Bab. 2

1208 Words
Gilang duduk di dalam mobilnya dengan hati yang berdebar-debar. Dia tidak bisa menahan perasaan cemasnya saat menyadari bahwa dia akan bertemu dengan calon tunangannya, Amanda, untuk pertama kalinya. Gilang tidak pernah terlalu tertarik pada perjodohan, tetapi karena tekanan dari keluarganya, dia tidak bisa menghindarinya. "Sudah sampai, Nak," kata ibunya, Diana, sambil tersenyum lembut. "Ayo, jangan gugup. Amanda adalah gadis yang luar biasa." Gilang mengangguk ragu-ragu, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri sebelum keluar dari mobil. Mereka masuk ke dalam restoran yang elegan dan duduk di meja yang sudah dipesan oleh ibunya. Tak lama kemudian, Amanda tiba. Gilang menoleh ke arah pintu masuk dan hatinya hampir berhenti saat melihat penampilan Amanda. Dia memakai gaun hitam yang sangat ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna, dan rambutnya diatur dengan sempurna. "Amanda, ini Gilang, putraku," kata Diana dengan senyum cerah. "Amanda," sapa Gilang, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. "Apa kabar, Gilang?" tanya Amanda dengan senyum manis, sambil menghampiri meja mereka. "Baik," jawab Gilang singkat. "Mari duduk," ajak Diana, mencoba mengurangi kebekuan di antara mereka. Mereka duduk bersama, tetapi atmosfir tetap tegang. Gilang mencoba untuk mencari topik pembicaraan, tetapi sepertinya sulit untuk menemukan satu pun yang tepat. "Apa kamu suka Australia, Gilang?" tanya Amanda, mencoba memecah keheningan. Gilang mengangguk. "Ya, saya suka. Saya pernah ke sana beberapa kali untuk liburan." "Apa yang paling kamu sukai dari sana?" tanya Amanda lagi, mencoba menunjukkan minatnya. Gilang berpikir sejenak sebelum menjawab, "Saya suka keindahan alamnya." "Australia memang luar biasa," sambung Amanda, "Aku merindukan rumah saya di sana." Percakapan mereka terus berlanjut, meskipun Gilang masih merasa tidak nyaman. Dia mencoba untuk menemukan hal positif tentang Amanda, tetapi tidak dapat menahan pikiran negatifnya tentang penampilannya yang terlalu glamor dan terbuka. Di tengah-tengah percakapan mereka, ibu Gilang, Diana, terus memuji Amanda. "Kamu sungguh cerdas, Amanda. Lulusan Australia dan putri seorang pengusaha sukses. Gilang beruntung memiliki kamu sebagai calon tunangan." "Papamu pasti sangat bangga padamu," sambung Gilang, mencoba untuk berbicara dengan sopan. "Papaku memang sangat mendukungku," jawab Amanda dengan bangga, "Dia selalu menginginkan yang terbaik untukku." Gilang mencoba untuk mengikuti percakapan dengan tetap menjaga sikapnya. Namun, semakin lama dia bertemu dan berbincang-bincang dengan Amanda, semakin yakin dia bahwa mereka tidak cocok satu sama lain. Setelah makan malam selesai, mereka berdiri untuk pergi. Amanda tersenyum manis pada Gilang. "Terima kasih untuk makan malam yang menyenangkan, Gilang. Aku berharap kita bisa bertemu lagi." Gilang tersenyum tipis. "Tentu, kita bisa berbicara lebih banyak di lain waktu." jawab Gilang. "Bagaimana caranya memulai pembicaraan jikalau aku tidak setuju dengan pertunangan ini," batin Gilang. Mereka lalu berpisah di pintu keluar restoran, dan Gilang kembali ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa dirinya harus memberi kesempatan pada Amanda, tetapi ada sesuatu yang tidak benar bagi Gilang tentang hubungan mereka. *** Gilang duduk di kursi pengemudi, sesekali menatap ke jendela sambil mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Amanda. Ia menoleh ke arah ibunya yang duduk di sebelahnya, Diana, dengan ekspresi ragu di wajahnya. "Ibu, Gilang mau jujur... Gilang tidak suka dengan Amanda," ucap Gilang dengan tegas, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. Diana membalas pandangan putranya dengan senyum lembut. "Kenapa begitu, Nak? Apa yang membuatmu tidak menyukainya?" Gilang menghela nafas, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. "Pertama kali Gilang bertemu dengannya, kesan pertama yang aku dapatkan tidak begitu menyenangkan. Aku merasa tidak nyaman dengan caranya berbicara dan sikapnya yang terlalu... ekspresif." Diana mengangguk, memahami kekhawatiran anaknya. "Kesan pertama memang bisa menipu, Nak. Jangan terlalu cepat menilai seseorang hanya dari satu kali pertemuan. Siapa tahu, ada sisi lain dari Amanda yang bisa membuatmu berubah pikiran." Gilang menggelengkan kepala, tetapi ekspresinya masih ragu. "Selain itu, Ma, Gilang tidak suka dengan gaya berpakaiannya. Terlalu modern dan terbuka bagi Gilang. Gilang lebih suka gaya wanita berpakaian yang lebih sederhana dan sopan." Diana tersenyum penuh pengertian. "Setiap orang memiliki selera berbeda dalam berbusana, Nak. Tapi ingatlah, pentingnya untuk tetap menghormati perbedaan tersebut. Itu yang membuat kita berbeda dan menarik." Gilang mengangguk, merenungkan kata-kata ibunya. "Gilang sudah coba memahami, Ma. Tapi, rasanya seperti kita berasal dari dunia yang berbeda. Gaya hidup baratnya juga sangat bertolak belakang dengan apa yang Gilang terbiasa." Diana mengusap punggung tangan Gilang dengan lembut. "Kamu dan Amanda mungkin memiliki latar belakang dan gaya hidup yang berbeda, tetapi justru itu yang bisa membuat hubungan kalian menjadi lebih menarik. Kamu bisa saling belajar dan tumbuh bersama, Nak." Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan sejenak, hanya suara gemuruh mesin mobil yang terdengar. Gilang memikirkan kata-kata ibunya, mencoba membuka pikirannya terhadap kemungkinan hubungan yang belum ia coba. Namun, dalam benaknya masih terbersit keraguan dan ketidaknyamanan. "Apa Mama ingin Gilang mencoba untuk lebih terbuka, Ma?" Diana tersenyum bangga pada putranya. "Tentu saja, Nak. Mama hanya ingin kamu bahagia, dan siapa tahu, Amanda bisa menjadi bagian dari itu." ucapnya. "Mama tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku!" Gilang bergumam di dalam hati. *** Suasana di ruang keluarga rumah Gilang terasa tegang saat Gilang dengan langkah mantap mendekati ayahnya, Chandra. Wajahnya tegang, namun tekadnya tidak tergoyahkan. "Pa, Gilang ingin bicara serius dengan Papa," ucap Gilang dengan suara yang teguh, mencoba menenangkan dirinya sebelum menghadapi reaksi ayahnya. Chandra menoleh dari majalah yang sedang dibacanya, ekspresinya kaku ketika dia melihat putranya dengan tatapan tajam. "Ada apa, Gilang?" Gilang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Gilang menolak perjodohan yang Papa atur untuk Gilang, Pa." Kata-kata itu seolah meledak di udara, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam. Chandra memandang Gilang dengan mata yang memancarkan kekecewaan dan kemarahan. "Kamu tidak bisa melakukan ini, Gilang! Perjodohan itu sudah disepakati oleh kedua keluarga. Ini bukan keputusan yang bisa kamu ambil sendiri!!" seru Chandra, suaranya memenuhi ruangan dengan otoritas yang tak terbantahkan. Gilang tetap tegar, meskipun hatinya berdebar kencang. "Maaf, Pa, tapi Gilang tidak bisa menerima perjodohan itu. Gilang ingin menentukan nasib Gilang sendiri, mencari cinta sejati tanpa adanya paksaan." Chandra menatap putranya dengan kesedihan yang dalam. "Kamu tahu betapa pentingnya perjodohan bagi keluarga kita, Gilang. Ini bukan hanya tentangmu, tapi juga tentang kedua keluarga yang terlibat." Namun, Gilang tetap bersikeras. "Maaf, Pa, tapi Gilang tidak bisa mengorbankan kebahagiaan Gilang hanya untuk memenuhi harapan keluarga. Gilang harus mengikuti kata hati Gilang." Chandra bangkit dari kursinya dengan gerakan tegas, wajahnya merah padam oleh kemarahan. "Kamu egois, Gilang! Kamu pikir hidup ini hanya tentang apa yang kamu inginkan? Kamu menghancurkan masa depan keluarga kita dengan keputusanmu ini!" Gilang menahan diri untuk tidak mundur. "Gilang tidak bermaksud menyakiti keluarga, Pa. Tapi Gilang tidak bisa hidup dalam kebohongan. Gilang harus menjadi diri Gilang sendiri." Pertengkaran itu semakin memanas, dengan kata-kata yang dilontarkan dengan emosi yang meluap-luap. Chandra merasa kecewa dan marah pada putranya yang menentang tradisi keluarga dengan begitu keras. "Kamu adalah kekecewaan besar bagi kami, Gilang! Aku tidak bisa menerima keputusanmu ini!!" Chandra berseru, suaranya gemetar oleh amarah. Gilang menatap ayahnya dengan penuh penyesalan, namun juga dengan keberanian yang tidak tergoyahkan. "Maafkan Gilang, Pa. Gilang hanya ingin hidup sesuai dengan keinginan Gilang sendiri." Keduanya terdiam sejenak, atmosfer ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang tegang. Namun, dalam kediaman itu, terdapat juga getaran perasaan yang rumit antara seorang ayah dan anak yang berani. "Kamu akan menyesal atas keputusan ini, Gilang," kata Chandra dengan suara yang rendah, tetapi penuh dengan kesedihan. Gilang mengangguk, menatap ayahnya dengan mata yang penuh dengan penyesalan. "Mungkin iya, Pa. Tapi Gilang tetap harus mengikuti kata hati Gilang, bahkan jika itu berarti melawan kehendak keluarga." Gilang berkata lalu pergi meninggalkan sang ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD