“Travel bag ini ada di dekat kalian. Saat itu kalian pingsan dan Mbak Sarti berteriak minta tolong. Kalian digotong ke ruang perawatan. Tapi Mas Arifin dan Mbak Sarti bilang, di bagasi gak ada travel bag. Padahal, kami menemukan hanya ada ini di dekat kalian,” jelas petugas yang membuat Gayatri maupun Kadek Satya heran.
“Kok bisa!” seru keduanya dengan mata terbelalak. Kemudian, mereka menatap travel bag, masih sulit untuk percaya.
“Ini yang membuat bingung. Teman kalian pun ngomong hal yang sama. Tas kain warna hitam dan kardus. Kenyataannya, ini yang ditemukan oleh kami.” Ucapan petugas tersebut direspon anggukan oleh yang lain.
Kadek menoleh ke arah Gayatri lalu bertanya, ”Ini benar punya kamu, Gek?” Yang langsung dijawab anggukan oleh Gayatri.
“Baik, saya jelaskan. Biar gak bingung. Waktu naik, saya bawa travel bag abu-abu ini. Saat turun terus ambil di bagasi, travel bag ganti tas hitam dan kardus mie instan. Akhirnya sepakat, akan melaporkan kehilangan. Tiba-tiba ada asap, tau-tau, saya ada di ruangan. Aneh.”
Petugas yang mendapat penjelasan dari Gayatri, akhirnya menggeleng-gelengkan kepala. Kadek Satya beranjak menghampiri tempat persembahyangan. Kemudian, kepada salah satu petugas, dia bertanya, "Semalam udah mebanten¹?”
“Udah, Bli. Saya sendiri. Apa ada yang kurang? Seperti biasa, tuh,” jawab petugas tersebut.
“Ya udah. Berarti ada hal lain yang membuat begini,” balas Kadek Satya. “Oh, ya. Aripin ke mana?”
“Loh, Bli Dek ada di ruang perawatan, kan?” Petugas yang ditanya pun semakin heran dengan pertanyaan Kadek Satya.
“Iya. Kami pingsan dan tiba-tiba Aripin dengan teman dia gak ada. Ada yang tau?”
“Dibawa ke rumah sakit. Yang cewek kritis, Bli Dek,” jawab salah satu petugas.
Baik Kadek Satya maupun Gayatri seketika terkejut mendengarnya. “Kenapa gak ngomong dari tadi. Gek, ayo kita ke sana!”
“Travel bag sama tas Sarti, gimana Bli?” tanya Gayatri karena khawatir barangnya bisa hilang kembali.
“Kita bawa dong,” jawab Kadek Satya yang segera mengangkat tas dan travel bag.
“Travel bag, biar aku bawa, Bli,” ucap Gayatri dengan cekatan mengambil alih lalu menarik tuas dan menyeretnya. Kadek Satya tersenyum menanggapi perilaku Gayatri barusan.
Gayatri mengikuti Kadek Satya ke tempat parkir lalu berhenti pada sebuah angkutan kota.
“Barang taruh belakang. Gek, kamu duduk depan,” kata Kadek Satya sambil menaikkan travel bag dan tas lalu menutup pintu penumpang.
“Aku sama siapa, Bli?”
“Wah, udah lancar panggil Bli. Bisa jadi orang Bali, nih,” sahut Kadek Satya lalu tersenyum lebar.
Gayatri berdiri termangu menatap Kadek Satya. Pikiran wanita tersebut masih bingung dan tak ingin mendapat kejadian tak mengenakkan kembali.
"Ayo, naik!” pinta pria berambut gondrong ini sambil membuka pintu depan untuk Gayatri.
“Sopirnya?” tanya Gayatri dengan ekspresi khawatir.
“Dengan Bli Dek, dong. Emang mau disopiri siapa lagi?” Kadek menepuk d**a lalu tertawa.
“Oh ... Bli Dek nyopir angkot juga?” tanya Gayatri sambil naik mobil dengan hati lega. Sedangkan Kadek Satya langsung beranjak ke tempat kemudi lalu menghidupkan mobil.
“Tiang³ pulang pergi kerja naik angkot. Kalo lagi gak jadi kondektur. Sekalian nyari penumpang,” jawab Kadek Satya seraya memutar kemudi. Pandangan mata elangnya lurus ke arah depan.
“Wah, hebat, Bli,” balas Gayatri sambil mengacungkan jempol.
Angkot mulai beranjak meninggalkan terminal. Sepanjang perjalanan Gayatri beberapa kali mengubah posisi duduk. Wanita muda ini tampak tak nyaman dengan tubuh bagian bawahnya. Kadek Satya yang tahu hal tersebut segera bertanya,” Ada apa, Gek? Sakit?”
Gayatri seketika tersipu malu. Dia yang pernah berumah tangga sebanyak tiga kali, paham dengan yang dialami oleh tubuh bagian bawah. Akhirnya, ada kesempatan untuk mencari penjelasan tentang mimpi Kadek Satya semalam.
“Maaf. Bli semalam mimpi apa?” tanya Gayatri sembari mengamati ekspresi pria di sebelahnya. Kadek Satya tak segera menjawab. Pria ini tampak mengambil ponsel dari laci dashboard lalu menghidupkan dan meletakkan kembali.
Pria gagah di sebelahnya hanya melempar senyum sekilas dan tampak salah tingkah. Gayatri juga enggan mendesak karena telah mempunyai dugaan tersendiri tentang mimpi pria di sebelahnya ini. Beberapa saat diam, Kadek Satya mulai menepikan angkot di tempat yang lengang. Sebelum berbicara, pria beralis lebat ini mengusap wajah dengan telapak tangan, lalu menoleh ke arah Gayatri dan tersenyum.
“Mimpi indah bagi Bli. Karena belum nikah dan mimpi dengan wanita yang Bli suka. Maunya mimpi berlanjut. Syukur-syukur berlanjut ke alam nyata,” ucap Kadek Satya dengan gelagat sedikit ganjil.
Gayatri yang mendengar ucapan Kadek Satya, bisa sedikit menduga arah pembicaraan pria ini. Wanita ini seketika merona kedua pipinya.
“Apakah kita ...,” Pertanyaan Gayatri seketika terputus saat mendengar ada suara ponsel berdering.
Kadek Satya gegas merogoh telepon dari laci dashboard. Pria bermata elang tersebut melihat nama yang tertera di layar. Ada senyum tipis di bibir.
“Ken-ken²?” sapa Kadek Satya kepada si penelepon sambil menghidupkan speaker agar Gayatri bisa ikut mendengar.
“Gawat, Dek. Kamu di mana?” Suara Arifin terdengar cemas.
“Di angkot, mau ke rumah sakit. Udah dekat. Bentar lagi sampe,” jawab Kadek lalu memutuskan hubungan telepon. Dia mulai mengemudikan kendaraan kembali.
“Ceritanya nanti, Gek. Sambil ngopi, biar rileks,” ucap Kadek Satya sambil melirik wanita di samping dengan mengerlingkan mata. Kini, kedua mata pria berambut gondrong tersebut fokus ke depan.
Gayatri yang telah dibuka mata batin sejak balita oleh Mbok Kasemi, bisa merasakan bahwa pria di sebelah ada keterikatan emosi dengannya. Namun, Gayatri tak tahu pasti tentang hubungan mereka.
“Ya, Bli. Gak papa. Nanti aja,” balas Gayatri dengan menoleh sekilas ke arah Kadek Satya.
Di saat itu pula, Gayatri melihat penampakan sebuah keris di pinggang sang pria.
“Ada apa, Gek?” tanya Kadek Satya yang merasa sedang diawasi oleh Gayatri.
Seketika wanita ini terkejut, lalu segera tersadar dari lamunan. “Eh ... eh, udah sampe, Bli?” tanyanya gugup.
Kadek Satya yang mendengarnya seketika tertawa. “Kok balik tanya. Pasti udah terpesona dengan tiang, kan?”
Gayatri jadi salah tingkah oleh ucapan pria di sebelahnya. Untuk menutupi kegugupan, dia bertanya,” Bli Dek apa punya keris?”
“Ada satu. Keris pusaka dari bayi. Bisa diasah saat setelah menikah,” jawab usil Kadek Satya yang membuat Gayatri tersipu malu.
“Apaan, sih, Bli! Keris beneran, maksudku,” jelas Gayatri dengan mimik menahan geli.
“Pertanyaan kamu, aneh, Gek. Tiang itu kondektur, buat apa punya keris?”
Gayatri hanya menganggukkan kepala mendapat jawaban dari Kadek Satya. Dia menduga bahwa ada kesamaan darah di antara mereka. Terbukti dengan penampakan keris gaib barusan. Gayatri berharap, Kadek Satya adalah pria terakhir yang diharapkan. Simbahnya tak mungkin melewatkan akan hal tersebut karena mata batin beliau pasti tahu lalu kenapa pula, menyuruhnya menikah dengan Juragan Kasan?
Gayatri tersenyum saat membayangkan, jika dirinya jadi menikah dengan Juragan Kasan, sebagai istri ketiga. Pria dengan dua istri dan dua puluh orang anak, membuat senyum Gayatri berubah menjadi tawa kecil.
“Gek, apa yang lucu? Belum juga cerita, udah ketawa,” sahut Kadek Satya seraya menoleh ke Gayatri sekilas.
“Oh, maaf, Bli. Bukan itu. Memang mimpinya lucu?” tanya Gayatri memancing omongan karena sudah tak sabaran.
Note:
1. Mebanten: Sembahyang dengan menaruh sesajian berupa bunga dsb dalam wadah janur (canangsari)
2. Ken-ken: Gimana
3. Tiang: Saya