Bab. 5

1099 Words
"Dito," panggilnya dengan suara yang lemah, "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana." Dito, yang sedang duduk di sampingnya, menoleh dengan ekspresi simpati. "Apa yang terjadi, Gilang? Kamu tahu kamu bisa mengandalkan aku, kan?" Gilang mengangguk, tetapi dia merasa terhimpit oleh beban rasa bersalah. "Aku tahu, Dito. Tapi aku merasa seperti aku hanya menjadi beban bagimu dan keluargamu. Aku sudah mencoba begitu keras, tetapi tetap saja tidak ada yang mau menerima aku." Dito menatapnya dengan tulus. "Gilang, kamu tidak pernah menjadi beban bagi kami. Kamu adalah sahabat terbaikku, dan keluargaku memperlakukanmu seperti keluarga sendiri. Kami mengerti bahwa kamu sedang berjuang, tetapi kamu tidak sendirian." Walaupun kata-kata Dito menyentuh hatinya, Gilang masih merasa gelisah. Dia tidak ingin terus bergantung pada Dito dan keluarganya, terutama karena mereka sendiri sudah cukup miskin. Dia ingin bisa berdiri di atas kakinya sendiri dan mengambil tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Hari-hari berlalu, tetapi keadaan Gilang tidak berubah. Dia terus mengirimkan lamaran pekerjaan, menghadiri wawancara, tetapi tetap saja tidak ada yang menawarkan pekerjaan padanya. Setiap penolakan membuatnya semakin putus asa. Suatu hari, ketika Gilang sedang berjalan pulang dari sebuah wawancara yang berakhir dengan penolakan lagi, dia melihat sekelompok pekerja sedang bekerja di lokasi pembangunan di seberang jalan. Seorang pria mendekatinya, menawarkan pekerjaan sebagai kuli bangunan. "Mas, mau kerja jadi kuli bangunan? Gaji lumayan, kok," tawar pria tersebut. Gilang berhenti sejenak, memikirkan tawaran itu. Dia tahu bahwa pekerjaan itu jauh dari impian dan kualifikasi pendidikannya, tetapi di saat-saat seperti ini, dia merasa dia tidak bisa memilih. Dia merasa tanggung jawab untuk memberikan kontribusi pada Dito dan keluarganya. "Berapa gajinya?" tanyanya dengan ragu. Pria itu memberikan angka yang cukup besar, lebih besar dari yang Gilang duga. Meskipun demikian, Gilang masih ragu. "Dapatkah saya berpikir sebentar?" pinta Gilang. Pria itu mengangguk, "Tentu, mas. Tapi jangan terlalu lama. Ada banyak orang yang ingin pekerjaan ini." Gilang berjalan ke pinggir jalan dan duduk di kursi taman di dekatnya. Dia merenungkan pilihannya dengan hati yang berat. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia membuat keputusan. Dia berjalan kembali ke pria tersebut. "Saya terima tawarannya. Kapan saya bisa mulai bekerja?" Pria itu tersenyum puas. "Bagus, Mas! Kamu bisa mulai besok pagi. Bawa alat kerja sendiri ya." Gilang mengangguk, menerima arahan itu dengan hati yang sedikit berat. Dia tahu bahwa ini bukanlah langkah yang diinginkannya, tetapi dia merasa tidak punya pilihan lain. Besok paginya, Gilang bangun lebih awal dari biasanya. Dia mengenakan pakaian kerja sederhana dan membawa alat-alat kerja yang diberikan oleh pria yang menawarkan pekerjaan padanya. Saat dia meninggalkan rumah, Dito memberinya senyum semangat, tetapi Gilang merasa berat hati melihat ekspresi kekecewaan di wajah sahabatnya. Ketika dia tiba di lokasi pembangunan, dia bertemu dengan pekerja lainnya. Seiring hari berlalu, Gilang menyesuaikan diri dengan pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Meskipun fisiknya belum terbiasa dengan pekerjaan kasar itu, dia berusaha keras untuk belajar dan melakukan yang terbaik. Sinar matahari menyinari lokasi pembangunan masjid tempat Gilang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia telah beradaptasi dengan pekerjaannya sebagai pengaduk semen dan pasir, meskipun ini adalah pekerjaan pertamanya di bidang konstruksi. Gilang mengangkat sekop pasir dengan tekad yang kuat, siap untuk memulai tugasnya. "Saudara Gilang, bisakah kamu membantu kami dengan pengadukan semen untuk dinding luar?" panggil seorang tukang kepada Gilang. Gilang mengangguk dan menyambut tugas baru dengan senyum. "Tentu, Pak! Saya akan segera mulai." Dia berjalan ke area pengadukan, di mana sejumlah pekerja sedang bekerja keras mencampurkan semen dan pasir dalam jumlah yang tepat. Gilang bergabung dengan mereka, dan meskipun awalnya canggung, dia mulai menemukan ritme yang cocok. "Saudara Gilang, kamu harus mengaduknya dengan gerakan seperti ini, agar campuran menjadi merata," ujar salah satu pekerja senior sambil menunjukkan teknik pengadukan yang benar. Gilang mengamati dengan seksama dan mencoba menirunya. "Terima kasih, Pak. Saya akan mencoba yang terbaik." Sementara itu, di seberang lokasi, seorang pekerja lain sedang memasang batu bata untuk membangun dinding masjid. Gilang memperhatikan dengan kagum bagaimana setiap batu diposisikan dengan hati-hati, menciptakan struktur yang kokoh dan indah. Gilang semakin terbiasa dengan pekerjaannya. Dia merasa bangga melihat kemajuan yang dibuat oleh tim pembangunan. Meskipun kadang-kadang kelelahan, semangatnya tidak pernah pudar. Saat istirahat makan siang, Gilang duduk bersama rekan-rekannya di bawah tenda sederhana. Mereka berbagi makanan dan cerita, menciptakan ikatan yang erat di antara mereka. "Bagaimana perasaanmu, Gilang? Sudah terbiasa dengan pekerjaan ini?" tanya seorang rekan kerja dengan ramah. Gilang tersenyum. "Ya, semakin lama semakin terbiasa. Ini adalah pengalaman yang baru bagi saya, tetapi saya senang bisa belajar banyak hal baru." Rekan kerja lain mengangguk setuju. "Memang, kita semua belajar satu sama lain di sini. Yang penting adalah semangat dan kerja keras." "Gilang, bisakah kamu membawa semen ini ke area pemasangan?" panggil seorang tukang dari kejauhan. Gilang mengangguk dan memanggul karung semen yang berat. Dia berjalan menuju area yang dimaksud dengan hati-hati, menghindari batu-batu yang berserakan di sekitarnya. Ketika dia tiba di lokasi, dia melihat beberapa pekerja yang sedang menunggu untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka tersenyum ramah ketika Gilang datang dengan karung semen. "Terima kasih, Gilang. Kamu selalu membantu dengan baik," ujar salah seorang pekerja. Gilang tersenyum balasan. "Tidak masalah, Pak. Saya senang bisa membantu." "Gilang, kamu dengar nggak? Masjid ini butuh marbot. Katanya sih mereka mencari orang yang bisa mengurus dan membersihkan masjid sehari-hari," ujar seorang pekerja sambil memperhatikan reaksi Gilang. Gilang terdiam sejenak, berpikir bagaimana kalau dia menjadi marbot saja. Ia bisa tinggal di masjid, dan tidak merepotkan keluarga Dito lagi. Lagi pula pekerjaan kuli, terlalu berat untuknya. "Benarkah itu, Pak?" "Iya, masjid ini baru, dan belum punya marbot." ujar seseorang bapak. "Saya dengar juga begitu," tambah seorang pekerja lainnya. "Kalau ada teman yang lagi butuh kerjaan bisa kamu beri tahu info ini Gilang," tambah Bapak itu lagi. Gilang mengangguk dan menyimpan berita tersebut dalam pikirannya. Setiap kalimat yang diucapkan Dito terasa seperti pencerahan bagi Gilang. Dia merasa bahwa menjadi marbot di masjid bisa menjadi jalan tengah yang baik antara pekerjaan berat sebagai kuli bangunan dan ketidaknyamanan menjadi beban bagi Dito dan keluarganya. "Pak saya tertarik jadi marbot," ucap Gilang bicara dengan penuh semangat. "Kamu terlihat penuh semangat sekali Gilang?!" Si bapak tadi terkekeh. "Bagaimana dengan pekerjaan ini? Apakah kamu tidak sanggup!" "Terimakasih untuk bapak telah membawa saya ikut menjadi kuli bangunan. Saya tertarik menjadi marbot, karena dulu saya pernah mondok. Selain saya bisa bantu bersih-bersih saya juga bisa membantu mengajar ngaji anak-anak," terang Gilang dengan semangat. "Wah itu bagus sekali itu, Nak Gilang!" ucap bapak tersebut sambil menepuk pundak Kokok Gilang. "Memang orang seperti kamu yang sedang dicari pengurus masjid. Sepertinya kamu cocok dengan pekerjaan ini." "Sebaiknya setelah kamu selesai pekerjaan ini, segera cari pengurus masjid. Agar kamu bisa mengisi posisi marbot!" saran Bapak kuli yang telah membantu Gilang. "Baiklah, Pak! Terimakasih banyak atas bantuannya!" ucap Gilang dengan bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD