JODOH UNTUK DARAH GE
“Kamu mau ke mana?” tanya Bu Ratmi sambil menaruh stoples berisi air kembang di meja.
“Mau ikut kerja Sarti ke Bali,” jawab Gayatri sambil memasukkan baju ke dalam travel bag.
Bu Ratmi yang mendengar ucapan putrinya, seketika mengangkat stoples lalu menuangkan isinya ke atas kepala Gayatri. Tak ayal, sekujur kepala dan tubuh wanita muda ini basah kuyup berlumuran beraneka kembang. Gayatri mengusap wajah lalu membuang beberapa kelopak kembang sekenanya.
“Maksudmu apa, Nduk? Bikin malu keluarga kita?” tanya Bu Ratmi dengan berurai air mata.
Gayatri yang melihat ibunya menangis seketika terisak-isak lalu berucap,”Ge nggak mau dijodohkan, Bu. Apalagi ini pria beristri. Ge mau cari duit aja.”
Bu Ratmi tak mau menanggapi omongan putrinya. Wanita separuh baya ini beranjak keluar kamar lalu pergi. Gayatri menatap kepergian sang ibu dengan tangisan berderai. Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dari ruang tamu. Gayatri segera merapikan rambut dan baju lalu melangkah menuju depan.
“Assalammu’alaikum.” Terdengar suara wanita dari depan, bertepatan dengan kemunculan Gayatri dari tirai ruang tengah.
“Wa’alaikumussalam,” jawab wanita berbaju basah tersebut.
Kemunculan Gayatri dengan penampilan basah kuyup membuat tamunya terperangah.
“Ge, ada apa?” tanya Sarti—sang tamu--teman karib Gayatri dari kecil, sambil menghampiri wanita muda tersebut.
“Ibu marah. Kayaknya aku harus berhadapan dengan keluarga besar, kalo harus pamit,” jawab Gayatri dengan tatapan sedih. Dari kedua sudut mata masih keluar buliran bening yang menetes semakin deras.
“Ge, kasihan nasibmu. Aku pengen bantu kamu. Tapi kok jadi rumit gini,” balas Sarti sambil memunguti sisa-sisa bunga yang masih menempel di rambut sahabatnya.
“Sar, kamu pesan taksi, suruh tunggu di pos depan. Aku mau pergi sekarang.”
“Aku gimana, Ge?” tanya Sarti bingung.
“Kita ke rumahmu ambil tas lalu ke pos depan,”ucap Gayatri yang berlari ke dalam.
Sarti segera menuruti permintaan Gayatri dengan memesan taksi online. Beberapa saat menunggu, akhirnya ada telepon masuk.
“Selamat siang, Pak,” ucap Sarti.
“Selamat siang, Mbak. Lokasi penjemputan sesuai peta, ya?” tanya seorang pria yang merupakan sopir taksi.
“Benar, Pak. Kira-kira berapa menit Bapak sampai?”
“Sekitar sepuluh menit, Mbak. Silakan ditunggu,” jawab sopir taksi ramah.
“Okey. Saya tunggu, Pak.” Begitu Sarti selesai menjawab, sambungan diputus dari seberang telepon.
Gayatri muncul dari tirai dengan menyeret travel bag dan tas selempang di pundak. Wanita muda berambut ikal sebahu ini telah berganti pakaian.
“Taksi udah siap, Ge.”
“Ayo, pergi. Keburu ketauan Ibu bisa gagal pergi,” ucap Gayatri sambil menyeret travel bag ke arah teras. Wanita muda ini lalu meletakkan travel bag di bagian depan motor matic.
“Tolong kunci pintunya. Entar titipin ibu kamu. Buruan!” pinta Gayatri segera saat melihat Sarti masih tertegun di depan pintu.
“Ba-baik,” balas Sarti seketika menutup lalu mengunci pintu.
“Ayo, naik! Gak usah ganti baju. Kita harus segera pergi,” ucap Gayatri seraya menghidupkan motor.
“Ta-tapi ....” Ucapan Sarti terputus karena sudah keburu motor dikebut oleh Gayatri.
“Hmm ... mau ke mana kamu, Sayang? Aku tak akan biarkan kamu pergi begitu saja.” Terdengar suara berat dari balik rimbunan bambu di samping rumah Gayatri.
Tiba-tiba kumpulan asap keluar dari dari sela-sela pepohonan bambu lalu naik dan mengumpal hitam ke angkasa. Seketika bau busuk bangkai berbaur anyir darah segar menguar.
“Bacin banget. Bau apaan, ya?” tanya seorang wanita tua berumur sekitar 70 tahunan sambil menutup lubang hidung dengan dua jari menjepit.
“Gak ngerti, Mbok. Lah wong tadi gak ada bau gini, waktu aku keluar rumah tadi. Masak bangkai tikus,” sahut Bu Ratmi sambil melangkah ke arah pintu. Dia bermaksud membukanya.
“Kok, terkunci. Ke mana Gayatri?” Wanita separuh baya ini segera mengintip dalam rumah lewat kaca jendela depan.
“Wah, cilaka ini, kalo Nduk Ge minggat. Simbok mau ngomong apa ke Juragan Kasan,” ucap Mbok Katemi, yang tak lain adalah nenek Gayatri.
“Anak kurang ajar tenan! Bikin malu keluarga saja! Mau berapa kali dia nikah? Dibilang mau diruwat, malah minggat,” ucap Bu Ratmi penuh marah. Dia benar-benar sudah habis kesabaran dengan putrinya itu.
Kedua wanita ini tak menyadari bahwa sepasang mata besar merah dengan mulut bertaring runcing menatap tajam ke arah mereka. Embusan angin dingin mengiringi kepergian pemilik mata merah. Seketika bau bangkai berbaur bau anyir darah menghilang. Aroma kematian sudah ditebar.
“Aneh! Simbok kok mencium bau bacin barusan lewat sini lalu ilang,” ujar Mbok Katemi sambil bergidik.
“Iya, lho, Mbok. Bulu kudukku berdiri ini,” sahut Bu Ratmi seraya memegang tengkuk.
Kedua wanita ini berbincang serius hingga tak menyadari kedatangan Bu Tarno sambil menenteng kunci. Wanita berdaster tersebut sengaja mengayun-ayunkan anak kunci di ujung jemari. Suara gemerincingnya seketika membuat kedua wanita yang berdiri depan pintu menoleh.
“Pasti lagi cari ini,” ucap ibunya Sarti sambil menghampiri Bu Ratmi lalu menyerahkan kunci yang dipegang.
“Loh, kok bisa sama kamu, Tun?” tanya Mbok Katemi yang memanggil nama asli dari Bu Tarno.
“Lah, iya. Anak-anak apa jadi pergi, Yu?” tanya Bu Ratmi sambil membuka pintu. Setelah pintu terbuka, mereka masuk lalu duduk di ruang tamu.
Mbok Katemi menatap tajam ke arah Bu Tarno lalu berucap,”Anakmu sengaja ngajak Ge minggat? Kamu udah tua, kok ndak mikir. Gayatri itu, kalo belum diruwat, bisa bikin celaka para pria yang mengenalnya.”
Bu Tarno yang merasa dipojokkan langsung membalas,”Wo, aku itu ndak tau kapan mereka pergi. Tau-tau, saat pulang dari warung, udah ada kunci dan kertas ini.”
Wanita ini mengambil sobekan kertas dari saku daster lalu mengulurkan kepada Mbok Katemi.
“Nih, Mi. Coba kamu baca. Apa isinya,” ujar Mbok Katemi yang buta huruf segera menyodorkan kertas ke Bu Ratmi. Beberapa saat kemudian, Bu Ratmi membaca tulisan dalam kertas.
“Bulek, titip kunci. Tolong kasih ke Ibu. Aku dan Sarti pamit pergi kerja. Sampaikan ke Ibu dan Simbah. Aku akan buktikan kalo ini bukan kutukan dan tak perlu mengorbankan diri jadi istri ke-tiga Juragan Kasan buat ruwat aku. Tertanda, Gayatri.”
Mbok Katemi yang mendengar isi surat yang dibaca oleh Bu Ratmi seketika meradang. Terdengar gigi-gigi wanita tua ini gemeretak menahan amarah. Kedua wanita di dekatnya langsung gemetar karena ngeri.
"Mi, bawa sini tali puser Ge! Anak ini, udah ndak bisa disabari lagi. Dibilang darahnya lain dari manusia normal. Harus diruwat! Jauh dari rumah, darahnya akan semakin liar,” kata Mbok Katemi lalu mulutnya komat-kamit baca mantra.