Karenina menatap Sang Mama yang duduk di hadapannya dengan senyum yang lebar. "Jadi kalungnya sudah ditebus? Kapan, Mah?" Tanyanya, dengan mata berbinar penuh harap, memantulkan sedikit cahaya dari jendela.
"Tadi pagi," jawab Mama singkat.
"Dari mana Kak Martin mendapatkan uangnya?" Tanya Karenina tak sabar.
"Bukan Martin yang menebusnya."
Seketika, hawa dingin merayap di punggung Karenina. "Siapa, Mah?" Wajahnya berubah curiga, firasat buruk mulai merayap.
"Pemiliknya."
Dunia Karenina seolah runtuh. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar hebat, seolah tercekik. "Maksud Mama... Tante Miranda?" Tanyanya dengan suara tercekat, nyaris tak terdengar. Dan saat Sang Mama mengangguk pelan, tubuhnya mendadak lemas, seolah seluruh energi terkuras habis. "Mama memberi tahu dia?!" Matanya membesar, menatap Mama tak percaya.
"Mama tidak mau membebani kamu."
"Ya, Tuhan! Kenapa, Mah?!" Suara Karenina meninggi, bercampur isak tertahan. "Aku kan, udah bilang akan menebusnya? Aku udah punya uangnya!"
"Mama tidak mau kamu kehilangan segalanya. Mama tidak rela kamu sampai menjual satu-satunya hartamu hanya demi sebuah kalung." Mama mencoba menenangkan, namun kata-katanya justru terasa seperti pisau yang mengoyak hati Karenina.
"Kalung itu milik dia, Mah. Dan Mama sudah menggadaikannya. Apa Mama tidak merasa malu?" Pertanyaan itu keluar dengan getir, penuh kekecewaan.
"Malu?!" Kedua mata Mama menatap Karenina dengan tajam, kilatan amarah membakar di dalamnya. "Dia yang seharusnya malu, Nina! Kalung itu sudah dia berikan padamu, tapi dia memintanya kembali! Dia yang seharusnya malu!" Mama membela diri, seolah seluruh dunia tahu ia tak bersalah sama sekali.
"Aku tidak berhak atas kalung itu, Mah. Karena aku tidak jadi menikahi Aidan. Apa Mama lupa itu? Kalung itu bukan kalung biasa. Kalung itu sangat berharga, Mah, tidak bisa dinilai dengan uang. Itu adalah kalung warisan turun-temurun keluarga mereka! Tradisi mereka untuk menurunkannya sampai ke anak cucu. Dan Mama malah menggadaikannya untuk Kak Martin!" Suara Karenina mulai pecah, tak sanggup lagi menahan kekecewaan yang meluap.
"Mama menggadaikannya, Nina! Bukan menjualnya! Kalau kamu mau bersabar Martin pasti bisa menebusnya!" Mama tetap bersikeras, seolah itu bukan masalah besar.
Karenina menarik tubuhnya menjauh, seolah ingin menjauh dari kenyataan pahit itu. Ditatapnya Sang Mama dengan pandangan putus asa. Ia tak mengerti mengapa Mama masih saja percaya dan membela Sang Kakak. Padahal sejak dulu, Martin hanya menyusahkan hidupnya, menjadi benalu yang tak henti-hentinya menggerogoti kebahagiaan keluarga.
"Kak Martin tidak akan menebusnya, Mah. Dia tidak punya uang. Dia bahkan sudah tidak punya pekerjaan lagi." Suara Karenina pelan, seolah ingin menyadarkan Mama dengan kenyataan pahit.
Tapi Mama bergeming dengan pendiriannya. "Sekalipun kalung itu tidak dikembalikan, mereka tetap berhutang banyak padamu, Nina. Mereka seharusnya membayarmu lebih dari itu. Kamu hampir mati di tangan Aidan! Apa kamu lupa itu?" Suara Mama kembali berapi-api, matanya begitu penuh kemarahan, seolah menyimpan dendam.
Karenina memilih untuk diam. Ia tak ingin ucapannya membuat Mama semakin emosi, dan memancing kemarahan yang tak berujung.
"Mama tahu kamu yang memulai semua masalah ini. Tapi perbuatan Aidan padamu tidak bisa dimaafkan." Suara Mama kini terdengar lebih pelan, namun tetap ada nada penghakiman di dalamnya.
"Aidan sudah menyadari kesalahannya, Mah. Dia juga sedang menjalani terapi." Karenina mencoba membela, berharap sedikit pengertian dari Sang Mama.
"Apa kamu kembali padanya?" Mama menatap dengan wajah terkejut, tak percaya.
Karenina menggeleng lemah. "Aku kembali ke perusahaannya demi bertahan hidup." Suaranya terdengar lelah, penuh kepasrahan.
"Keluarlah dari sana, Nina! Kakakmu bisa mencarikanmu laki-laki yang lebih kaya dari Aidan! Dia banyak mengenal orang kaya, bahkan konglomerat!" Mama kembali berapi-api, seolah Karenina adalah benda berharga bernilai tinggi yang bisa diperdagangkan.
"Mama?!" Karenina kembali menatap Mama tak percaya. Mengapa sekarang Mama semakin materialistis? Apa yang membuatnya berubah begitu drastis?
"Kamu cantik, Nina. Dan kamu anak Mama yang paling pintar. Kamu bisa mendapatkan laki-laki mana pun yang kamu mau. Kamu..."
"Cukup, Mah!!" Karenina tak bisa lagi menahan dirinya. Ditatapnya Sang Mama dengan mata berkaca-kaca, penuh luka yang tak terucap. Dan sebelum air matanya jatuh menetes, ia pun beranjak dari duduknya, lalu berlari pergi, meninggalkan Sang Mama yang menatapinya dari kejauhan, seolah tak mengerti apa yang baru saja terjadi.
Di dalam taksi yang membawanya kembali ke bandara, Karenina tak henti-hentinya menghapus air mata yang terus mengalir deras. Kini ia merasa semakin tak berdaya, terperangkap dalam labirin keputusasaan. Rasa malu yang membanjiri, sakit yang menusuk, dan kebingungan membuat dadanya terasa sesak, seolah terhimpit beban tak kasat mata. Ia merasa lelah menghadapi keluarganya, lelah dengan tuntutan yang tak pernah berakhir. Ia merasa apa pun yang dilakukannya selalu salah, selalu tak cukup. Mengapa mereka begitu kejam? Mengapa mereka tak pernah merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya?
Karenina menarik napasnya dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang terus ingin keluar, mencoba menguatkan diri. Ia tak boleh lemah. Karena kali ini ia akan menghadapinya sendirian, tanpa bantuan siapa pun. Ia harus menghadapi Miranda dengan wajah tertunduk oleh rasa malu yang teramat dalam. Entah apa yang harus dikatakannya nanti, karena kata maaf saja tak akan cukup menghapus dosa keluarganya. Ia sudah pernah membuat mereka malu di masa lalu, dan kini keluarganya membuatnya semakin kehilangan harga diri. Mereka pasti sudah menganggap keluarganya begitu rendah, tak berarti. Karenina menahan isaknya, membiarkan sakit itu menggerogoti jiwanya.
...
Trisha memandangi dua piring hidangan di atas meja yang sudah siap untuk disantap. Aroma pasta yang menggoda memenuhi ruangan. "Aidan, makanan udah siap!" Serunya. Namun, saat Aidan tak juga muncul ke meja makan, ia pun melangkah menuju kamarnya.
Dan di sana ia melihat Aidan tengah tertidur pulas di atas kasur, tangannya masih menggenggam ponsel. Perlahan ia mengambil ponsel itu, meletakkannya di atas meja di samping tempat tidur. Namun, hatinya tiba-tiba terusik. Sebuah dorongan kuat membuatnya menyalakan layar ponsel itu. Meski ia tak bisa membukanya karena terkunci, tapi ia bisa melihat deretan pesan yang tampak di sana. Pesan yang jelas-jelas dia tuliskan untuk Karenina. Trisha menghela napasnya, desah kekesalan yang tak tertahankan. Kasihan sekali... Aidan menunggu kabarnya sampai tertidur pulas. Ke mana perginya Cinderella itu? Dasar tak tahu diri! Rutuknya dalam hati, terbakar api iri dan cemburu.
Di atas meja makan, Trisha mengunyah makanannya sambil termenung, pikirannya melayang jauh. Mengapa hidup perempuan itu sangat beruntung? Dia bisa mendapatkan segalanya dengan mudah. Usianya bahkan belum genap tiga puluh tahun tapi dia sudah mempunyai perusahaan sendiri. Apartemen mewah dan mobil mewah yang didapatnya tanpa harus bersusah payah, tanpa harus bermandikan keringat dan air mata. Cukup dengan bermodalkan wajah cantik dan tubuh seksi. Dia pasti pintar sekali merayu dan menggoda Aidan. Sampai-sampai Aidan begitu buta mencintainya? Pikiran-pikiran pahit itu terus berputar di benaknya.
Trisha menarik napasnya, mencoba menelan makanan di dalam mulutnya yang kini terasa serat dan hambar. Sehambar hidupnya. Hidup yang tak pernah berpihak padanya, hidup yang tak seberuntung Cinderella itu. Padahal selama ini ia sudah berusaha menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, berjuang sekeras-kerasnya agar bisa menggapai impiannya. Ia bahkan berusaha sangat keras menjadi seorang istri yang sempurna untuk laki-laki yang ia bela setengah mati. Tapi apa yang didapatkannya? Sebuah pengkhianatan yang menyakitkan, dan perjuangan hidup tanpa henti yang semakin melelahkan.
Rasanya sakit sekali menyadari apa yang telah ia lalui itu ternyata kalah oleh sebuah keberuntungan. Keberuntungan seorang Upik Abu yang menjual wajah dan tubuhnya demi menjadi seorang Cinderella yang sempurna.
Trisha kembali menghela napasnya yang terasa semakin berat, dadanya sesak oleh beban tak terlihat. Tubuhnya kini terasa lemah, dan jiwa yang tadinya begitu tegar perlahan mulai terkikis oleh rasa iri dan cemburu yang menggerogoti. Dan cinta yang sempat ia lupakan dan lama terkubur, kini kembali muncul. Menyesakkan dadanya, menutup nuraninya, dan menghilangkan akal sehatnya, seolah ia terperangkap dalam jaring emosi yang rumit.
"Kok, enggak bangunin aku?"
Suara Aidan menyadarkan Trisha dari lamunannya, mengembalikannya ke dunia nyata. "You slept like a baby. Aku enggak tega banguninnya," sahutnya, berusaha menampilkan senyum manis.
"Sorry... Semalam aku kurang tidur," sahut Aidan seraya menjatuhkan tubuhnya di hadapan sepiring spaghetti yang tampak menggiurkan. Ia pun lalu bersiul senang. "Udah lama banget aku enggak makan pasta buatan kamu," ucapnya dengan sumringah.
Ucapan Aidan membuat hati Trisha hangat dan berbunga. Sedikit kebahagiaan merayap di tengah kegelisahannya. "Enak?" Tanyanya saat melihat Aidan menyantap makanan itu dengan lahap.
Aidan mengacungkan jempolnya. "Great! Thank you, ya!" Ucapnya.
Dan Trisha pun tersenyum, menatap Aidan dengan pikiran yang kembali mengembara. Kenangan masa lalu mereka kembali muncul, menghadirkan asa yang dulu pernah hilang karena cinta yang tak terbalas. Secercah harapan kini kembali menyala.