SESAT SEMALAM

1083 Words
“b*****h! Aku tak akan biarkan milikku pergi!” teriak sosok hitam yang murka karena tiap kali tangannya menghunjam ke arah kepulan, seperti masuk dalam hamparan laut samudra. Dunia seperti milik sosok hitam. Sejoli dalam kepulan asap biru kehijauan tetap diam. Suasana temaram layaknya gerhana bulan. Dua manusia di luar ruangan hanya mampu menatap dalam diam dengan menahan nyeri di tubuh karena terlempar barusan. Semua aktivitas sosok hitam dengan cairan darah kental memenuhi rongga mulut, membuat Sarti ketakutan dan beberapa kali jatuh pingsan karenanya. Apalagi bau bangkai menguar hingga ke luar ruangan, membuat Sarti pun Arifin—kru bus—mual. Dua manusia ini terpaksa menikmati kengerian tanpa mampu menghindar dengan tubuh terkapar di atas lantai. Sosok hitam berbulu panjang, meski dalam pencahayaan temaram, masih mengerikan bagi sepasang manusia normal tersebut. “Kau ... bisa kubawa,” ucap sosok hitam yang tiba-tiba tepat depan mata Sarti. Wanita muda ini histeris, tetapi tak mampu berteriak. Tangan lebar terbuka lebar di atas tubuh Sarti. Seketika tubuh Sarti mengejang, kedua matanya terbelalak, merah bagai bara api. Mulutnya mendesis seperti suara ular lalu dari sekujur tubuhnya keluar cahaya merah. Arifin hanya bisa memandang tanpa kedip. Pria tersebut berdoa dalam hati untuk keselamatan Sarti dan dua orang dalam kepulan asap. Arifin tak tahu, apa yang terjadi dengan Kadek Satya. Dia paham silsilah keluarga pria Bali tersebut. Teman karibnya sejak SMA ini adalah orang asli Bali dan tak ada keturunan Jawa. Namun yang dilihat barusan, membuatnya bingung sekaligus terkejut. Dek Satya menjelma menjadi sosok lain. Lebih tepatnya orang Jawa di jaman lampau, dari ucapannya. Kadek Satya dengan jiwa berbeda. Beberapa saat kemudian, tubuh Sarti mulai tenang dengan diselimuti cahaya warna merah kekuningan, pelan-pelan dari atas kepalanya keluar asap mengepul lalu menghilang. Bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam. Tubuh wanita muda tersebut tampak lunglai, lemas bagai tanpa jiwa. Kedua mata Arifin menatap tajam ke arah Sarti. Dia hanya bisa mengamati dari jauh, jarak mereka ada sekitar tiga meter. Kulit muka Sarti tampak pucat pasi bagai mayat. “Mbak ...!” Arifin terkejut, mulutnya sudah bisa mengeluarkan suara. Pria ini mencoba menggerakkan kedua tangan dan bisa. “Alhamdulillah ...!” teriaknya penuh haru dengan meneteskan air mata. Setelah beberapa menit badan kaku bagai patung, sekarang bisa bergerak. Dia bangkit perlahan sambil menahan nyeri di bagian belakang tubuh. Tulang belulangnya seperti retak. Berasa linu di persendian. Orang pertama yang dihampiri adalah wanita dengan tubuh diam di atas lantai dekat pintu. “Mbak Sarti ...!” panggilnya lirih sambil menepuk-nepuk pipi wanita di hadapan. Arifin kaget memegang kulit wajah Sarti yang dingin. Pria ini lalu memeriksa denyut nadinya. Hanya ada sedikit denyutan. Dia panik langsung berteriak,” Tolooong!” Beberapa orang segera datang menolong. Tubuh Sarti digotong dibawa dengan ambulans menuju rumah sakit. Arifin ikut serta karena harus mendapat perawatan pada bagian punggung dan pinggang. Sementara itu, di dalam ruangan, dua orang petugas kebersihan yang sedang berkemas untuk pergantian sif, kaget karena tiba-tiba ada dua orang terbaring di ranjang. “Mbok! Ini siapa? Bukannya Dek Satya? Yang dibawa ambulans tadi ...,” Wanita setengah baya ini mengamati wajah kedua orang yang terbaring. “Kok, tiba-tiba ada. Ini Dek Satya. Oh, ya. Mereka tadi pingsan di garasi. Aneh! Kita masuk, barusan, kosong,”ucap wanita satunya yang langsung ikut meneliti tubuh keduanya. Tak ada luka di tubuh keduanya. “Udah, Mbok. Buruan pulang. Ngeri di kamar ini.” Ucapan wanita ini langsung direspon anggukan oleh temannya. Keduanya pun gegas keluar ruangan. Sinar mentari menerobos masuk lewat jendela tak berkaca, menerpa dua tubuh yang terlelap di atas pembaringan. Tubuh Kadek Satya mendekap erat tubuh Gayatri. Tampak wanita berambut ikal dalam dekapan Kadek Satya, tidur dalam ketenangan. “Auch … pusing,” keluh Gayatri dengan separuh kesadaran. Kadek Satya seketika membuka mata, saat mendengar suara dalam dekapannya kesakitan. “Gek, kita di sini?” tanya pria berambut gondrong. Kadek Satya teringat peristiwa semalam, saat dia dan Arifin berusaha membantu dua wanita yang terjebak di ruangan. “Auch … Hah! Mas Kadek! Kita ngapain berdua di sini?” teriak Gayatri penuh kemarahan, sembari melepas dekapan Kadek Satya. Gayatri bergegas bangkit dari ranjang dengan tubuh sempoyongan. Dia berdiri di samping pembaringan. Terasa ada rasa perih di pangkal pahanya, tetapi tak dihiraukan. Gayatri segera beranjak, keluar. Kadek Satya merasa serba salah lalu menyusul wanita tersebut. “Maaf, Gek! Tiang¹ gak tau. Kita semalam sedang diteror makhluk misterius. Mata tiang masih perih sampe sekarang. Habis itu, gelap. Tau-tau di sini tidur bareng Luh Jegeg²,” jawab Kadek Satya seraya memegang pangkal punggung. “Pinggang nyeri macam kerja gali sumur. Bentar! Tiang mimpi indah.” Gayatri seketika menghentikan langkah, begitu mendengar ucapan Kadek Satya. Wanita berambut ikal ini lalu menoleh dan menatap tajam ke pria berambut gondrong di sebelah. “Mas Kadek ... mimpi apa?” tanya Gayatri antusias. “Gak panggil Ken Arok?” Kadek Satya balik tanya. “Kok ngerti Ken Arok? Mas Kadek tau dari mana?” tanya Gayatri semakin keheranan. Dia memandang pria di dekatnya dengan teliti dan mendapat kesamaan postur tubuh serta wajah dalam seperti sosok mimpi. “Kita bahas nanti, Gek³. Sekarang kita cari kru bus tiang¹ dan teman kamu,” ucap Kadek Satya mengingatkan Gayatri. “Oh, ya, ya. Ke mana mereka? Kok ninggalin kita. Cari ke mana Mas Kadek?” “Panggil Bli Dek aja. Itu sebutan mas cara Bali.” “Baik, Bli Dek. Aku ikut aja. Baru juga pertama di Bali. Udah kena musibah.” Akhirnya, Kadek Satya Gayatri ke ruang informasi. Barang-barang Gayatri dan Sarti disimpan oleh petugas di loker. Dari petugas, mereka jadi tahu bahwa keduanya sempat pingsan, setelah sempat bersitegang soal tas yang tertukar. “Maaf, boleh saya liat tasnya?” tanya Gayatri kepada petugas. Kemudian, petugas gegas menuju loker dan kembali dengan travel bag warna abu-abu. “Lah, ini benar punya saya,” ucap Gayatri semringah melihat tasnya sudah kembali. “Tapi ... di bagasi, tas kain dan kardus mie instan,”sahut Kadek Satya yang keheranan. “Oh, iya. Waktu ambil di bagasi, ini gak ada. Cuma ada tas hitam dan kardus. Ketemu di mana travel bag saya?” tanya Gayatri sambil menatap petugas. “Travel bag ini ada di dekat kalian. Saat itu kalian pingsan dan Mbak Sarti berteriak minta tolong. Kalian digotong ke ruang perawatan. Tapi Mas Arifin dan Mbak Sarti bilang, di bagasi gak ada travel bag. Padahal, kami menemukan hanya ada ini di dekat kalian,” jelas petugas yang membuat baik Gayatri maupun Kadek Satya heran. Note: 1. Tiang: Saya 2. Luh Jegeg: Gadis cantik 3. Gek: Panggilan untuk wanita muda. Jegeg (cantik)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD