Part 5

2201 Words
Nayla mematung saat melihat orang yang ditabraknya. Ternyata itu neneknya—ibu dari ayahnya. Tiba-tiba lidah Nayla terasa kelu, ia sulit mengatakan sepatah kata pun. Saat ini Neneknya tengah menatap tajam ke arahnya. “Nenek,” cicit Nayla. “Astaga, kenapa aku harus bertemu denganmu di sini. Oh iya, jangan sampai lupa! Jangan panggil aku Nenek, karena kamu bukan cucuku! Aku hanya punya tiga cucu, yaitu Jackson, Nabila, dan Aeri!” tegas Rita. Rita merebut kantong belanjaannya dari tangan Nayla dan teman-temannya. “Tapi—“ “Ingat itu dengan baik-baik!” potong Rita. Rita pergi meninggalkan Nayla dan teman-temannya dengan perasaan dongkol, karena harus bertemu dengan seseorang yang sangat tidak ia ingin temui. Sementara itu, Nayla memandang sendu kepergian neneknya. Sementara itu, Sani dan Nana mengelus punggung Nayla berusaha menguatkannya. **** Di sisi lain, kedua anak Sean tengah bertengkar memperdebatkan ke mana mereka akan pergi. Sena kekeh ingin pergi ke bioskop, sementara itu Dean ingin pergi piknik ke taman kota. “Pokoknya kita harus pergi ke bioskop!” ucap Sena. “Enggak mau! Mendingan kita pergi piknik ke taman kota aja!” kata Dean. “Berpiknik? Yang benar aja, kita enggak bawa makanan tahu!” Sena terlihat sangat kesal, kakaknya tidak mau mengalah padanya. “Ri, sekarang kamu pilih, mau ikut Kak Dean atau Kak Sena yang nyebelin itu,” ujar Dean sambil memegang pundak Aeri. “Hei! Aku enggak nyebelin, Kakak tuh yang nyebelin!” sentak Sena yang tidak terima dengan perkataan kakaknya. Dean memegang erat bahu Aeri. “Jadi siapa yang kamu pilih, Kak Dean atau Kak Sena?” tuntut Dean. Aeri meringis melihat Dean melotot ke arahnya. Aeri sendiri sekarang kebingungan melihat kakak beradik itu. Jujur saja ia tidak bisa memilih mereka berdua karena ia sendiri sebenarnya ingin pergi ke taman hiburan. “Harusnya seorang kakak mengalah kepada adiknya,” sindir Sena. Dean beralih menatap tajam ke arah adiknya. “Ngalah sama kamu? Enggak akan!” “Stop!” Sontak teriakan Sean membuat Dean dan Sena berhenti berdebat. Keadaan di dalam mobil pun berubah menjadi hening. Tidak ada yang berani mengeluarkan suaranya. “Kalian itu sudah besar, mau sampai kapan kalian terus bertengkar?! Apakah kalian enggak malu sama Aeri yang umurnya jauh di bawah kalian?!” omel Sean yang sejak tadi pusing mendengarkan perdebatan kedua anaknya itu. “Maaf,” ucap Dean dan Sena sambil menundukkan kepalanya. “Ini semua gara-gara Kakak, jadi Daddy marah,” bisik Sena kepada Dean. “Enak aja, ini semua gara-gara kamu!” Dean membalas cibiran Sena. “Sudah jangan bertengkar! Lebih baik kita pergi ke taman hiburan saja bagaimana?” usul Hana mencoba menengahi perdebatan kedua calon anak tirinya. Diam-diam Aeri tersenyum karena ibunya sehati dengannya. Sementara itu, Dean dan Sena tampak saling lirik sampai akhirnya mereka menghembuskan napasnya. “Baiklah,” jawab mereka bersamaan. Diam-diam Sean tersenyum, Hana dapat mengendalikan kedua anaknya. Pilihannya memperistri Hana tidaklah salah. “Ternyata aku tidak salah memilih kamu menjadi calon Mommy mereka,” puji Sean. “Mas bisa saja.” Hana tampak malu, karena mendapat pujian dari calon suaminya. Akhirnya mereka pun sepakat pergi ke taman hiburan seperti usulan Hana. **** Sementara itu, Chandra tengah berdiskusi dengan sekretarisnya di ruang kerjanya. Mereka tengah berdiskusi masalah saham perusahaan. “Jadi pak Reyhan memiliki saham sebanyak 35%," gumam Chandra seraya mengamati sebuah data yang tersimpan di tabnya. “Minggu lalu pak Tanto menjual sebagian sahamnya kepada pak Reyhan, karena saat itu pak Tanto dalam keadaan mendesak. Beliau sedang terlilit hutang sangat besar kepada bank,” ujar Dika yang menjadi sekretaris Chandra selama tujuh tahun ke belakangan ini. Chandra mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan sekretarisnya. Ia sangat yakin, pasti saat ini mantan mertuanya itu tengah merencanakan sesuatu untuknya. “Jadwal meeting dengan para petinggi perusahaan dimajukan menjadi besok siang, Pak,” ujar Dika. Chandra menganggukkan kepalanya. “Pukul berapa meeting akan dimulai?” “Setelah makan siang, Pak,” jawab Dika. Dugaannya ternyata benar, mantan mertuanya tengah merencanakan sesuatu. Itu terbukti, jadwal meeting dengan para petinggi perusahaan dimajukan dari jadwal yang biasanya digelar. “Maaf, Pak. Saya mendengar kabar kalau bu Hana telah kembali ke Jakarta dengan nona Aeri. Dan yang saya dengar, bu Hana akan menggantikan posisi pak Reyhan di Solera Group.” Penuturan Dika barusan sontak membuat Chandra bersemangat. Apalagi ini mengenai mantan istri dan anaknya. “Kamu dapat kabar itu dari mana?” “Dari pak Zacky. Kemarin saya tidak sengaja mendengar pembicaraan pak Zacky dengan bu Kayla di kafe saat saya tengah mengantri membeli coffee,” jawab Dika. “Terima kasih atas informasinya, Dik.” Chandra menepuk pelan bahu sekretarisnya. Dika memang sangat diandalkan. “Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi,” pamit Dika. “Iya, silakan.” Setelah Dika pergi dari ruangannya, Chandra pun mengeluarkan sebuah figura dari dalam lacinya. “Akhirnya kalian kembali. Daddy sangat merindukan kalian dan tidak sabar ingin segera bertemu dengan kalian.” Chandra mencium figura tersebut. **** Sementara itu Sean, Hana beserta anak-anak mereka tengah bersenang-senang di taman hiburan. Mereka menaiki berbagai wahana di salah satu Themepark ternama di kota itu. “Wooahh!” Dean, Sean, dan Hana berteriak histeris saat menaiki wahana yang dapat membuat jantung berpacu dua kali lipat. Sena berteriak ketakutan, bahkan sejak tadi ia tidak mau membuka kedua matanya karena saking takutnya. Begitu pula dengan Aeri, ia meminta diturunkan dari wahana itu. Setelah turun dari wahana tersebut, Sena dan Aeri langsung muntah-muntah. “Huekk ... huekkk ...” Sean memijat tengkuk Sena. Sena meminta tisu, Dean pun memberikannya. Sena mengusap bibirnya yang terlihat pucat, lalu ia berjongkok. “Sudah?” tanya Sean. Terlihat sangat jelas jika Sean khawatir dengan putri bungsunya itu. Seharusnya tadi ia tidak menyetujui usulan putri bungsunya itu. “Ini ... minumlah.” Sean menyodorkan sebotol air mineral kepada putrinya. Tanpa pikir panjang Sena pun meneguk air mineral itu. Tidak jauh berbeda dengan Sena, Aeri juga tengah muntah-muntah. “Mom, Aeri pusing,” keluh Aeri sambil memegangi kepalanya. “Mau minum lagi?” tawar Hana. “Enggak, Mom.” Aeri menolak tawaran ibunya. Kepalanya sangat pusing. Ia menyesal menaiki wahana itu. Dean berdecak sebal melihat kedua adiknya yang kini malah lemas setelah menaiki wahana tersebut, padahal mereka berdua yang paling ngotot ingin menaiki wahana tersebut. Beberapa saat yang lalu, sebelum mereka menaiki wahana tersebut. “Kita mau naik wahana apa dulu?” tanya Sean. “Naik itu kayaknya seru, Dad,” usul Sena sambil menunjuk wahana yang dimaksud dirinya. “Wah, sepertinya seru. Kita naik itu saja, Dad!” Aeri sangat antusias saat melihat wahana tersebut. “Yakin kalian mau menaiki itu, memangnya berani?” Dean menatap Sena dan Aeri bergantian. Ia sangsi kedua adiknya berani menaiki wahana itu, terlebih Sena. Adiknya itu sangat takut dengan ketinggian. “Berani dong, iya ‘kan, Ri.” Sena meminta persetujuan dari calon adik tirinya itu. “Iya dong, Kak. Kita berani,” jawab Aeri. “Ya sudah, kalau begitu kita naik wahana itu.” Hana menyetujuinya karena melihat ke antusias kedua putrinya. “Apakah kalian masih kuat atau kita pulang saja?” tanya Sean kepada kedua putrinya. “Kita kuat kok Dad, banyak wahana yang belum kita naiki,” jawab Sena yang diangguki oleh Aeri. Sangat disayangkan jika mereka pulang sekarang. Wahana di Themepark itu sangat keren-keren. Mereka belum mencobanya satu persatu. Sekalian Sena mau pamer kepada teman-temannya, kalau ia sudah pergi ke Themepark itu. Kebetulan Themepark itu baru dibuka satu minggu yang lalu. Jadi sangat rugi jika mereka pulang sekarang. “Ya udah, tapi jika kalian enggak kuat bilang, ya.” Hana yang masih mengkhawatirkan keadaan kedua putrinya. “Iya, Mom,” jawab mereka bersamaan. Hana terkekeh geli. Sena dan Aeri bagaikan saudara kandung, mereka sangat mirip sekali. Ia bersyukur akan hal itu, jadi jika ia dan Sean menikah, Hana dan Sean tidak perlu repot-repot mengakrabkan putri mereka. **** Setelah Nayla dan teman-temannya mendapatkan merchandise dari boyband kesukaan mereka. Mereka pun pulang, karena mood Nayla sudah hancur setelah bertemu dengan Rita. “Loh, kenapa Cuma sebentar?” Chandra kebingungan karena biasanya Nayla jika sudah bermain dengan teman-temannya akan lupa waktu. Apalagi ia melihat Nayla terlihat lesu. Apakah anaknya itu sedang sakit? “Kamu sakit, Nay?” tanya Chandra khawatir. Ia pun langsung mendekati putrinya, lalu mengecek suhu tubuh Nayla. “Enggak panas,” gumam Chandra setelah mengecek kening dan leher Nayla. “Aku enggak apa-apa, Ayah.” “Ya udah, kalau begitu sekarang kamu istirahat di kamar,” titah Chandra. “Iya, Yah.” Nayla pun pergi ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Jihan menghampiri Chandra dengan membawa dua gelas jus beserta camilannya. “Nayla udah pulang, Mas?" “Sudah,” jawab Chandra singkat. Ia kembali fokus menonton berita korupsi para pejabat negara yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta. **** Tak terasa, Sean, Hana beserta ketiga anak mereka menghabiskan waktu bermain di themepark itu sampai sore. “Kita makan dulu atau langsung pulang aja?” tanya Sean. “Makan dulu, Mas. Sepertinya mereka kelaparan, tadi juga kita belum sempat makan siang gara-gara terlalu asyik bermain.” Hana melirik anak-anaknya yang tengah terduduk lemas di bangku. “Benar kata Mom, lebih baik kita makan dulu. Setelah makan kita pulang.” Dean menyetujui usulan calon ibu tirinya. Sean menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Kalian ingin makan di mana?” “Di restoran Chinese Food,” usul Sena. “No! Kita makan di restoran Itali saja,” timpal Dean. Seperti biasa mereka akan memperdebatkan sesuatu. Padahal mereka berdua bukan anak kecil lagi. Dean sudah berumur 23 tahun dan Sena berumur 20 tahun. “Aku ingin makan di restoran Jepang.” Itu Aeri yang mengusulkan. Sean menghela napasnya kasar, sepertinya akan terjadi perdebatan lagi. “Kita harus makan di restoran Itali!” Dean ngotot ingin makan di restoran Italia. “Enggak! Kita harus makan di restoran Chinese, kalian harus mengalah!” bentak Sena. “Enggak bisa! Kalian ‘lah yang harus mengalah padaku, karena di sini aku paling kecil!” Aeri ikut-ikutan berdebat dengan mereka. Mereka cekcok tanpa memikirkan Sean dan Hana yang kewalahan memisahkan mereka. “Stop!” teriak Sean. Seketika mereka bertiga pun berhenti berdebat. Suasana berubah menjadi hening. Dean, Sena, dan Aeri saling lirik. Sementara itu, Hana meminta maaf kepada orang-orang di sekitar mereka, karena orang-orang itu menoleh ke arah mereka saat Sean berteriak. Sean melotot ke arah ketiga anaknya. Sementara itu yang ditatap hanya menundukkan kepalanya. Sean jika sedang marah sangat menakutkan. “Mau sampai kapan kalian bertengkar? Kalian itu sudah besar!” omel Sean sambil menatap tajam ke arah ketiga anaknya. “Maaf, Dad,” jawab mereka serempak. Hana menggelengkan kepalanya, kalau sudah seperti ini saja mereka terdiam dan meminta maaf. Mengurus mereka seperti mengurus anak TK, padahal mereka sudah besar. “Ya sudah, kalau begitu Daddy saja yang menentukan!” Sean pun memilih K*C sebagai tempat makan mereka. Kebetulan lokasinya tidak jauh dari lokasi mereka berada. Dean, Sena, dan Aeri hanya bisa pasrah, jika mereka menolak siap-siap saja mendapatkan ceramah gratis dari ayah mereka. Setelah selesai makan, mereka pun memutuskan pulang ke rumah, karena Dean, Sena, dan Aeri sudah sangat kelelahan. Apalagi Senin besok Aeri sudah masuk sekolah. Mobil Sean berhenti di depan rumah keluarga Lee. “Makasih sudah mengajakku dan Aeri jalan-jalan.” Hana tersenyum manis ke arah Sean. Sean yang melihatnya pun menjadi gemas. Jika tidak ada anak-anaknya sudah dipastikan Sean akan menyosor Hana sejak tadi. “Sama-sama, Sayang.” Sean mengelus rambut hitam panjang milik calon istrinya itu. Sean tersenyum, calon istrinya sangat cantik. Mungkin orang-orang yang tidak tahu umur Hana akan mengira Hana masih anak kuliahan. Padahal umur Hana sudah menginjak umur 44 tahun. Kemesraan mereka tentu saja disaksikan oleh anak-anak mereka yang duduk di jok belakang. Dan ketiganya mencibir kebucinan Sean pada Hana. “Kalian ini sirik saja, makannya kalian cari pasangan dong!” Dean, Sena, dan Aeri mencibir perkataan Sean yang menurut mereka sangat sensitif. “Apakah kalian mau mampir dulu?” tawar Hana saat ia dan Aeri sudah keluar dari mobil Sean. “Enggak, Sayang. Anak-anak sudah sangat kelelahan begitu pun kau dan Aeri,” tolak Sean dengan halus. Sean pun berpamitan pada Hana dan Aeri, lalu Sean melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah keluarga Lee. Setelah mobil Sean hilang dari pandangan mereka, Hana dan Aeri pun masuk ke dalam rumah. **** Setelah kejadian di mall tadi pagi, Nayla tidak keluar dari kamarnya. Ia masih merasa sedih dan malu karena neneknya tidak mengakuinya di depan teman-temannya. Sebenarnya apa salahnya, apa karena dia anak hasil dari selingkuhan? Nayla POV Sejujurnya aku merasa sedih saat kakek, nenek, dan seluruh keluarga ayahku membenciku dan ibuku. Mereka tidak sudi menganggap aku dan ibuku menjadi bagian dari keluarga Pramana. Aku tahu mereka membenciku karena aku adalah anak dari hasil perselingkuhan ayah dan ibuku, tetapi bukan kemauanku aku lahir dari hasil hubungan terlarang. Kadang aku merasa iri terhadap Nana, Sani, dan Siska. Mereka sangat dekat sekali dengan kakek dan neneknya. Sedangkan aku, setiap aku bertemu dengan mereka hanya cacian yang aku dapatkan. Mereka sama sekali tidak memedulikan perasaanku. Mereka selalu menyalahkan aku dan ibuku yang sudah merusak kebahagiaan rumah tangga orang lain. Aku dan ibuku juga dianggap perusak hubungan keluarga Pramana. Mereka menuduh aku dan ibuku menghasut ayah sehingga ayah lebih memilih meninggalkan keluarganya. Apakah mereka tidak akan pernah menerima keberadaan aku dan ibuku? Sampai kapan? Aku juga ingin seperti teman-temanku yang dekat dengan kakek dan neneknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD