Ingin Bertemu

1521 Words
Danisa melangkah setengah berlari, napasnya memburu tipis, menembus lorong dan meluncur ke halaman parkir belakang gedung kantor yang lengang. Matanya mencari-cari, hingga akhirnya tertumbuk pada siluet mobil putih yang sudah dikenalnya. Tanpa ragu, ia membuka pintu dan melesak masuk ke dalam. Di balik kemudi, Bintang menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku nggak bisa lama, Bin," ucap Danisa, suaranya sedikit terengah. "Nanti dicariin Nina." Ia melirik arloji, merasa dikejar waktu. Bintang menggeleng, sorot matanya serius. "Enggak akan lama, Sa. Aku cuma mau tanya sesuatu." Ia menurunkan kaca jendela, membiarkan semilir angin sore masuk ke dalam kabin. Danisa mengerutkan kening. "Mau tanya apa, sih? Sampai harus ketemuan segala? Kayak mau transaksi rahasia aja!" Ada nada jengkel, bercampur rasa ingin tahu dalam suaranya. "Karena aku mau kamu jawab sejujurnya," tegas Bintang, tatapannya tak bergeser. "Jawab apa?" Danisa balik menatap, jantungnya berdegup entah kenapa. Bintang mencondongkan tubuh sedikit, menatap Danisa dengan sorot mata yang dalam, seolah ingin membaca setiap pikiran di baliknya. "Apa Nina balikan lagi sama Aidan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa basa-basi. Seketika, Danisa tergelak. "Ya, Tuhaaan! Jadi kamu cuma mau tanya itu sampai seribet ini? Sudah kayak mau transaksi narkoba saja!" Ia menggeleng-gelengkan kepala, tawa kecil masih tersisa di bibirnya. "Ini penting buatku, Sa!" Suara Bintang tercekat, wajahnya mengeras. Danisa menghela napas panjang, senyumnya meluntur. Ia tahu Bintang serius. "Memangnya kamu tahu dari mana mereka balikan?" "Aku lihat mereka berdua meeting sama Bu Sita kemarin," jawab Bintang cepat, nada suaranya sedikit mengandung tuduhan. "Ya ampun, Bin. Meeting berduaan itu kan wajar? Mereka kan sama-sama pemilik perusahaan?" Danisa mencoba menenangkan, meskipun ia sendiri merasakan keraguan yang sama. "Tapi mereka kelihatan mesra, Sa," Bintang berargumen, matanya menyipit. "Mereka jalan sambil bergandengan tangan. Enggak mungkin kalau hanya sekadar hubungan kerja." Suara kecemburuan itu tak bisa disembunyikan. Danisa tersenyum menggoda. "Kamu cemburu, ya?" Wajah Bintang mendadak memerah. Ia mengalihkan pandangan, berpura-pura melihat ke luar jendela. "Aku kan cuma tanya..." gumamnya. "Aidan memang kepingin balikan," Danisa akhirnya mengakui, mengubah nada suaranya menjadi lebih serius. "Tapi Nina lagi mau fokus dulu sama perusahaan. Dia belum bisa memikirkan yang lain." "Tapi kelihatannya mereka mesra begitu?" Bintang menatap tak percaya, pandangannya kembali menuntut jawaban. "Kamunya aja kali yang cemburu..." Danisa kembali menggoda, kali ini dengan senyum penuh arti. "Aku serius, Sa. Aku kenal Nina. Dia enggak akan begitu kalau hanya sekadar hubungan biasa," tegas Bintang, tatapannya kembali lurus pada Danisa, penuh keyakinan. Danisa menatap Bintang dengan ragu, memikirkan setiap kata yang akan ia ucapkan. "Sejujurnya aku juga enggak tahu perasaan Nina yang sebenarnya sama Aidan. Tapi yang aku tahu, Aidan sedang berusaha keras untuk berubah demi Nina." Mata Bintang sedikit melebar. "Berubah kayak apa?" "Dia lagi berusaha menyembuhkan dirinya agar tak lagi menyakiti Nina. Sekarang dia sering konsultasi ke psikolog dan ikut terapi untuk mengontrol emosinya," jelas Danisa. "Oh ya?" Bintang menatap, terkejut. Danisa mengangguk membenarkan. "Apa dia akan bisa berubah semudah itu?" Ada nada skeptis dalam pertanyaan Bintang. Danisa mengedikkan kedua bahunya, ekspresinya realistis. "Yang jelas Nina enggak akan kembali sebelum dia berubah. Nina sudah terlalu banyak terluka." "Jadi dia memang berniat untuk kembali?" Suara Bintang terdengar rapuh, seolah ada harapan yang baru saja dihancurkan. "Apa salahnya dia kembali kalau memang Aidan bisa berubah? Semua orang berhak punya kesempatan kedua," jawab Danisa. Sejenak, keheningan menyelimuti mobil. Bintang menatap ke depan, pikirannya berkelana. Lalu, bibirnya kembali berucap, lebih pelan. "Apa kamu percaya Aidan enggak akan menyakiti Nina lagi?" "Aku percaya orang bisa berubah, Bin." Danisa menyentuh bahu Bintang, tatapannya meyakinkan. "Dan kalau memang Nina mau kembali setelah Aidan berubah, aku akan mendukungnya." "Tapi apa kamu yakin dia akan bahagia kalau sampai menikah dengannya?" Suara Bintang bergetar, seolah pertanyaan itu adalah beban berat di hatinya. "Bin..." Danisa menatapnya sungguh-sungguh, menyingkirkan keraguan di mata Bintang. "Jangan khawatirkan dia lagi. Sekarang dia lebih kuat dari yang kamu kira. Dia akan baik-baik saja." Bintang menarik napasnya dalam-dalam, paru-parunya terasa sesak. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang menghilang dari hatinya, seolah ada potongan puzzle yang tak akan pernah bisa ditemukan lagi. Sebuah rasa hampa yang menyakitkan. "Lupakan dia, Bin..." Suara Danisa lembut, seolah membaca isi hati Bintang. "Bisakah aku bertemu dengannya sekali saja, Sa?" Tatapan Bintang mengiba. Tapi Danisa menggeleng pelan, ekspresinya menyesal. "Please, Sa... Aku enggak bisa menghubungi dia tanpa bantuan kamu. Dia menutup semua akses komunikasi." Bintang kembali menatap penuh harap. "Tapi buat apa, Bin? Dia udah enggak mau berhubungan lagi sama kamu." "Aku cuma ingin mengucapkan perpisahan untuk terakhir kali. Untuk mengakhiri semuanya dengan baik." "Tapi dia sudah enggak mau ketemu kamu lagi, Bin." "Tolong bujuk, Sa!" Nada suara Bintang putus asa. "Enggak bisa, Bin..." "Please, Sa... sebelum aku kembali ke Malang. Biarkan kami mengakhiri hubungan ini dengan baik-baik. Biar aku juga bisa menjalani hidupku dengan tenang." Bintang menatap Danisa dengan mata berkaca-kaca, seluruh tubuhnya memancarkan keputusasaan. Melihat wajah Bintang yang pilu dan penuh harap, Danisa pun tak tega untuk menolaknya. Sebuah helaan napas berat keluar dari bibirnya. "Aku akan coba bicara," ucapnya pelan. "Tapi jangan terlalu berharap dia akan mau. Aku enggak bisa memaksanya." Bintang mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Terima kasih, Sa," ucapnya tulus. ... Di dalam ruang kerjanya, Karenina menatapi layar ponsel di tangannya. Menunggu nada sambung dari nomor yang diputar. Namun, tak ada sahutan yang terdengar. Ia menghela napas, lalu menekan interkom di atas mejanya. "Sa, tolong tanyain ke Bu Nora apa Aidan ada di kantor? Ponselnya kok, enggak bisa dihubungi dari pagi?" Tak lama kemudian, pintu ruangannya terbuka dan Danisa masuk, membawa kabar yang tak terduga. "Aidan enggak masuk, Nin. Katanya sakit," ucapnya, nadanya sedikit khawatir. "Sakit lagi?" Karenina mengerutkan keningnya, ekspresinya berubah menjadi cemas. "Katanya kemarin dia di kantor sampai malam. Mungkin kecapean?" Karenina menghela napas panjang, mengingat betapa tak teraturnya hidup Aidan sejak mereka berpisah. Dia cenderung membenamkan diri dalam pekerjaan, sering melewatkan makan, dan mengabaikan kesehatannya. "Nanti aku akan jenguk dia, pulang kantor," ucapnya. Wajahnya serius, seolah itu adalah sebuah kewajiban. "Oh ya, Nin, hmm... apa Bintang pernah hubungi kamu? Maksudku baru-baru ini?" Danisa bertanya, nadanya sedikit hati-hati. Karenina mengangkat wajahnya, tatapannya menajam. "Buat apa? Aku kan sudah bilang enggak mau lagi berhubungan sama dia?" Tukasnya, suaranya dingin dan tegas. "Kamu benar-benar enggak mau lagi ketemu sama dia?" Danisa mencoba lagi, demi janjinya pada Bintang. Karenina menatap Danisa lekat-lekat, membaca ekspresi sahabatnya. "Apa dia yang meminta kamu?" Tanyanya, intonasinya penuh selidik. Danisa akhirnya mengangguk, mengakui. "Dia lagi ada di Jakarta. Dia minta tolong membujuk kamu buat ketemu sama dia untuk yang terakhir kalinya." "Untuk yang terakhir kalinya?" Karenina menatap tak percaya, ada gejolak aneh di dadanya. Jadi Bintang benar-benar ingin menutup kisah mereka dan melupakan dirinya? Pikiran itu entah mengapa terasa begitu menyakitkan. "Dia mau mengakhiri hubungan dengan baik-baik," jelas Danisa, suaranya melembut. "Mengakhiri hubungan dengan baik-baik?" Suara Karenina tiba-tiba pecah oleh kemarahan yang bercampur luka. "Kenapa dia baru muncul sekarang? Ke mana dia waktu aku meninggalkan pernikahanku? Kenapa dia malah menghilang? Dan kenapa baru sekarang dia berpikir untuk bicara sama aku baik-baik?" Pertanyaan-pertanyaan itu penuh kepedihan yang terpendam. Danisa menatap Karenina tanpa mampu berkata lagi. Ia sudah menduga sahabatnya itu tak akan mau bertemu dengannya. Luka yang Bintang torehkan terlalu dalam. "It's ok kalau kamu enggak mau ketemu dia. Nanti aku akan sampaikan," ucapnya, sebelum kemudian berlalu pergi, meninggalkan Karenina sendirian dengan badai perasaannya. Karenina menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak di hatinya. Apa sebenarnya maumu, Bin? Apa kamu ingin mempermainkan hatiku lagi? gumamnya dalam hati, matanya menerawang jauh. ... Karenina membuka pintu apartemen Aidan, suara klik kunci memecah keheningan. "Aidan?" Panggilnya pelan, melangkah masuk ke dalam. Namun, tak ada sahutan. Hanya sunyi yang menyambut. Karenina pun melangkah menuju sebuah kamar dengan pintu yang tertutup rapat. Perlahan, ia membuka pintu itu. Tampak Aidan tengah tertidur pulas di ranjang, masih mengenakan piyama. Di atas meja di samping tempat tidurnya, tergeletak sebotol obat dan segelas air minum yang menyisakan sedikit jejak. Karenina menghela napas, rasa cemas menyelimuti hatinya. Ia pun lalu menyelimuti tubuh Aidan dengan selimut yang longgar, memastikannya nyaman, sebelum kemudian melangkah keluar kamar. Di atas meja makan, Karenina menatapi sisa makanan dalam boks karton yang tak habis dimakan, terlihat seperti bekas makanan takeaway. Selain itu, tak ada makanan lain yang tersedia. "Ke mana Ratih?" Gumamnya, seraya berjalan ke sebuah kamar yang terletak di belakang dapur, kamar khusus pelayan. "Ratih?" Panggilnya. Namun, kamar itu sudah kosong, rapi dan tak berpenghuni. Aidan pasti sudah menyuruhnya pulang ke rumah Mamanya. Karenina menggeleng-gelengkan kepalanya. Aidan memang sangat introvert, terlalu individualis. Dia tak suka ada orang lain yang tinggal bersamanya, bahkan seorang pelayan sekalipun. Dia memang merasa tak membutuhkannya, karena gedung apartemen yang ditempatinya itu sudah menyediakan housekeeper yang merapikan dan membersihkan apartemennya setiap hari. Dan untuk urusan makan, ia terbiasa makan di luar, di restoran, atau memesannya lewat aplikasi. Sebuah bayangan masa lalu melintas di benaknya. Dulu, ketika mereka masih bersama, ia sering membuatkan makanan untuk Aidan. Bukan sekadar mengisi perut, melainkan menghadirkan kehangatan dan perhatian. Aroma masakannya selalu mengisi apartemen yang dingin ini dengan kehangatan. Karenina menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Waktunya makan malam. Ia menghela napas, memutuskan untuk membuatkan saja makanan untuk santap malam mereka, setidaknya untuk mengisi perut Aidan yang tampak begitu ringkih. Mungkin sup hangat atau sesuatu yang sederhana dan nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD