Bab. 4

1077 Words
Dito duduk di ruang tamu rumahnya, memikirkan keadaan terkini mereka. Setelah beberapa saat, Gilang keluar dari kamar dan duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang tampak lelah. "Dito, aku benar-benar merasa sulit untuk terus mengumpulkan barang bekas," ucap Gilang dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Aku tahu bahwa kau dan keluargamu sudah cukup kesusahan tanpa harus menyertakan aku dalam masalah ini." Dito menatap Gilang dengan simpati. "Lang, kamu tidak perlu merasa seperti itu. Kamu adalah bagian dari keluargaku, dan aku akan selalu membantumu." Gilang menggeleng, "Aku tahu, Dito. Tapi aku juga tidak ingin menyusahkanmu lebih jauh. Aku harus mencari jalan keluar dari situasi ini." Dengan ekspresi serius, Dito menimbang-nimbang kata-katanya sebelum akhirnya berkata, "Bagaimana kalau kamu mencoba melamar pekerjaan yang lebih sesuai dengan latar belakang pendidikanmu?" Gilang menatap Dito dengan keterkejutan. "Apa? Tapi pekerjaan apa yang bisa aku lamar dengan latar belakang pendidikanku? Aku tidak yakin." Dito mengangguk tegas. "Kamu lulusan yang pintar, Lang. Kamu bisa mencoba melamar di perusahaan-perusahaan besar atau bidang yang relevan dengan keahlianmu. Percayalah, pasti ada kesempatan bagi orang seperti kamu." Gilang terdiam sejenak, merenungkan saran dari Dito. "Kamu yakin aku bisa melakukannya, Dito?" Dito tersenyum lembut. "Tentu saja, Lang. Kamu memiliki potensi yang besar, dan aku akan selalu mendukungmu." Gilang merasa terharu atas dukungan Dito. "Terima kasih, Dito. Aku akan mencoba." Maka, keesokan harinya, Gilang mulai menyusun rencana untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempersiapkan surat lamaran dan CV-nya, serta mencari informasi tentang perusahaan-perusahaan yang mungkin membutuhkan tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan seperti miliknya. Setelah semua persiapan selesai, Gilang mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan yang menurutnya cocok dengan keahliannya. Setiap hari, dia menunggu dengan harapan tinggi untuk mendapatkan panggilan wawancara. *** Gilang adalah lulusan terbaik dari salah satu universitas terkemuka di kota. Ia telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar sarjana dan membangun reputasi sebagai individu yang berdedikasi dan berkompeten. Setelah lulus, Gilang memiliki harapan besar untuk memulai karirnya di dunia kerja. Namun, nasib baik tidak segera berpihak padanya. Hari-hari setelah mengirimkan CV-nya ke berbagai perusahaan, telepon Gilang mulai berdering tanpa henti. Perusahaan-perusahaan besar mengundangnya untuk wawancara, menjanjikan potensi karir yang cerah. Gilang sangat senang dengan permintaan wawancara ini. Ia percaya bahwa ini adalah awal yang baik untuk membangun karirnya. Hari itu, Gilang tiba di salah satu perusahaan terkemuka untuk wawancara pertamanya. Ia duduk tegak di depan meja HRD, siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan percaya diri. "Selamat pagi, Gilang. Kami senang bisa bertemu dengan Anda," sapa HRD dengan ramah. "Selamat pagi juga. Terima kasih atas kesempatan ini," jawab Gilang dengan senyum. Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan ke arah Gilang, dan dia menjawabnya dengan baik. Dia merasa yakin bahwa wawancara itu berjalan dengan baik. Namun, ketika pembicaraan menuju ke arah penggajian, suasana berubah. HRD menatap Gilang dengan ekspresi yang agak terkejut. "Maaf, Gilang, tapi kami baru saja mengetahui bahwa Anda adalah putra dari Chandra Al-Khafi. Apakah ini benar?" Gilang merasa sedikit gugup. "Ya, itu benar. Tapi saya ingin menegaskan bahwa saya siap bekerja keras dan tidak ingin menggunakan hubungan pribadi saya dengan keluarga saya untuk keuntungan di sini." HRD mengangguk. "Kami menghargai transparansi Anda. Namun, kami harus berbicara dengan tim manajemen terlebih dahulu sebelum membuat keputusan akhir." Setelah itu, Gilang menghadiri beberapa wawancara lain dengan pengalaman yang serupa. Dia terus berusaha meyakinkan HRD bahwa dia adalah individu yang berdiri di atas kaki sendiri, terlepas dari latar belakang keluarganya. Namun, setiap kali fakta tentang hubungannya dengan Chandra Al-Khafi terungkap, reaksi HRD selalu sama. Mereka terkesan, tapi juga skeptis. Beberapa bahkan memberikan saran langsung kepada Gilang untuk memanfaatkan hubungannya dengan ayahnya untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Gilang menjadi semakin frustrasi. Meskipun dia tahu bahwa dia memiliki koneksi yang kuat, dia tidak ingin memanfaatkannya. Baginya, itu akan merusak integritasnya dan merendahkan prestasinya sendiri. Akhirnya, setelah beberapa minggu berlalu tanpa ada tawaran kerja yang cocok, Gilang memutuskan untuk menolak semua tawaran yang ada di meja. Ia memutuskan bahwa ia akan memulai karirnya dari awal, dengan caranya sendiri, tanpa campur tangan keluarganya. Gilang telah mengirimkan puluhan CV dan surat lamaran ke berbagai perusahaan, namun tanggapan yang dia terima tidak seperti yang dia harapkan. Wajahnya yang biasanya penuh semangat mulai terlihat lelah dan kecewa. Setelah berhari-hari tanpa respon, akhirnya, dia mendapatkan panggilan untuk wawancara dari sebuah toko swalayan lokal. Meskipun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang tinggi, Gilang memutuskan untuk tetap mencoba. Saat hari wawancara tiba, Gilang tiba di toko swalayan dengan pakaian rapi dan senyum di wajahnya. Ia ingin memberikan yang terbaik meskipun pekerjaan yang ditawarkan tidak seberapa. "Saya senang bisa bertemu dengan Anda, Pak Gilang," sapa Manajer Toko dengan ramah. "Terima kasih atas kesempatan ini," balas Gilang sambil tersenyum. Wawancara berlangsung lancar. Gilang menjawab dengan percaya diri setiap pertanyaan yang diajukan tentang pengalaman kerja dan keterampilan yang dimilikinya. Namun, ketika pembicaraan beralih ke pendidikan Gilang, ekspresi Manajer Toko mulai berubah. "Maaf Pak Gilang, saya ingin menanyakan tentang latar belakang pendidikan Anda. Dari CV Anda terlihat Anda memiliki gelar sarjana di bidang teknik. Apakah itu benar?" tanya Manajer Toko dengan sedikit kebingungan. Gilang mengangguk. "Ya, itu benar. Saya lulus dari salah satu universitas terkemuka di kota dengan gelar teknik." "Sayang sekali," sahut Manajer Toko dengan wajah terpikir. "Kami menghargai kualifikasi Anda, tetapi kami lebih mencari seseorang dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan pekerjaan di toko kami. Seperti Anda mungkin tahu, pekerjaan ini tidak membutuhkan gelar sarjana. Kami mencari seseorang yang siap bekerja di lapangan dengan berbagai tugas operasional." Gilang merasa sedikit kecewa, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Saya memahami, Pak. Saya datang ke sini karena saya ingin belajar dan berkontribusi sebanyak mungkin. Saya siap untuk bekerja keras dan belajar hal-hal baru." Manajer Toko mengangguk. "Saya mengerti, Pak Gilang. Tetapi saya khawatir Anda mungkin merasa tidak puas dengan pekerjaan yang kami tawarkan di sini, mengingat latar belakang pendidikan dan pengalaman Anda yang tinggi." Gilang berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sebenarnya, Pak, saya melamar pekerjaan ini karena saya percaya bahwa saya bisa memberikan kontribusi yang berarti di sini. Saya tidak terlalu peduli dengan gelar saya, yang penting bagi saya adalah kesempatan untuk bekerja dan belajar." Manajer Toko tersenyum menghargai. "Saya sangat menghargai semangat dan motivasi Anda, Pak Gilang. Namun, saya ingin memberikan saran kepada Anda untuk tetap mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi dan aspirasi Anda. Saya yakin Anda akan menemukan kesempatan yang lebih cocok di tempat lain." Gilang mengangguk, "Terima kasih atas saran dan kesempatan wawancara ini, Pak." Ketika Gilang meninggalkan toko swalayan, dia merasa sedikit terpukul. Meskipun dia menghargai saran dari Manajer Toko, rasa kecewa tetap menghantuinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD