Bab 4 - Kamu Tidak Perlu Berpura-pura Kuat Di Hadapanku

2497 Words
“Apa kamu itu manekin yang ada di mall?” Sindiran pedas yang menyakitkan telinga Vania bergulir dari bibir pria pemilik sorot mata nan angkuh yang sedang berdiri di depan pintu kamar hotelnya. Wajah dingin pria itu memandang lekat sosok Vania yang sama sekali tidak beranjak dari tempatnya untuk mempersilakannya masuk ke kamar tersebut. “Apa kamu berniat berdiri sampai besok pagi di sana?” sindir Galaksi lagi. Vania mengeratkan rahangnya. Kesal karena pria itu terus-menerus memancing kemarahannya, tetapi ia ingat dengan tujuannya ke tempat tersebut. Akhirnya ia terpaksa membuka lebar pintu kamarnya. Seulas senyuman penuh kemenangan terbit di bibir Galaksi. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar tersebut, sedangkan asistennya, Arsen Sebastian menunggunya di luar kamar tersebut tanpa diperintah. Helaan napas dalam-dalam bergulir dari bibir Vania sebelum ia menutup pintu kamar tersebut. Degup jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Pria itu telah memasuki ruang tidur utama kamar tersebut lebih dulu daripada dirinya. ‘Sebenarnya apa yang diinginkan Galaksi? Tidak mungkin kan dia tidak tau kalau istri Cakra itu aku? Pasti dia sudah menyelidikinya sebelum ke sini,’ batin Vania mencoba menelaah pikiran mantan suaminya itu. “Apa yang kamu lakukan di sana?” Suara Galaksi kembali menyita perhatian Vania. Wanita itu berbalik badan dan sangat kaget saat mendapati mantan suaminya itu telah berdiri di hadapannya. “Apa kamu tidak bisa bersuara dulu sebelum berdiri di belakangku?” protes Vania yang berusaha menutupi rasa gugupnya. Galaksi tidak menanggapi hal tersebut. Pria itu mengembuskan napasnya dengan pelan, lalu berjalan masuk ke dalam ruang tamu yang merupakan bagian dari kamar hotel tersebut. Kamar presidential suite yang ditempati mereka saat ini memiliki fasilitas ruang tamu dan ruang tidur yang hanya terpisahkan oleh sekat dinding. Vania memperhatikan gerak-gerik Galaksi dengan seksama. Pria itu mendaratkan bokongnya di atas sofa empuk dan menopang wajahnya dengan satu siku tangan yang bersandar pada lengan sofa tersebut. Mantan suaminya itu memandangnya dengan lekat hingga membuat Vania semakin gugup. Keheningan yang tercipta di antara mereka membuat waktu terasa semakin panjang. Ruangan yang dipenuhi dengan wangi semerbak mawar yang menyebar di dalam ruangan itu membuat jantung Vania berdegup tidak beraturan. Terlihat sebuah ranjang berukuran king size yang berada di dalam ruang tidur yang berada di balik dinding ruang tamu tersebut. Dari ekor matanya, Vania dapat melihat taburan kelopak mawar merah tersebar di atas ranjang tersebut. Kamar hotel yang dihias layaknya seperti kamar untuk pasangan bulan madu itu malah membuat Vania semakin salah tingkah. Ia meneguk salivanya dengan kasar. Suasana romantis yang dipersiapkan pihak hotel sama sekali tidak membuatnya merasa kagum. Justru ia malah sangat tertekan karena situasi yang canggung tersebut. Sejak tadi pria pemilik mata elang yang tajam itu terus mengawasi dirinya seolah ingin menelanjanginya dengan tatapannya. Lidah Vania terasa kelu. Ia menjadi sangat canggung dengan situasi yang membuatnya seolah sedang dipermainkan oleh mantan suaminya tersebut. “Sepertinya ada yang ingin kamu tanyakan padaku,” ucap Galaksi membuka pembicaraan mereka. Nada santai yang terdengar dari mantan suaminya itu membuat kegugupan Vania berangsur-angsur menghilang. Ia tidak menyangka jika mantan suaminya itu akan seterbuka itu berbicara dengannya. “Sebenarnya apa tujuanmu menawarkan bisnis dengan suamiku?” selidik Vania yang tidak ingin menutupi rasa ingin tahunya. Daripada menanggapi pertanyaan itu, Galaksi malah mengulum senyumnya. Ia menggeleng kecil, lalu tersenyum sinis. “Apa ada yang lucu? Sejak tadi aku lihat kamu terus seperti itu. Apa kamu pikir sangat menyenangkan bisa melihat kebodohanku?” cetus Vania dengan emosi yang mulai tidak terbendung atas sikap Galaksi yang tampak meremehkannya. “Tidak. Tapi—” “Tapi apa?” Vania langsung menyela sebelum Galaksi menyelesaikan ucapannya. Ia benar-benar dibuat bingung dengan sikap mantan suaminya tersebut. “Kamu benar-benar tidak berubah, Vania,” ucap Galaksi tanpa mengalihkan pandangannya dari mantan istrinya itu. Vania terdiam sejenak. Menelaah maksud dari perkataan pria itu padanya. “Kamu selalu tidak bisa menyembunyikan perasaanmu. Ekspresimu terlihat dengan jelas di wajahmu. Sebenci itukah kamu denganku?” lanjut Galaksi dengan netra yang menyipit tajam. Tersirat sebuah kesedihan dalam sorot matanya tersebut, tetapi Vania tidak mengetahuinya. “Siapa bilang aku membencimu?” cetus Vania dengan acuh tak acuh. Ia tidak ingin mengakui hal tersebut, tetapi ia memang tidak sebenci itu dengan suaminya. Bagaimana bisa membencinya? Mereka saja jarang bertemu satu sama lain. Saat ia masih menjadi istrinya dulu, mereka juga hanya bertegur sapa sesekali dalam seminggu karena kesibukan pria itu hingga Vania berpikir jika pernikahan yang dilakukannya sama sekali tidak berarti. Hanya status Vania saja yang berubah waktu itu. Ekspresi Galaksi berubah sedikit cerah, tetapi perlahan wajahnya berubah mendung ketika wanita itu kembali berkata, “Aku cuma tidak suka dipermainkan seperti ini. Hubungan kita sudah berakhir lima tahun yang lalu, tapi apa maksudmu mengajukan syarat seperti itu kepada suamiku? Apa kamu sengaja ingin menunjukkan kalau kamu memiliki segalanya hanya dengan menjentikkan jarimu?” “Apa aku salah melakukannya?” Galaksi menaikkan satu alisnya ke atas. Terlihat jika ia tidak suka dengan penilaian wanita itu terhadap dirinya. “Bukan salah atau benar, tapi kenapa kamu menawarkan bisnis dengan syarat yang aneh? Apa kamu kekurangan seorang wanita sampai harus meminta kehangatan dari istri orang lain?” timpal Vania dengan sengit. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya untuk meluapkan kekesalannya tersebut. Padahal sebelumnya ia telah berencana untuk berdiskusi dengan baik, tetapi setelah tahu jika mitra bisnis suaminya adalah Galaksi, ia merasa hanya menjadi bahan permainan saja oleh mantan suaminya itu. Sejujurnya Vania tidak masalah jika Galaksi menawarkan proyek kerja sama dengan Cakra, tetapi syarat yang diajukan mantan suaminya itu benar-benar tidak bisa ditolerirnya. Lagipula ia merasa aneh dengan permintaan Galaksi tersebut, selama ini ia tidak pernah melihat pria itu tertarik padanya. Selama pernikahannya dengan pria itu, Vania tidak pernah disentuh seujung kuku pun dan sekarang tiba-tiba Galaksi ingin Vania melayaninya? Sungguh aneh, pikirnya. Vania menyilangkan kedua lengannya di d**a dan memalingkan wajahnya dari mantan suaminya. “Kalau kamu ingin melihat kebodohanku dan menghinaku, kamu sudah berhasil, Galaksi,” cicitnya dengan berusaha meredam buliran bening yang telah menganak sungai di pelupuk matanya. Suara helaan napas bergulir dari bibir Galaksi. Tiba-tiba pria itu beranjak dari tempatnya, lalu melangkah mendekati Vania. Wanita itu terkesiap saat tiba-tiba tangan pria itu meraih wajahnya. “Dasar gadis bodoh,” desis Galaksi. Vania menatap wajah pria itu. Entah kenapa meskipun pria itu sedang meledeknya, tetapi ia tidak merasa pria itu terlihat menyebalkan seperti sebelumnya. ‘Apa dia dulu pernah selembut ini berbicara denganku? Apa aku sendiri yang tidak pernah menyadarinya?’ gumamnya di dalam hati. “Apa secinta itu kamu dengan pria berengsek seperti dia? Sampai kamu rela mengorbankan dirimu seperti ini?” Pertanyaan yang terucap dari bibir Galaksi kembali menyentakkan pikiran Vania ke dunia nyata. ‘Ck, apa yang sudah aku pikirkan? Bisa-bisanya aku pikir kalau dia sudah berubah?’ batin wanita itu dengan cepat menyadarkan dirinya untuk tidak terlena dengan pikirannya sendiri. Dengan cepat Vania menepis tangan Galaksi dari wajahnya. Netranya menyalang tajam. “Sebenarnya apa tujuanmu melakukan ini, Galaksi? Apa kamu hanya ingin membalasku?” cecarnya dengan dingin. “Membalasmu?” Kening Galaksi mengernyit. “Kamu berbuat seperti ini karena ingin membalas perbuatanku yang sudah membohongimu dulu, kan?” terka Vania yang langsung mengambil kesimpulannya sendiri tanpa mendengar penjelasan Galaksi lagi. Dulu Vania memang sudah membohongi Galaksi dengan menutupi hubungannya dengan Cakra. Pria itu tidak tahu menahu tentang perselingkuhannya hingga Vania mengajukan perceraian dengannya dan mengungkapkan kepadanya bagaimana menderitanya dia karena harus berpisah dengan pria yang ia cintai demi menikahi Galaksi waktu itu. Vania berpikir jika perbuatan Galaksi hari ini adalah tindakan yang disengaja dan telah direncanakan. Ia berpikir jika pria itu hanya ingin membuktikan seperti apa cinta yang diagungkan Vania padanya dulu. Janji kebahagiaan yang diucapkan Vania saat perpisahan mereka dulu ternyata tidak terjadi. Nyatanya, sekarang ia harus menjadi alat pertukaran bisnis suaminya. Hah! Rasanya Vania ingin mentertawakan kebodohan dan keangkuhannya dulu. “Baiklah, aku akui kalau aku dulu terlalu sombong. Sekarang kamu sudah puas kan?” Vania mendelik tajam ke arah mantan suaminya itu. Mendengar pengakuan tersebut, Galaksi tertegun sejenak. Tidak terlihat kesenangan yang terlukis di wajah pria itu. Vania malah merasa mantan suaminya itu sedang mengasihaninya dan membuatnya merasa lebih menyedihkan. Tak terasa cairan kristal menetes dari pelupuk matanya, Vania sungguh merasa buruk dan terhina karena perlakuan Cakra terhadap dirinya hingga ia harus menjadi sosok yang menyedihkan di hadapan mantan suaminya kini. Ia tidak bisa membendung kesedihan dan rasa sakit yang diterimanya tersebut. Tetes demi tetes cairan kristal berjatuhan dari pelupuknya. Rasanya dadanya bertumpuk dengan rasa sakit yang sedang menggerogoti dirinya. Vania menundukkan wajahnya. Ia tidak ingin Galaksi melihat tangisannya. Sudah cukup pria itu mengingatkan keangkuhannya dulu. Vania tahu jika tidak seharusnya ia menyalahkan Galaksi, tetapi harga dirinya yang tinggi tidak mengizinkannya untuk memperlihatkan kelemahannya saat ini. Bibir Vania terkatup rapat. Ia tidak ingin memperdengarkan isak tangisnya kepada mantan suaminya itu, tetapi tiba-tiba tangan besar pria itu bergerak menyusuri wajah Vania yang masih tampak cantik di bawah siraman lampu kuning temaram yang eksotis. Buliran bening yang mengalir di kedua belah pipi Vania terlihat seperti butiran berlian yang berharga bagi Galaksi. Netra pria itu meneliti raut wajah Vania dengan seksama. Warna bola mata cokelat gelap yang besar dengan hiasan bulu mata yang lentik pada kelopak atasnya adalah bagian terindah dari wajah Vania menurut pengamatannya. Pandangan Galaksi terhenti pada bibir ranum yang sedang merekah dengan indah di hadapannya. Sayangnya, tatapan Vania selalu dipenuhi kebencian padanya. Mengetahui kenyataan tersebut membuat d**a pria itu bergemuruh dengan hebat. “Apa yang kamu—" Sebelum Vania sempat melayangkan protesnya, tangan Galaksi telah meraih belakang kepala wanita itu dan membenamkan wajah Vania di dadanya yang bidang tersebut. “Lepaskan aku, Galaksi Bamantara!” Vania memukul d**a pria itu dengan kedua kepalan tangannya, tetapi pria itu masih menahan belakang kepalanya hingga ia dapat mencium aroma musk yang menguar dari tubuh mantan suaminya itu. “Menangislah kalau memang mau menangis. Kamu tidak perlu berpura-pura kuat di hadapanku, Vania,” ucap Galaksi dengan suara yang terdengar lembut. Vania tercengang. Gerakan tangannya yang hendak memukul d**a Galaksi terhenti seketika. Kedua netranya yang basah mengerjap dengan penuh pertanyaan. Ia mengemeretakkan giginya dengan kuat. ‘Sial! Kenapa air mataku malah tidak bisa berhenti mengalir?’ geramnya di dalam hati. Padahal dulu pria itu tidak pernah bersikap seperti ini dengannya. Entah apa yang merasuki mantan suaminya tersebut. Akan tetapi, tindakan kecil dan ucapan yang terdengar menenangkannya itu berhasil meluruhkan pertahanannya. Alhasil, tangisan Vania pecah seketika. Ia tidak bisa lagi membendung kesedihannya di hadapan mantan suaminya itu. Ia menangis sejadi-jadinya untuk melimpahkan rasa sakit di dalam dadanya yang bergemuruh dengan hebat. Galaksi tetap berdiri di tempatnya dan menepuk pelan punggung Vania yang bergetar. Pria berwajah dingin itu tidak mengucapkan sepatah kata pun dan membiarkan wanita itu meluapkan emosinya sepuasnya. Sesekali Vania juga memukul dadanya sebagai bentuk pelampiasannya akan sesuatu hal. Berselang beberapa menit kemudian, tangisan Vania pun terhenti. Semburat merah menghiasi wajah wanita itu dengan ujung hidung yang terlihat memerah sehabis menangis. Vania melirik ke arah jas dan kemeja Galaksi yang telah kusut dan basah karena ulahnya tadi. “Maaf sepertinya aku sudah merusak pakaianmu,” cicitnya dengan wajah penuh penyesalan. Masih tersisa jejak air mata di kedua belah pipinya. Wanita itu segera menarik dirinya dari d**a Galaksi, tetapi tangan pria itu kembali menghapus cairan kristal yang masih menggenang di sudut matanya. “Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Hanya kemeja saja,” timpal Galaksi. Pria itu masih mengamati Vania dengan lekat. Sebenarnya Vania cukup kaget dengan perlakuan lembut mantan suaminya itu. Ia tidak pernah tahu jika Galaksi ternyata memiliki sisi semanis ini sebelumnya. Selama ini ia hanya pernah mendapatkan tatapan acuh tak acuh darinya. Ia berpikir apakah pria itu mungkin sedang tersenyum di balik topengnya saat ini? Vania tahu jika tujuannya ke hotel itu adalah menyerahkan tubuhnya sebagai pemuas hasrat mantan suaminya itu. Sebenarnya ia tidak terlalu percaya pria itu menginginkannya mengingat selama setahun menikah dengannya, Galaksi tidak pernah terlihat tertarik dengannya. Perlahan Vania menepis tangan mantan suaminya itu dari wajahnya. “Sekarang kamu sudah lihat seperti apa diriku. Aku tidak ingin berbasa-basi dengan menceritakan kehidupanku dan juga tidak ingin meminta belas kasihmu. Mari kita lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan,” tuturnya dengan nada dingin. Vania tidak ingin terus-menerus bersedih dengan keadaannya. Sudah cukup ia mempermalukan dirinya sendiri dengan menangis di depan Galaksi tadi. “Galaksi, aku tau kalau kamu tidak serius menawarkan kerja sama dengan suamiku, bukan?” selidik Vania mencoba menelaah hal yang menjadi pertanyaannya sejak tadi. Vania mengamati raut wajah Galaksi yang hanya menanggapi dengan tersenyum tipis. “Sudah kuduga kalau kamu sengaja. Tidak mungkin kamu menginginkanku,” lanjutnya lagi dengan berdesis sinis. “Siapa bilang?” cetus Galaksi yang membuat Vania berpaling kepadanya lagi. Wanita itu terperangah. Ia tidak tahu jika pria itu akan serius dengan hal tersebut. “Kamu bercanda kan?” “Tidak. Bisnis adalah bisnis. Aku tidak pernah bercanda dalam hal itu,” timpal Galaksi yang membuat Vania tercengang. Vania kembali teringat dengan penghinaan yang dilakukan Cakra hingga membuatnya sampai ke titik ini. Membuat emosi di dalam diri Vania kembali bergejolak. Ia meremas ujung dress-nya dengan erat untuk menahan buliran kristal yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Baiklah kalau memang itu maumu,” gumam Vania. Wanita itu menarik napasnya dalam-dalam untuk membuang semua rasa malu di dalam dirinya. Tangannya meraih ritsleting dress-nya dan perlahan menurunkannya. Akan tetapi, tiba-tiba Galaksi mendekatinya dan membuat gerakan tangannya terhenti. “Apa yang sudah kamu lakukan, Vania?” desis pria itu dengan sengit. Netra elangnya menyalang tajam seperti hendak menerkamnya. “Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” hardik Vania dengan emosi yang tak terkendali lagi. Ia sudah membuang seluruh harga dirinya malam ini demi suaminya. Demi tawaran sampah itu! Rahang kokoh Galaksi mengerat saat melihat cairan kristal yang kembali bergulir dari netra wanita itu. Hidungnya mendengkus kasar, lalu ia melepaskan jasnya sendiri. Menutupi tubuh Vania yang hampir melepaskan busananya tersebut dengan jas buatan tangan miliknya. “Apa kamu bodoh, Vania? Kamu pikir aku adalah pria berengsek sama seperti suamimu itu,” desis Galaksi dengan dingin. Terlihat sinar kemarahan pada kedua bola matanya. ‘Kenapa dengannya? Apa aku sudah salah? Bukankah ini yang dia mau?’ batin Vania dengan pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sungguh, ia merasa dirinya hampir gila karena perintah dan ancaman Cakra padanya hingga ia tidak mengerti di mana kesalahannya sampai membuat Galaksi semarah itu dengannya. Vania akui jika dirinya memang bodoh karena mau menuruti permintaan konyol suaminya itu, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain, terlebih nasib Kania berada di tangan Cakra. Jika ia tidak memenuhi permintaan tersebut, maka Cakra mungkin benar-benar akan memasukkan adiknya ke rumah sakit jiwa dan Vania tidak mau hal itu sampai terjadi. Kania adalah tanggung jawabnya setelah kepergian orang tua mereka. “Cakra Pratama bukan orang yang pantas kamu cintai sampai seperti ini, Vania!” cetus Galaksi dengan penuh amarah. Vania mendongakkan wajahnya kaget. Galaksi tidak pernah menunjukkan emosinya secara nyata seperti ini sebelumnya. “Gadis bodoh, dia sudah mempermainkanmu selama ini dan kamu masih saja terus memujanya? Apa kamu tidak pernah mencurigainya sedikit pun, Vania? Sadarlah! Dia adalah pembunuh orang tuamu!” Vania terperangah. Netranya terbelalak lebar mendengar pernyataan yang diucapkan mantan suaminya itu. Buliran kristal terus bergulir dari sepasang matanya yang terlihat sembap. “A-Apa kamu bilang?” tanyanya dengan ekspresi tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD