Erangan kenikmatan yang mencapai puncak terdengar memenuhi ruangan kamar hotel. Sepasang insan yang tengah memadu kasih tidak mengetahui bahwa saat ini ada sosok lain yang tengah memandang mereka di sebuah sudut ruangan yang gelap dengan tatapan penuh kebencian dan amarah.
Cairan kristal mulai menggenang pada sepasang kelopak mata Vania. Wanita itu masih memilih untuk bersembunyi di sana untuk mengatur emosinya yang tidak beraturan. Hatinya hancur berkeping-keping hingga ia sendiri tidak tahu bagaimana menatanya kembali.
Entah sudah berapa banyak air mata wanita itu mengalir malam ini. Semua kebenaran itu langsung merengut kebahagiaannya seketika. Meluluhlantakkan perasaannya hingga ke dasar kegelapan terdalam.
Vania membungkam mulutnya sendiri agar tidak ada suara isak tangisnya yang keluar. Ia berpikir untuk keluar dari tempat persembunyiannya sekarang, tetapi ia mengurungkan niatnya saat mendengar percakapan keduanya.
Bukan maksud ingin menguping, tetapi Vania butuh bukti yang lebih akurat untuk menangkap basah keduanya. Meskipun pembicaraan kedua orang hina itu akan mengiris hatinya hingga berdarah-darah, Vania tetap berusaha tegar untuk mendengarkan mereka.
Ia ingin tahu apa Cakra melakukan hal tersebut secara sadar ataukah ada sebuah hasutan yang membuat pria itu tega melakukan hal yang mengkhianati pernikahan mereka. Hal yang tidak dapat Vania terima adalah pengkhianatan sahabatnya, Arumi Shakila.
Padahal selama ini Arumi selalu menjadi tempat Vania berkeluh kesah apabila ia sedang mengalami masalah dengan Cakra. Ia tidak menyangka jika sahabat yang selalu dianggapnya seperti saudaranya sendiri akan menusuknya dari belakang seperti ini. Rasa perih menjalar di dalam dadanya. Pengkhianatan ini tidak akan pernah ia lupakan dan maafkan selama hidupnya!
“Kamu hebat, Cakra. Aku suka permainanmu.”
Suara manja Arumi Shakila yang diiringi dengan napas tersengal-sengal membuat Cakra tersenyum puas. Pria itu merebahkan tubuhnya di samping tubuh molek Arumi. Tangannya menyusuri wajah wanita itu dengan lembut.
“Kamu juga sangat hebat, Sayang. Selalu bisa mengimbangiku.”
Tutur kata manis Cakra terhadap Arumi terdengar seperti ribuan jarum yang tengah menusuk Vania tanpa ampun. Vania mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Barisan giginya bergemeretak menahan emosi yang mencuat di dalam dadanya. Akhirnya ia tahu jika keduanya memang secara sadar melakukan tindakan hina dan memalukan tersebut.
Sudut bibir Vania terangkat getir. Ia memejamkan netranya dengan erat. Menyadari bahwa dirinya terlalu angkuh dan percaya diri dengan penilaiannya sendiri. Vania tidak pernah mau mendengarkan pendapat orang di sekitarnya dan akhirnya menghancurkan dirinya sendiri hingga ke titik yang tidak dapat diselamatkan lagi.
“Apa Vania juga sama sepertiku?”
Pertanyaan Arumi mengundang minat Vania untuk mendengar jawaban suaminya, walaupun sebenarnya percakapan itu terdengar sangat menjijikkan baginya.
Suara kekehan kecil bergulir dari bibir Cakra.
Pria itu sedang menertawakannya? Rasanya Vania ingin mencakar wajahnya itu.
“Mana mungkin dia bisa sama sepertimu, Sayang. Dia tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Main sekali aja sudah malas dengannya. Kamu tidak tau kan kalau aku paling tidak suka diatur? Dan dia selalu saja menuntut untuk hamil denganku. Benar-benar bikin kepalaku sakit,” jawab Cakra dengan mimik wajah merengut.
Arumi terkikik kecil. Terlihat jelas kalau dia suka dengan jawaban pria itu. Jemarinya bermain di d**a Cakra. “Lagian kenapa juga kamu tidak mau menghamilinya? Padahal kan dia bisa hamil,” timpalnya.
Kedua bola mata Vania terbelalak lebar mendengar ucapan sahabatnya itu. Kebingungan tiba-tiba melanda pikirannya. Ia tidak tahu kenapa sahabatnya tiba-tiba mengatakan hal yang bertolak belakang seperti itu.
‘Apa maksudnya aku bisa hamil? Apa jangan-jangan ….’ Vania terkesiap dengan dugaannya sendiri. Sebelumnya ia memang memberitahu Arumi tentang masalah kandungannya dan akhirnya sahabatnya itu menyarankannya untuk pergi ke dokter kandungan kenalannya.
‘Pantas saja Cakra mau aku ajak pergi konsul waktu itu,’ batin Vania dengan sudut bibir yang terangkat getir.
Entah berapa banyak kebohongan yang dilakukan suami dan sahabatnya tersebut. Vania benar-benar dibuat linglung dan dipermainkan seperti wayang yang digerakkan oleh dalangnya. Semua hal yang terjadi di dalam kehidupannya ternyata telah direncanakan sebelumnya oleh kedua orang hina itu, pikirnya sembari tertawa ironis.
“Untuk apa juga dia hamil?” cetus Cakra yang membuat hati Vania remuk redam mendengarnya.
“Kamu kan tau kalau aku tidak menginginkan anak darinya. Lagian kalau mau anak, aku lebih baik punya anak darimu,” lanjut pria itu sembari mengecup bibir Arumi dengan lembut.
‘Cakra Pratama! Kamu benar-benar berengsek! Berengsek!’ geram Vania di dalam hatinya. Amarah telah menggelegak di dalam dadanya.
“Huh, seharusnya kamu tidak perlu repot suntik KB segala. Dengan begitu kan kamu bisa menghamiliku,” gerutu Arumi dengan bibir cemberut.
Cakra tersenyum. “Aku suntik hormon itu juga supaya kita bisa seperti ini kan? Kalau kamu hamil sebelum rencana kita tercapai, bukankah semua itu sia-sia?” timpalnya.
‘Benar-benar keterlaluan. Mereka benar-benar sudah gila!’ teriak Vania di dalam hati. Ia tidak bisa menahan dirinya lagi untuk terus bersembunyi di tempatnya tersebut.
Netra Vania menangkap sebuah benda yang tergeletak di atas meja yang berada tidak jauh dari tempatnya bersembunyi saat ini. Akal sehatnya sudah tidak bisa bekerja dengan baik karena kedua pengkhianat itu.
Dengan cepat Vania menyambar benda bermata tajam tersebut dan berteriak histeris dengan deraian air mata yang membuat wajahnya terlihat sangat menyedihkan, “Berengsek! Kalian benar-benar terkutuk!”
Cakra yang sedang menikmati bibir manis Arumi pun tersentak kaget. Ia segera menarik dirinya dan menoleh ke arah Vania dengan wajah tercengang.
“Va-Vania? Apa … Apa yang kamu lakukan di sini?”
Senyuman miris terbit di sudut bibir Vania. Ia merasa pertanyaan suaminya itu sangat bodoh. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Cakra Pratama. Apa yang sudah kamu lakukan di sini dengan w************n ini?” desisnya. Pisau steak yang berada di tangannya teracungkan ke arah suaminya itu.
Wajah Arumi berubah pias. Wanita itu sibuk menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai benang pun. Wajahnya tampak memerah karena malu dan marah karena makian kasar dari Vania.
“Vania, tenang dulu. Dengarkan aku.” Cakra segera berdiri dari tempatnya. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang tidak berbusana saat ini dan berniat membujuk istrinya tersebut. Namun, ia tidak berani mendekat karena wanita itu mengarahkan benda tajam itu ke arahnya dengan emosi yang tidak bisa dikendalikan lagi.
“Tenang katamu?” Vania terkekeh geli mendengar hal tersebut. “Apa menurutmu aku bisa tenang saat tau kalau suamiku sedang bermain gila dengan sahabatku sendiri? Lalu, apa katamu tadi? Kamu suntik KB dan bilang kalau akulah yang bermasalah? Hah!”
Cakra menyugar surainya dengan kasar, lalu berkata dengan pasrah, “Sepertinya kamu sudah mendengar semua pembicaraan kami tadi.”
Vania menggigit bibirnya dengan erat. Kilatan kemarahan yang terpancar dari sepasang netranya terus mengamati suaminya itu dengan lekat. “Sudah berapa lama kalian membohongiku?”
Cakra memalingkan wajahnya. Tidak berniat menjawab pertanyaan tersebut.
Pandangan Vania beralih kepada Arumi yang tertunduk dalam. “Kenapa diam? Apa pertanyaanku sulit dijawab?” cibirnya.
“Vania ….” Cakra menghela napas panjang. Ia berniat mendekati Vania sekali lagi, tetapi langkahnya kembali terurung ketika benda tajam di tangan wanita itu kembali terarah padanya.
“Jangan bilang kalau kalian dari awal sudah merencanakan semua ini dan membuatku seperti orang bodoh,” gumam Vania dengan suara yang bergetar lirih. Ia memandang wajah Cakra yang tampak tersenyum sinis atas ucapannya tersebut.
“Karena kamu sudah tau semuanya, aku juga tidak mau menutupinya lagi, Vania,” ucap Cakra dengan santai seolah ia tidak bersalah dalam hal ini. “Aku dan Arumi sudah berhubungan sejak enam tahun yang lalu.”
Vania terhenyak. Padahal ia berharap setidaknya pria itu membela dirinya dan mengatakan bahwa ia hanya bermain-main dengan Arumi saja. ‘Apa lagi yang bisa aku harapkan dari pria berengsek ini?’ batinnya merutuki kebodohannya.
“Enam tahun yang lalu katamu?” Vania tertawa miris mendengar hal tersebut.
Enam tahun yang lalu adalah waktu di mana seharusnya Cakra tidak memberikannya janji manis yang membuatnya terlena, tapi nyatanya, pria itu malah sengaja mendekatinya dan merencanakan kejahatan tersebut bersama sahabat baiknya tanpa ia ketahui sebelumnya. Vania tertunduk dalam. Wajahnya telah bersimbah air mata yang terus berjatuhan tanpa ia bisa kendalikan.
“Sebenarnya apa alasanmu melakukan semua ini, Cakra? Kalau kamu tidak mencintaiku, seharusnya kamu tidak mendekatiku lagi. Tapi, kamu malah ….”
Suara Vania kembali teredam dalam isak tangisnya. Ia merasa dirinya terlihat sangat menyedihkan. Entah harus berapa kali ia merutuki kebodohannya. Entah berapa kali ia harus mengungkapkan penyesalannya. Namun, semua itu tiada artinya lagi.
“Apa kamu perlu sebuah alasan untuk menghibur hatimu, Vania?” cibir Cakra dengan sinis. Tidak terlihat penyesalan dari sorot matanya. Pria itu benar-benar ingin mendorong Vania ke dalam jurang penderitaan tanpa belas kasihan.
“Bukankah kamu memang ingin menjadi istriku, Vania? Aku sudah mengabulkannya. Apalagi yang kamu inginkan? Apa kamu lupa bagaimana ayahmu menghinaku waktu itu? Sepertinya kamu tidak akan pernah tau bagaimana rasanya,” lanjut Cakra dengan wajah yang tampak sendu.
Vania teringat dengan perlakuan ayahnya yang memang tidak pernah menyukai Cakra. Tapi, apa itu pantas dijadikan sebuah alasan atas pengkhianatan dan kejahatan yang Cakra lakukan padanya?
“Kalau kamu memang butuh pelampiasan kemarahanmu, lakukanlah!”
Cakra merentangkan kedua tangannya seolah mempersilakan Vania untuk melakukan aksinya tersebut. Pria itu terlihat sangat percaya diri akan cinta Vania padanya.
Wajah Vania berubah semakin nanar. Genggaman tangannya pada pisau steak tersebut semakin erat. Melihat wajah suaminya yang tampak puas dengan penderitaan yang dialaminya, hati Vania semakin memanas.
“Kamu pikir aku tidak berani melakukannya?” timpal Vania dengan sengit. Ia tidak menyangka kepercayaan diri pria itu sangat besar akan cinta yang selama ini telah ia berikan untuknya.
Tanpa memberikan Cakra kesempatan untuk mengelak, benda bermata tajam di tangan Vania itu langsung menghunus d**a kiri pria itu.
“Kyaaaa!”
Suara teriakan histeris dari Arumi terdengar memenuhi ruangan tersebut. Wanita itu langsung memejamkan netranya dengan erat. Tidak berani menyaksikan langsung adegan tersebut.