Gilang duduk termenung di ujung ranjangnya, memikirkan situasi yang semakin memburuk. "Kenapa mereka terus memaksaku?" gumamnya dalam hati. "Aku tidak siap untuk menikah, apalagi dengan Amanda."
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia melihat nama temannya, Dito, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu. "Halo, Dito."
"Hey, Lang. Ada apa? Aku mendengar kabar bahwa kau dalam masalah besar," suara Dito terdengar khawatir di ujung telepon.
Gilang menghela nafas. "Ya, masalah besar memang. Orang tuaku terus memaksa aku menikah dengan Amanda. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
"Apa? Itu gila! Kamu tidak boleh dipaksa melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan," protes Dito dengan nada tegas.
"Tapi mereka bersikeras, Dito. Aku merasa terjebak," Gilang menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan.
Dito terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, Lang. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa tinggal di rumahku untuk sementara waktu. Aku akan membantumu menyelesaikan masalah ini."
Gilang merasa lega mendengar tawaran itu. "Terima kasih, Dito. Aku benar-benar butuh bantuanmu."
Setelah menyudahi panggilan telepon, Gilang segera mengemas barang-barang yang menurut nya penting. Dia merasa lega bahwa ada seseorang yang bersedia membantunya. Setelah semua barangnya dikemas, ia segera menuju ke rumah Dito.
Tiba di rumah Dito, Gilang disambut dengan baik dan hangat oleh temannya itu. Mereka duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang rencana selanjutnya.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Lang?" tanya Dito sambil menyeruput secangkir kopi.
Gilang menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Aku merasa kebingungan. Bagaimana bisa aku menikahi seseorang yang tidak aku cintai?"
Dito meletakkan cangkir kopinya di meja. "Kamu harus bicara terus terbuka dengan orang tuamu. Mereka mungkin tidak menyadari betapa sulitnya situasi ini bagimu."
Gilang mengangguk perlahan. "Ya, kamu benar. Aku telah mencoba bicara dengan mereka, Dito. Akan tetapi tetap saja gagal," ujar Gilang.
Keluarga Dito tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Rumah itu terlihat sederhana, dengan cat yang sudah terkelupas dan genteng yang bocor di beberapa tempat. Meskipun rumah mereka mungkin tidak terlihat mewah, kehangatan dan kebersamaan selalu ada di dalamnya.
Suasana di rumah itu semakin hidup ketika Gilang, sahabat Dito, memutuskan untuk tinggal bersama mereka untuk sementara waktu. Namun, Gilang merasa tidak nyaman dengan situasi itu. Dia merasa seperti menyusahkan keluarga Dito lebih jauh dengan kehadirannya.
"Hai, Lang," sapa Dito dengan senyuman ramah ketika Gilang keluar dari kamar kecil yang telah disiapkan untuknya. "Apa kabar hari ini?"
Gilang menggaruk kepalanya dengan ragu. "Baik-baik saja, Dito. Maaf kalau aku membuatmu repot."
Dito menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak apa-apa, Lang. Kamu adalah sahabatku. Kamu selalu diterima di sini."
Meskipun Dito berusaha memberikan kenyamanan kepada Gilang, namun perasaan tak nyaman Gilang tidak hilang begitu saja. Setiap kali ia melihat keluarga Dito berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hatinya terasa hancur.
Pada suatu pagi, Gilang menyadari bahwa dia tidak bisa terus bergantung pada keramahan Dito. Dia ingin mencari cara untuk membantu mereka, untuk membayar kembali kebaikan yang telah diberikan keluarga tersebut.
Gilang mendekati Dito yang sedang duduk di ruang tamu. "Dito, aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu."
Dito menoleh dengan rasa ingin tahu. "Apa yang kamu pikirkan, Lang?"tanyanya.
Gilang menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Aku tidak ingin terus menyusahkanmu dan keluargamu. Aku ingin mencari pekerjaan dan membantu kalian."
Dito tersenyum lebar. "Lang, kamu tidak perlu merasa seperti itu. Kami senang bisa membantu kamu."
"Tapi aku ingin berusaha sendiri, Dito. Aku tidak ingin terus bergantung padamu," ujar Gilang dengan mantap.
Dito mengangguk mengerti. "Baiklah, Lang. Aku menghormati keputusanmu. Aku akan membantumu mencari pekerjaan jika kamu mau."
Gilang tersenyum lega. "Terima kasih, Dito. Aku akan berusaha sekuat tenaga."
***
Untuk sementara waktu, Gilang membantu pekerjaan Dito dan orang tuanya mengumpulkan koran bekas dan botol-botol bekas untuk didaur ulang. Meskipun pekerjaan tersebut terlihat sederhana, Gilang melakukannya dengan penuh dedikasi dan ikhlas. Baginya, membantu keluarga Dito adalah cara untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka selama ini.
Setiap pagi, Gilang dan Dito bersama-sama pergi ke tempat-tempat yang telah ditentukan untuk mengumpulkan barang-barang bekas. Mereka berdua berjalan dengan keranjang besar, mengambil setiap koran bekas dan botol bekas yang mereka temui di sepanjang jalan.
"Sudah cukup banyak nih, Lang," ucap Dito sambil mengangkat keranjangnya yang penuh dengan barang bekas.
Gilang tersenyum. "Baiklah, kita kembali ke rumah sekarang."
Namun, meskipun Gilang melakukan pekerjaan itu dengan ikhlas, Dito merasa tidak nyaman. Dia tahu bahwa Gilang berasal dari keluarga sangat kaya raya, dan mengajaknya untuk bekerja serabutan terasa aneh baginya.
Suatu hari, ketika mereka sedang istirahat di teras rumah setelah seharian mengumpulkan barang-barang bekas, Dito memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Gilang.
"Lang, aku perlu bicara denganmu tentang sesuatu," ujar Dito dengan ragu.
Gilang mengangkat kepalanya, menatap Dito dengan rasa penasaran. "Ada apa, Dito?"
Dito menggelengkan kepalanya. "Aku merasa tidak enak, Lang. Kamu berasal dari keluarga yang sangat kaya. Aku merasa seperti menyusahkanmu dengan mengajakmu untuk bekerja seperti ini."
Gilang tersenyum lembut. "Dito, kamu tidak perlu merasa seperti itu. Aku melakukan ini karena aku ingin membantu kalian. Keluarga kaya atau tidak, itu tidak penting bagiku. Yang penting adalah kebersamaan dan saling membantu."
Dito menatap Gilang dengan penuh penghargaan. "Terima kasih, Lang. Aku sangat menghargai bantuanmu."
Gilang mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih, Dito. Kita adalah sahabat, dan sahabat selalu saling mendukung."
Meskipun Dito masih merasa sedikit tidak nyaman, dia tahu bahwa Gilang benar-benar melakukan pekerjaan tersebut dengan tulus. Dia memutuskan untuk menerima bantuan Gilang dengan tulus dan menghargainya sebagaimana mestinya.
Dito menatap ke lantai, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan dia katakan. "Aku merasa sangat bersalah, Lang. Aku tahu bahwa kamu seharusnya tidak mengalami semua ini. Bagaimana kalau kamu kembali saja ke rumah orang tuamu?"
Gilang terkejut mendengarnya. "Tidak, Dito. Aku tidak akan kembali. Aku tidak akan menerima perjodohan yang tidak pernah aku inginkan."
Dito mengangguk mengerti, tetapi rasa khawatirnya tidak hilang begitu saja. "Tapi, Lang, kamu tidak harus hidup dalam kesulitan seperti ini. Orang tuamu pasti akan membantumu."
Gilang menggeleng tegas. "Tidak, Dito. Aku lebih baik hidup sederhana di sini daripada hidup dalam kepalsuan di rumah orang tuaku. Aku akan menghadapi semua ini dengan kepala tegak."
Gilang menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku ingin membuat hal-hal jelas. Aku tidak keberatan melakukan pekerjaan apapun, bahkan jika itu buruh kasar, selama itu halal. Bagiku, itu lebih baik daripada harus menerima perjodohan."
Dito terdiam sejenak, mencerna kata-kata Gilang. "Aku mengerti, Lang. Kau ingin hidup sesuai prinsipmu sendiri, bukan dipaksa oleh orang lain."
Gilang mengangguk, rasa lega mulai menyelimuti hatinya. "Iya, Dito. Aku ingin memegang kendali atas hidupku sendiri, meskipun itu berarti aku harus bekerja keras."
Dito menggenggam tangan Gilang dengan penuh pengertian. "Kamu tidak sendiri, Lang. Aku akan selalu mendukungmu, apa pun pilihanmu."
Senyum tipis muncul di wajah Gilang, merasakan dukungan sejati dari sahabatnya itu. "Terima kasih, Dito. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki." ucap Gilang dengan tulus.