Bab 7 - Air Mata Galaksi

1129 Words
Cairan merah pekat telah mengalir dari d**a Cakra. Pisau steak dalam genggaman Vania terlepas dan menimbulkan bunyi dentingan kecil saat berbenturan dengan lantai. Bibir Cakra merintih kecil karena luka yang dialaminya, tetapi pria itu masih dapat berdiri tegap di tempatnya karena luka yang diberikan Vania hanyalah sebuah luka kecil. Benda bermata tajam tersebut hanya menggores sedikit kulitnya. Ternyata Vania tidak memberikan tusukan yang berarti di sana. Sejak awal ia memang tidak berniat membunuh suaminya itu. Ia hanya ingin memberikan sebuah gertakan dan peringatan kepada pria itu. Jika saja ia tidak teringat dengan adiknya, mungkin ia benar-benar akan melakukannya. “Cakra Pratama, luka ini adalah pertanda berakhirnya hubungan kita. Aku tidak akan pernah mencintaimu lagi, baik itu saat ini ataupun di waktu yang lain,” ucap Vania dengan nada yang terdengar dingin. Ia telah bertekad membekukan hatinya dari pria itu. Cakra cukup takjub. Ia tidak menyangka wanita itu akan setegar itu menghadapi hal ini. Luka di dadanya terasa perih. “Sakit?” Vania mendengkus remeh. “Itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengkhianatan kalian padaku.” Ya, jika dibandingkan dengan rasa sakit yang dirasakan Vania, hal itu hanyalah sebagian kecilnya saja. Arumi segera bangkit dari tempatnya dan menghampiri Cakra. “Apa kamu sudah gila, Vania?” hardiknya. Vania mendengus remeh. “Kamu yang sudah gila, Arumi. Bukan aku,” desisnya. Cakra dapat melihat luka dalam sorot mata istrinya itu saat menatap mereka. Air mata yang mengalir dari kelopak mata wanita itu telah menunjukkan betapa besar cinta yang diberikan padanya, tetapi semua itu telah terganti dengan kebencian yang sama besarnya. Tentu saja Cakra tahu dengan jelas seperti apa Vania memperlakukannya selama ini. “Vania, aku ….” “Kita bercerai saja,” sela Vania dengan cepat. Ia tidak ingin pria itu mengatakan kalimat kejam itu lebih dulu dan membuatnya terlihat lebih buruk. Wajah dingin Vania mengurungkan perkataan Cakra. Pria itu menelan kembali semua kalimatnya. Pandangan Vania beralih kepada Arumi yang tengah menatapnya dengan tajam. Sudut bibir Vania terangkat getir melihat ekspresi tak bersahabat dari wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berpikir kalau senyuman dan kebaikan yang diberikan sahabatnya itu hanyalah sebuah kepalsuan belaka. Matanya benar-benar dibutakan oleh cinta dan perhatian palsu dari keduanya. “Seharusnya kamu mengatakan padaku kalau kamu menginginkan pria sampah ini, Arumi. Karena aku pasti akan memberikannya untukmu. Sampah memang cocok dengan sampah!” pungkas Vania mencibir wanita selingkuhan suaminya yang bermuka duanya itu. Wajah Arumi memerah padam karena amarah. Ia tidak dapat berkata-kata karena kalimat itu seolah telah menamparnya dengan kuat meskipun Vania tidak menyentuhnya seujung kuku pun. Setelah membalas perbuatan keduanya, Vania memilih untuk keluar dari ruangan itu. Ia tidak ingin berada terlalu lama dalam kamar yang membuatnya ingin muntah. Bau sisa percintaan dari keduanya membuat perutnya terasa mual. Vania bergegas mempercepat langkahnya keluar dari hotel tersebut. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya yang merasa mual saat bayangan Cakra dan Arumi menari di dalam kepalanya. Suara isak tangis kecil kembali terdengar dari bibir wanita itu. Perlahan ia kembali melangkah tanpa arah. Vania tidak mempedulikan tatapan orang-orang padanya. Ia terus berjalan dengan buliran bening yang menghiasi wajahnya. Ia tidak menyadari jika seseorang tengah mengikutinya Rasa sesal yang berulang kali terngiang di dalam kepalanya terus membayangi langkah Vania. Ia berpikir jika seandainya saja ia bisa mengetahui keburukan Cakra lebih awal, maka ia tidak perlu merasakan perih yang menggerogoti dirinya saat ini. Di saat ia berpikir seperti itu, tiba-tiba saja bunyi klakson panjang mengagetkan Vania dari lamunan panjangnya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya telah melewati pagar pembatas pejalan kaki. Sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju ke arahnya. Kaki Vania seolah terpaku di atas tanah beraspal tersebut. Cahaya mobil tersebut menyoroti sepasang netranya yang terbelalak lebar hingga akhirnya suara benturan yang cukup keras terdengar. Vania merasakan tubuhnya melayang, lalu terjatuh kembali dan mencium aspal panas tersebut. Cairan merah segar mengucur dengan deras dari belakang kepala. Kedua netranya yang berkabut memandang wajah orang-orang yang seketika mengerubunginya, lalu terlihat wajah sosok yang tidak asing melewati kerumunan tersebut. ‘Galaksi? Kenapa dia masih ada di sini? Apa dia masih tidak puas menceritakan tentang kebodohanku tadi? Apa sekarang dia juga mau melihat kebodohanku yang lain?’ Vania hanya bisa bergumam dan tertawa di dalam hati. Meskipun bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya tersebut. Wajah panik Galaksi samar-samar terlihat di kedua bola mata Vania yang basah dan mulai meredup. “Vania, bertahanlah!” Suara Galaksi menggema di dalam telinganya. Vania merasakan tubuhnya melayang kembali saat pria itu tiba-tiba menggendongnya di kedua belah tangannya. Galaksi membawanya masuk ke dalam sebuah mobil yang menunggu tidak jauh dari lokasi kecelakaan itu berada. “Dengarkan aku, Vania. Kamu harus bertahan! Kamu tidak boleh menutup matamu tanpa seizinku! Apa kamu mengerti? Apa kamu mendengarkanku, Vania?” teriak Galaksi dengan panik. Vania sama sekali tidak bisa menjawabnya meskipun ia sangat ingin melakukannya. Selama berinteraksi dengan mantan suaminya dulu, Vania tidak pernah melihat secara nyata kepanikan pria itu. Ini benar-benar adalah pemandangan yang sangat langka baginya. Galaksi menggenggam tangannya dengan erat. Pria itu berulang kali mengecup punggung tangannya. Vania dapat melihat buliran bening yang mulai berjatuhan dari kelopak mata mantan suaminya itu. ‘Apa aku tidak salah lihat? Galaksi menangis?’ Vania mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. ‘Apa benar dia menangis … untukku?’ Perlahan Vania menaikkan sedikit sudut bibirnya. Entah ia harus tertawa ironis atau merasa bahagia dengan perhatian yang diberikan Galaksi di menit terakhir hidupnya. Ya, Vania merasa dirinya tidak dapat lagi bertahan lebih lama. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tetapi rasa sakit tersebut tidak sebanding dengan luka di dalam hatinya yang ditorehkan Cakra padanya. Meskipun begitu, Vania berpikir jika setidaknya ia merasa sangat bersyukur jika dirinya tidak akan meninggal dalam kesendirian. Meskipun ia tidak dapat bertanya langsung kepada Galaksi atas tindakannya saat ini, tetapi ia dapat menyimpulkan bahwa Galaksi Bamantara ternyata bukanlah pria yang tak berhati. Perlahan tangan Vania terulur ke arah wajah mantan suaminya. Mengusap air mata yang terjatuh dari mantan suaminya itu. Ia sungguh menyesal telah menyia-nyiakan pria sepertinya dulu. Namun, penyesalan tersebut sudah tidak berarti lagi. Ia merasakan denyut jantungnya perlahan melemah. Napasnya mulai terputus-putus tak menentu. Bibirnya memuntahkan cairan merah pekat yang membuat ekspresi Galaksi berubah pias. “Arsen, cepatlah!” Suara teriakan Galaksi dan suara klakson mobil yang dikemudi Arsen terdengar di telinga Vania. Bibir wanita itu mengulas senyuman tipis mendengar kepanikan tersebut. ‘Maafkan aku, Galaksi. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Jika saja aku bisa membalas kebaikanmu, aku pasti akan melakukannya,’ gumam Vania di dalam hati. “Vania! Vania!” Suara histeris Galaksi kembali terdengar. Netra Vania semakin meredup. Ia tidak bisa merasakan apa pun lagi hingga akhirnya sepasang kelopak matanya perlahan terpejam. “Vaniaaaa!” Teriakan Galaksi disertai tangisan bercampur suara decitan ban yang bergesekan dengan aspal terdengar meraung keras. Pria itu memeluk tubuh Vania yang telah terbujur kaku tanpa adanya sisa kehidupan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD