sudah tidak boleh berhubungan lagi dengan perusahaan mereka." "Tapi selama ini saya memang sudah menjaga jarak, Bu. Saya tidak berhubungan langsung dengan mereka, tapi lewat Danisa." "Tapi sekarang sudah tidak boleh lagi, Bin. Sama sekali!" Bu Sita menatap Bintang dengan sungguh-sungguh, nada bicaranya tak terbantahkan. "Apa Aidan yang memintanya?" Ada nada amarah dalam suara Bintang. Bu Sita menggeleng. "Karenina," sahutnya, singkat. Jawaban itu membuat Bintang terpaku, "Tapi... kenapa, Bu?" Tanyanya tak percaya, suaranya nyaris berbisik. Bu Sita kembali menggeleng. "Kita tidak perlu tahu alasannya. Kita hanya bekerja untuk mereka. Apa pun yang mereka minta, kita harus mengikutinya." Bintang terdiam. Pikirannya berputar-putar. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan Karenina darinya. Dan ia akan mencari tahu jawabannya. Ia tak percaya Karenina sengaja menjauh darinya dan memilih kembali pada Aidan. Pasti laki-laki itu telah mengancamnya, atau melakukan sesuatu yang kejam. Bintang mengepalkan tangannya. ... Dalam keheningan siang yang mendung, mobil Bintang berhenti di depan gerbang rumah yang terkesan dingin. Belum sempat ia menekan bel, sesosok pria muda tergopoh-gopoh menyambutnya dengan senyum canggung. "Mas Bintang?!" serunya. "Sendirian, Mas?" Tanyanya lagi, seraya mendorong pintu pagar besi hingga terbuka. "Sama Naira, tapi dia lagi sibuk packing barang," sahut Bintang singkat. "Oh… kebetulan Bapak juga baru datang, Mas," ujar pria itu, nadanya sedikit hati-hati. Ucapan itu membuat mata langkah Bintang terhenti, seolah kakinya terpaku di tanah. "Dia baru balik berlayar?" Tanyanya, suaranya tercekat. "Iya, Mas. Semalam," jawab pria itu, menunduk. Dengan langkah yang mendadak terasa hampa dan berat, Bintang menyeret kakinya masuk ke dalam rumah. "Kamu datang, Bin?" Suara berat itu memecah kesunyian, disusul kemunculan seorang pria paruh baya di ruang tamu. Ada gurat lelah di wajahnya, namun tatapannya masih menyimpan otoritas yang tak pudar. Bintang hanya mengangguk, tanpa kata, tanpa emosi. Ia meneruskan langkahnya, melewati pria itu seolah tak ada. "Papa mau bicara!" Suara itu mengeras, memerintah. Akhirnya Bintang memutar tubuhnya, rahangnya mengeras. "Mau bicara apa, Pah?" Tanyanya dengan nada acuh. "Duduk dulu. Ada yang mau Papa tanyakan." Dengan enggan, Bintang menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu di hadapan pria itu. Suara gesekan kursi terdengar memilukan, seolah mencerminkan retaknya hubungan mereka. "Apa hubunganmu dengan istrimu baik-baik saja?" Pertanyaan itu membuat Bintang terkejut. Dari mana pria ini tahu? Apakah orang tua Naira menceritakan persoalan mereka? Sebuah perasaan kesal menyeruak, namun ia enggan untuk bertanya. Ia pun menjawab dengan anggukan kaku. "Jawab yang jujur, Bintang. Papa ingin tahu dari mulutmu sendiri. Apa kamu pernah mengkhianati istrimu?" Desakan itu membuat Bintang tak tahan untuk bertanya. "Apa orang tua Naira yang menceritakannya?" Tatapan matanya menajam, penuh selidik. Dan pria itu pun mengangguk, tatapannya sedikit melunak. "Selama kamu di Malang Papa sering menghubungi Ayah mertuamu untuk menanyakan kabarmu. Dan Papa tidak percaya kamu mengkhianati istrimu." Mendengar itu, sebuah senyum sinis terukir di bibir Bintang. "Oh. Papa takut aku mengikuti jejak Papa? Mengkhianati Mama berkali-kali? Jangan takut, Pah. Semua sudah baik-baik saja. Aku tidak akan meninggalkan istriku," jawabnya, suaranya dipenuhi duri. "Papa tidak pernah meninggalkan Mamamu, Bintang! Kamu tahu itu!" Tiba-tiba saja suara pria itu pecah di udara. Tapi Bintang tak gentar. Ia menatap Sang Papa dengan nyala dendam membakar di matanya. "Lalu Papa di mana saat Mama sakit dan meninggal dunia?" "Kamu terus saja mengungkitnya!" Pria itu bangkit dari duduknya, tangannya terkepal. "Karena Papa tidak pernah mau menjawabnya!" Bintang membalas, suaranya tak kalah keras. "Papa ini Nahkoda, Bintang. Pekerjaan Papa yang mengharuskan Papa jarang pulang." "Dan Papa terus saja membela diri. Kenapa tidak katakan saja terus terang kalau saat itu Papa sedang bersama wanita lain. Semua orang sudah tahu, Pah. Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulut Papa!" Tanpa menunggu jawaban, Bintang lalu kembali melangkah, menaiki anak tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Langkahnya keras. Seolah setiap langkah adalah penegasan jarak yang terbentang di antara mereka. Dan di dalam kamarnya, Bintang menahan air matanya agar tak keluar. Ia menghela napasnya berulang kali, mencoba menenangkan badai di hatinya. Rasa benci itu semakin membelenggu, mengikatnya kuat pada kenangan pahit yang tak pernah terhapus. Dialah, sang Ayah, yang selama ini membuatnya enggan untuk kembali pulang, ke tempat yang seharusnya terasa seperti rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD