Bibir Vania bergetar pelan. Netranya menatap Galaksi dengan tatapan tak percaya. Masih dengan pandangan yang berkabut, Vania berkata dengan lirih, “Pembohong.”
Galaksi memegang pelipisnya yang berdenyut, lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Sampai kapan kamu mau larut dalam kebodohanmu itu, Vania?”
“Aku tau kalau aku bodoh, tapi tidak perlu terus kamu ingatkan seperti itu,” balas Vania dengan sengit. Kesal karena pria itu berulang kali mengatakan hal yang sama padanya.
Vania tahu kalau dirinya bodoh karena mau menuruti keinginan suaminya untuk datang ke hotel ini, tetapi ia sangat tidak suka dengan sikap Galaksi yang berbicara seolah telah mengetahui semua tentangnya. Mantan suaminya itu tidak tahu menahu betapa terhina dirinya karena melakukan hal ini.
“Kamu juga tidak usah membohongiku hanya untuk memperburuk hubunganku dengan Cakra,” imbuh Vania dengan amarah yang terlihat jelas dari netranya yang basah. Ia melepaskan jas Galaksi yang menutupi tubuhnya tersebut, kemudian menaikkan kembali ritsleting dress-nya.
Vania sama sekali tidak mempercayai perkataan mantan suaminya itu. Meskipun ia tahu jika sikap Cakra padanya telah berubah menjadi dingin akhir-akhir ini, tetapi membunuh orang tuanya? Vania tidak mempercayainya sedikit pun.
“Sudah kuduga kalau kamu tidak akan percaya, tapi … bagaimana kalau dia telah berkhianat di belakangmu? Apa kamu akan terus percaya seperti itu dengannya?” Galaksi kembali mengucapkan kalimat yang membuat Vania tercengang.
Kedua alis wanita itu bertaut dalam. Menatap Galaksi dengan tatapan yang diselimuti kebencian dan amarah yang menyatu menjadi satu. Ia sungguh tidak mengerti apa alasan pria itu terus mengatakan hal yang menjelekkan suaminya.
Vania memungut kembali dokumen kontrak kerja sama yang tergeletak di lantai kamar hotel. Saat ingin menurunkan ritsleting dress-nya tadi, ia sempat membuangnya begitu saja ke lantai bersama tas tangannya.
“Sepertinya aku sudah membuang waktuku dengan percuma di sini. Kalau kamu tidak berniat menandatangani kontrak ini ataupun memenuhi tawaranmu itu, sebaiknya hentikan omong kosongmu itu, Galaksi,” peringat Vania, lalu melempar dokumen tersebut ke wajah mantan suaminya tersebut.
Dokumen tersebut pun berceceran keluar. Tanpa sengaja ujung lembaran kertas yang tipis tersebut menggores kulit di bawah mata pada wajah Galaksi. Pria itu hanya memejamkan netranya sejenak, lalu mengusap luka tersebut dengan ujung jemarinya.
Vania terhenyak. Ia tidak berniat melukai wajah pria itu. Ia hanya kesal dengan sikap dan ucapan mantan suaminya tersebut. Akan tetapi, ia merasa cukup menyesal telah melempar dokumen itu sekarang. Tidak seharusnya ia melakukan hal tersebut.
“Maaf, aku—”
Galaksi mengangkat tangannya; menyela kalimat Vania. “Kamu benar. Tidak seharusnya aku mencampuri urusanmu. Sepertinya aku sudah membuatmu semakin membenciku,” ucapnya dengan nada kecewa.
Vania tertegun. Entah kenapa ia merasa ekspresi Galaksi membuat penyesalan di dalam hatinya semakin dalam. Ia dapat melihat kesedihan yang menyelimuti sepasang netra elang pria itu.
“Kalau kamu berpikir aku ingin merusak hubunganmu dengan pria itu, sepertinya kamu salah besar. Untuk apa aku melakukannya setelah enam tahun berlalu? Apa kamu pikir aku sesenggang itu?” lanjut Galaksi sembari tersenyum miris.
Sebelum Vania sempat membalas perkataan itu, Galaksi telah berjalan meninggalkannya yang masih berdiri mematung di tempatnya.
‘Galaksi benar. Dia tidak memiliki alasan untuk melakukannya, tapi kenapa juga dia harus memberitahuku tentang hal ini? Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Galaksi?’ batin Vania tertegun.
Terdengar suara pintu yang dibuka di belakang Vania. Ia berpikir jika Galaksi telah meninggalkan ruangan itu, tetapi ternyata tidak. Pria itu kembali berjalan masuk bersama asistennya, Arsen. Mantan suaminya itu menyerahkan sesuatu kepada Vania.
“Ini adalah beberapa bukti atas kejahatan yang dilakukan suamimu itu. Kalau menurutmu hal ini juga tidak cukup untuk membuktikan perkataanku, mungkin kamu bisa melihat sendiri dengan matamu tentang pengkhianatan yang dilakukannya saat ini,” terang Galaksi.
Ekspresi pria itu kembali terlihat dingin. Kelembutan yang sempat ia berikan kepada Vania sebelumnya telah memudar dan membuat Vania berpikir jika tadi hanyalah halusinasinya saja.
Vania memandang lurus dokumen di tangannya yang diberikan Galaksi. Muncul sebuah ketakutan di dalam hatinya. Ia takut menghadapi kebenaran yang diungkapkan mantan suaminya itu terhadap Cakra, tetapi ia perlu mengetahui hal tersebut agar dirinya tidak terus larut dalam kesalahan.
Akhirnya perlahan Vania membuka dokumen tersebut dan melihat beberapa bukti terkait kejahatan yang dibicarakan Galaksi sebelumnya.
‘Bagaimana bisa ….’ Vania tercengang melihat tulisan yang terpampang nyata di depan matanya.
Saham perusahaan Gandhi Jaya yang mengatasnamakan dirinya telah berpindah kepemilikan dengan nama Cakra Pratama!
Padahal Vania tidak merasa melakukan pengalihan nama tersebut sebelumnya. Ia memang memberikan kuasa kepada suaminya untuk mengelola perusahaan peninggalan ayahnya tersebut, tetapi ia tidak menyerahkan saham tersebut kepada pria itu.
Beberapa aset pribadi Vania memang telah dipegang oleh Cakra karena pria itu membutuhkan hal tersebut untuk dijadikan jaminan saat mengajukan pinjaman modal ke bank. Akan tetapi, Vania tidak pernah sekali pun menyerahkan saham warisan ayahnya kepada suaminya itu.
Wajah Vania memucat. “Ini … tidak mungkin,” gumamnya dengan lirih. Ia memegang pelipisnya yang berdenyut perih. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi membantah kebenaran tersebut. Bodoh memang adalah kata yang tepat baginya.
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri.”
Suara bariton Galaksi menyita perhatian Vania kembali. Sorot mata almond yang basah tersebut menatap Galaksi dengan penuh pertanyaan. Meskipun bibir Vania terkatup rapat, tetapi pria itu seolah dapat memahami maksud dari tatapan tersebut.
Galaksi melirik ke arah Arsen sejenak, lalu mengisyaratkan asistennya tersebut untuk memberikan sesuatu kepada Vania.
Perhatian Vania pun teralihkan ke arah asisten kepercayaan mantan suaminya tersebut. Netranya mengamati Arsen yang dengan cepat memahami perintah bisu dari Galaksi. Pria itu segera merogoh sesuatu dari dalam saku celananya, lalu menyerahkan sebuah benda kecil yang merupakan alat perekam suara ke tangan Vania.
“Ini adalah bukti rekaman yang kami dapatkan dari mantan bawahan ayah Anda waktu itu, Nyonya. Di sini Anda bisa mendengar pengakuan suami Anda dengannya terkait kecelakaan mobil yang dialami orang tua Anda,” terang Arsen.
Wajah Vania berubah pias. Ia menggenggam erat benda kecil tersebut. Ia tidak tahu bagaimana dan dari mana Galaksi dan asistennya itu mendapatkan semua bukti tersebut, tetapi satu hal yang ia yakini adalah ia takut menerima semua kebenaran itu.
“Semua keputusan berada di tanganmu, Vania. Aku tidak bisa memaksamu untuk mempercayai ucapanku dan asistenku,” ucap Galaksi yang dapat melihat keraguan hati mantan istrinya itu.
“Kenapa?” Bibir Vania terlihat kembali bergetar pelan. Bola mata yang dipenuhi cairan kristal itu memandang Galaksi dengan penuh pertanyaan.
Kedua alis Galaksi bertaut hingga bibir Vania kembali melanjutkan perkataannya, “Kenapa kamu melakukan semua ini?”
Kilat mata Galaksi tampak meredup. Bibir maskulinnya mengembus napas pelan. “Aku hanya tidak ingin kamu terus diperalat dan dibohongi olehnya, Vania,” ucapnya dengan nada yang terdengar sendu.
“Aku tidak memintamu untuk mempercayaiku. Tapi, janganlah sekali-kali kamu menutup matamu untuk melihat kebenaran itu,” tukas Galaksi lagi.
Setelah mengatakan hal itu, mantan suami Vania itu tidak lagi mengatakan apa pun. Pria itu melangkah keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan Vania yang mulai larut dalam kebimbangan dan ketakutannya.
Arsen mengikuti tuannya keluar dari ruangan tersebut, tetapi sebelum meninggalkan kamar itu, pemuda itu sempat berkata, “Kamar 1012. Suami Anda ada di kamar itu, di hotel ini juga. Anda bisa memeriksa sendiri apakah ucapan atasan saya benar atau salah, Nyonya.”
Asisten Galaksi tersebut meletakkan sebuah kartu akses kamar di atas meja kecil yang berada tidak jauh dari tempat Vania berdiri. “Saya harap Anda tidak terus membenci dan salah paham dengan Pak Galaksi. Dia tidak seperti yang Anda pikirkan,” pungkasnya.
Kening Vania mengernyit. Ia tidak terlalu mempedulikan ucapan asisten mantan suaminya itu. Pikirannya sibuk menjelajahi pernyataan Galaksi sebelumnya.
Vania meremas alat perekam di tangannya dengan erat. Hatinya terasa berdenyut perih. Arsen keluar tanpa menunggu tanggapan darinya. Kini hanya keheningan yang memenuhi dirinya.
Dada Vania seolah teremas dengan kenyataan pahit yang baru saja didengarnya. Ia memandang alat perekam suara di tangannya dengan buliran bening yang terus bergulir dari sepasang netranya. Kalimat Galaksi terus terngiang di dalam kepalanya seolah menampar dirinya dengan keras agar tersadar dari kebodohan dan keegoisannya tersebut.
Dengan kasar Vania mengusap air mata di wajahnya, lalu ia menekan tombol ‘play’ setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menerima hal tersebut. Tidak berapa lama kemudian, terdengar percakapan dua orang pria yang tengah berdebat akan sesuatu hal.
Suara mereka tidak asing lagi di telinganya karena Vania memang mengenalnya. Salah satu pria itu adalah suaminya, Cakra Pratama. Seorang pria lainnya adalah mantan sopir pribadi ayahnya, Dimas.
“Berhenti meminta uang dariku, Pak Dimas. Saya sudah mengirim seratus juta bulan lalu padamu. Apa itu tidak cukup?”
Suara lantang Cakra terdengar jelas dari alat perekam suara itu dan membuat Vania terhenyak. Nominal uang yang disebutkan Cakra bukanlah nominal kecil bagi Vania. Apalagi uang tersebut dikirimkan kepada mantan sopir pribadi ayahnya?
Tanpa perlu mendengar penjelasan apa pun, tentu Vania tahu jika Dimas telah memeras Cakra atas sesuatu hal yang diketahuinya.
“Anda boleh tidak memberiku uang, Pak Pratama. Tapi, Anda tau kan kalau kecelakaan mertua Anda itu bukanlah kecelakaan biasa? Apa Anda tidak takut kalau saya memberitahu hal ini kepada pihak berwajib dan mengatakan kalau Andalah yang telah mengatur kecelakaan itu?”
Sesuai dugaan Vania, mantan sopir pribadi ayahnya itu mengancam Cakra demi mendapatkan pundi-pundi uang. Namun, yang mengejutkan Vania adalah ucapan Galaksi terbukti benar. Ternyata Cakra yang mengatur kecelakaan yang menimpa orang tuanya!
Hati Vania terasa tercabik dengan kebenaran tersebut. Ia terduduk lemas di dalam kamar hotel tersebut setelah mendengar semua rekaman dari percakapan tersebut. Isak tangis mulai memenuhi ruangan tersebut dan berakhir dengan suara raungan yang terdengar menyayat hati.
Vania memukul dadanya sendiri berulang kali. Menyalahkan dirinya atas hal yang menimpa kedua orang tuanya.
“Maafkan Vania, Ma … Pa ... Maafin Vania ….”
Lirihan yang bergulir dari bibir wanita itu dipenuhi dengan penyesalan. Ayah dan ibunya sudah tidak dapat lagi mendengar permintaan maaf darinya meskipun ia ingin bersujud di depan makam mereka sekali pun!
Vania merasa gagal menjadi seorang anak bagi orang tuanya. Karena sikap egois dan keras kepalanya, ia telah mengantarkan mereka ke tangan seorang pembunuh!
Tidak hanya itu. Vania juga membuat adiknya mengalami tekanan yang sangat besar. Jika saja kecelakaan mobil itu tidak terjadi, Kania tidak akan menyaksikan sendiri bagaimana orang tua mereka meninggal dan membuatnya mengalami depresi yang sangat hebat hingga saat ini.
‘Semua ini salahku!’
Vania tidak dapat melupakan bagaimana dirinya bersikap dulu terhadap orang tuanya. Jika saja ia tidak mencintai Cakra seperti orang yang buta arah. Jika saja ia tidak memaksa orang tuanya untuk menerima Cakra. Dan seandainya saja ia mendengar nasihat ayahnya untuk tidak bercerai dari Galaksi, semua hal buruk itu tidak akan terjadi dan semua penderitaan yang menumpuk di dalam dadanya saat ini tidak akan menyiksa dirinya.
Buliran bening terus mengalir tanpa henti dari kedua manik mata Vania. Rasa tersiksa yang ia rasakan saat ini membuatnya sangat terpukul.
Vania menatap kedua telapak tangannya dengan tatapan yang kosong. Suara raungan tidak lagi terdengar dari bibirnya dan berganti dengan suara kekehan yang aneh. Ia sedang menertawakan kebodohannya sendiri. “Aku … Akulah yang telah membunuh mereka,” gumamnya diiringi dengan isak tangis kecilnya.
“Aku yang sudah membuat Kania tersiksa. Aku ….” Suara Vania tenggelam dalam tangisannya kembali.
Vania memegang kedua sisi kepalanya dan meremas surainya dengan kuat. Ingatan akan masa lalunya kembali terlintas di dalam kepalanya dan menenggelamkannya dalam jurang penyesalan. Penyesalan tersebut telah membuat wanita itu kehilangan kendali dan sangat tersiksa.
Beberapa menit berlalu dengan tangisan sendu dari Vania. Ternyata terus menangis dan menyalahkan dirinya sendiri membuat Vania cukup lelah hingga tidak lagi terdengar apa pun dari bibirnya.
Wanita itu menatap datar lantai kamar hotel yang didiaminya saat ini. Dokumen yang diberikan Arsen padanya beberapa saat lalu kembali menarik perhatiannya. Perlahan Vania memungut dokumen itu kembali, lalu melihat isi di dalamnya.
Tatapan kosongnya kembali bersinar dengan kilatan kemarahan. Dadanya berkecamuk hebat. Tangannya meremas lembaran foto yang terselip di dalam dokumen tersebut.
Vania mengusap air mata di kedua belah pipinya dengan kasar, lalu menyimpan dokumen dan alat perekam suara yang diberikan Arsen padanya ke dalam tas tangannya. Perlahan ia bangkit dari lantai dingin yang didudukinya.
Dengan tubuh lunglai, Vania berjalan keluar dari kamar hotel tersebut. Langkahnya terhuyung-huyung karena seluruh tenaganya telah tersita oleh rasa sesalnya dan tangisannya tadi.
Tujuannya saat ini adalah mencari suaminya dan meminta pertanggungjawaban serta penjelasan dari pria itu atas semua kejahatan dan pengkhianatan yang dilakukan padanya.
Vania memasuki lift dan menekan tombol lantai sepuluh untuk mencari letak kamar yang diberitahu Arsen padanya. Langkahnya terhenti di kamar 1012 yang disebutkan asisten Galaksi tadi. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat, lalu menempelkan kartu akses di tangannya pada panel pintu kamar tersebut.
Meskipun rasa cemas dan amarah bercampur di dalam dadanya, tetapi Vania tetap membuka pintu tersebut dengan hati-hati. Ia tidak ingin penghuni kamar tersebut mengetahui keberadaannya lebih dulu.
Baru saja pintu ruangan itu terbuka sedikit, suara desahan dan racauan yang menjijikkan terdengar di telinga Vania. Refleks, ia menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya saat melihat bagaimana suaminya memadu kasih dengan sahabatnya sendiri!