Berdiri di depan rumahnya, Karenina menunggu Rifan dengan tak sabar. Jantungnya berdebar, ingin segera mengetahui kebenaran di balik kiriman misterius itu. Dan saat akhirnya pria itu menampakkan diri, ia pun berlari kecil memanggilnya, "Mas Rifan!"
"Pasti mau tanya tentang Pak Adi, kan?" Tebak Rifan sambil tersenyum geli.
"Iya, gimana, Mas? Bener enggak dia yang kirimin buah dan kue itu?" Karenina bertanya tak sabar.
Rifan lalu menggeleng. "Katanya bukan."
"Beneran?"
Rifan mengangguk. "Kalau enggak percaya, tanya saja langsung ke orangnya."
"Kalau bukan dia, terus siapa?" Karenina mendesak, frustrasi.
"Saya yakin itu tunangannya Mbak Karin."
"Tapi enggak mungkin..." Karenina menyangkal cepat.
"Loh, kenapa enggak mungkin? Memangnya lagi ada masalah?" Rifan menatap dengan wajah serius, seolah bisa membaca keraguan di mata Karenina.
"Enggak..." Elak Karenina, cepat-cepat mengalihkan pandangan. "Mm, memangnya Pak Adi itu orangnya kayak gimana, sih?" Sebuah rasa penasaran yang aneh merayap di hatinya.
"Penasaran, yaaaa?" Goda Rifan, senyum usil terlukis di bibirnya.
Karenina tersenyum malu. "Cuma kepingin tahu aja..."
"Orangnya sih, masih muda, ganteng, dan kelihatan banget tampang bos-nya."
"Oh ya?" Mata Karenina membulat tak percaya.
"Iya. Tapi dia enggak mau kenalan sama Mbak Karin."
"Hah?! Dia bilang begitu?" Karenina terperangah.
Rifan mengangguk, menahan senyum. "Sorry, ya, Mbak..."
"Uuuh, siapa juga yang mau kenalan sama dia? Ge-er banget!" Sungut Karenina kesal. "Mas Rifan tanyain enggak, kenapa dia suka ngintipin saya dari jendela?"
"Loh, katanya Mbak Karin yang suka ngintip dia?"
"Hah?!" Dia bilang begitu?" Wajah Karenina seketika memerah, antara malu dan marah.
"Bahkan katanya Mbak Karin yang suka mengintip ke teras rumahnya," imbuh Rifan dengan wajah yang dibuat serius, menahan tawa.
Karenina menatap Rifan dengan mata terbelalak. "Kok, dia tahu?" Tanyanya, merasa terpojok.
"Dia kan, pasang cctv di depan rumahnya?"
Seketika Karenina menoleh ke arah rumah itu. Tampak sebuah kamera kecil terpasang tepat di atas pagar rumah, nyaris tersembunyi. Uh, bodoh sekali, kenapa ia tak melihatnya? Gerutunya dalam hati.
Dan Rifan pun akhirnya pecah dalam gelak.
"Kok, Mas Rifan malah ketawa?" Sungut Karenina dengan kesal.
"Mbak Karin enggak usah curiga sama Pak Adi. Dia orang baik. Mbak Karin pasti kaget kalau lihat orangnya."
"Maksudnya?" Karenina mengerutkan kening.
Rifan menjawab dengan senyum penuh arti, senyum yang mengandung seribu rahasia. "Saya berangkat kerja dulu, ya, Mbak?" Ucapnya sambil menyalakan mesin motor lalu berlalu pergi.
Karenina menatap kepergian Rifan dengan wajah penuh tanya. Apa maksudnya? Jangan-jangan Pak Adi itu beneran Aidan? Sebuah firasat buruk merayapi hatinya.
...
Aidan menatapi sebuah foto di layar ponselnya sambil tersenyum getir. Di sana, di jari manis Karenina, melingkar cincin pertunangan mereka. Ternyata kamu masih mengenakan cincin itu, Nin, lirihnya dalam hati. Aku tahu kamu masih mencintaiku. Kamu masih sendiri. Kamu tidak bersama dengannya. Lalu untuk apa kamu pergi? Pertanyaan itu adalah siksaan yang tak berujung baginya.
"Sudah sampai, Pak!"
Suara sopirnya terdengar bersamaan dengan pintu di sampingnya yang terbuka. Aidan menutup layar ponselnya, menyembunyikan senyum sendu itu, lalu bergegas keluar dari dalam mobil. Namun, tiba-tiba saja sebuah suara mengejutkannya, membuat jantungnya mencelos.
"Jadi selama ini kamu....?!"
Aidan menoleh ke belakang. Tampak di sana Karenina, berdiri mematung, menatapnya dengan mata terbelalak lebar, diliputi keterkejutan dan kemarahan. Seketika ia tersadar, ia lupa mengenakan hoodie-nya yang biasa ia pakai untuk menyembunyikan identitas. Tamatlah riwayatnya.
"Kamu juga kan, yang mengirimiku buah dan kue itu?" Karenina melanjutkan tuduhannya, suaranya bergetar.
Aidan hanya menatapnya tanpa kata, membiarkan keheningan yang tegang menyelimuti mereka.
"Buat apa kamu tinggal di sini Aidan? Untuk memata-mataiku?" Kedua mata Karenina menatap tak percaya.
Tapi Aidan masih enggan untuk menjawab. Ia membiarkan Karenina meluapkan amarahnya, agar ia bisa berlama-lama menatapi wajahnya. Wajah yang begitu dirindukannya. Wajah yang membuatnya nyaris gila dan putus asa sejak dia meninggalkannya. Wajah yang kini dipenuhi kekecewaan.
"Buat apa Aidan?" Karenina menatapnya dengan wajah putus asa. Seputus asa harapan yang kini sirna untuk memulai hidup baru tanpanya, jauh dari bayang-bayang Aidan.
"Bisa kita bicara di dalam?" Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Aidan, suaranya serak.
Tapi Karenina menggeleng, menolak tegas.
"Aku enggak akan menyakitimu, Nin... Atau kamu mau aku ke rumahmu?" Pinta Aidan dengan wajah memohon.
Karenina menatap dengan ragu. Pandangannya beralih pada Sang Supir yang tertunduk di balik pagar, merasa canggung dengan situasi itu.
"Pak Adi jangan pergi dulu," perintah Aidan pada Sang Supir, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak sendirian dengan Karenina di dalam rumah.
Karenina menatap pada Pak Adi. Ooh, ternyata Aidan menggunakan namanya, gumamnya dalam hati.
"Please, Nin... Aku enggak akan menyentuhmu," Aidan kembali memohon, tatapannya penuh penyesalan.
Dan akhirnya Karenina pun melangkah masuk dengan berat.
Aidan membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan membiarkannya tetap terbuka saat mereka masuk ke dalamnya, sebagai jaminan bahwa ia tidak akan melakukan hal yang ditakutkan Karenina.
"Untuk apa kamu mengikutiku, Aidan?" Ucap Karenina sambil menggenggam kedua tangan di depan tubuhnya, berusaha menutupi cincin di jari manisnya.
"Duduk dulu, Nin. Kamu terburu-buru sekali," senyum Aidan, sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa panjang yang merupakan satu-satunya kursi yang ada di ruang tamu itu.
Tapi Karenina bergeming. Ia tak ingin duduk di sampingnya. Bukan karena takut Aidan akan menyakitinya. Tapi karena takut Aidan akan menyadari ia masih mengenakan cincin pertunangan mereka yang terlambat ia lepaskan. "Untuk apa, Aidan?" Tanyanya lagi, suaranya lebih tegas.
"Aku hanya ingin menjagamu..."
"Aku bukan anak kecil. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Tapi aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kamu tinggal di rumah sempit itu sendirian. Ini perumahan kecil dan sepi, jauh dari mana-mana. Kamu enggak biasa hidup di tempat seperti ini, Nin." Wajah Aidan terlihat begitu khawatir, seolah Karenina hidup di sebuah negeri antah berantah yang asing dan berbahaya.
"Kamu lupa kalau aku pernah tinggal dalam kamar kos yang kecil?" Karenina mengingatkan, tatapannya menantang.
Aidan menghela napasnya. "Aku hanya takut kamu kenapa-napa. Apalagi kamu enggak punya teman di sini."
"Sejak kapan kamu mengkhawatirkanku enggak punya teman?" Karenina menyindir, pedas.
"Kembalilah, Nin..."
"Kita sudah putus, Aidan."
"Tapi kamu masih memakai cincin itu..."
Karenina terdiam. Perlahan ia pun melepaskan genggaman tangannya. "Aku belum sempat mengembalikannya. Ini cincin mahal, aku takut hilang kalau disimpan," dustanya, berharap Aidan percaya.
Aidan mencoba menahan senyumnya. Ia tahu Karenina berbohong. Ada kelegaan yang menyelinap di hatinya.
"Tinggalkan aku sendiri, Aidan."
"Aku enggak bisa, Nin."
"Tapi kamu enggak berhak lagi mengatur hidupku sesukamu."
"Aku hanya berusaha menjagamu!"
"Tapi kita sudah enggak punya hubungan apa-apa, Aidan! Lihat, aku akan melepaskan cincin ini." Karenina menarik cincin yang melingkar di jari manisnya itu. Tapi... kenapa susah sekali? Ia pun lalu berusaha menariknya dengan paksa, namun cincin itu tetap tak mau terlepas, seolah menyatu dengan kulitnya.
Dan Aidan hanya menatapnya sambil tersenyum, tahu perjuangan Karenina sia-sia. "Jangan dipaksa. Nanti jarimu bisa terluka."
Akhirnya Karenina berhenti mencoba, napasnya memburu. Ditatapnya Aidan dengan kesal, matanya menyala.
"Biarkan aku sendiri, Aidan," pintanya dengan wajah putus asa.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di tempat seperti ini."
"Tapi aku enggak mau kamu jaga!"
"Oke, aku enggak akan menjaga kamu. Tapi aku juga berhak hidup di mana saja. Enggak ada yang bisa melarangku untuk tinggal di rumah ini!" Aidan membalas, suaranya tegas, namun tatapannya masih memohon.
Karenina menatap Aidan dengan geram. Keterlaluan sekali! Untuk apa ia bersusah payah bersembunyi darinya jika akhirnya ia harus hidup bersamanya juga di sini? "Oke, terserah kamu! Tapi jangan coba-coba menggangguku lagi. Mendekatiku, memata-mataiku, atau mengirimiku buah, makanan, atau apa pun itu. Atau aku akan pergi lagi. Dan akan kupastikan kamu enggak akan bisa menemukanku lagi!" Ancaman itu keluar begitu saja dari bibirnya, hasil dari keputusasaan yang menumpuk.
"Ok! Ok! Aku janji!" Aidan beranjak dari duduknya lalu berjalan mendekati Karenina, ingin meraihnya.
"Jangan mendekat, Aidan!" Karenina melangkah mundur.
"Ok!" Aidan menghentikan langkah, mengangkat kedua tangannya menyerah. "Please, Nin... Jangan pergi lagi. Aku enggak bisa hidup tanpa melihatmu." Ditatapnya kembali Karenina dengan wajah memohon, matanya dipenuhi ketakutan akan kehilangan.
Karenina menarik napasnya dengan berat. Ia sudah menduganya. Tak akan mudah untuk pergi meninggalkan Aidan. Karena dia adalah posesif sejati. Dia tak akan melepaskannya begitu saja. Dia bahkan tak peduli pada status hubungan mereka. Karena buatnya ia adalah miliknya. Dan dia tak akan berhenti sebelum mendapatkannya kembali. Sebuah keputusasaan baru menyelimuti hatinya.
Dan akhirnya Karenina menyerah. Ia pun pergi meninggalkan Aidan tanpa mengucap kata lagi, berjalan cepat menuju pintu.
Aidan menatap kepergian Karenina hingga menghilang di balik pintu rumahnya yang tertutup rapat. Ia lalu menarik napas dengan lega. Itu saja sudah cukup baginya. Ia tak ingin terburu-buru memaksanya. Ia menyadari bahwa ia telah meninggalkan trauma yang begitu dalam di hatinya. Ia pergi meninggalkannya bukan karena tak mencintainya lagi, tapi karena takut ia akan menyakitinya. Dan kini ia akan membuatnya percaya bahwa ia tak akan pernah menyakitinya lagi. Perlahan tapi pasti, ia akan merebut kembali hati Karenina.