Part 4

1910 Words
Saat ini Hana tengah menyusun rencana untuk menghancurkan rumah tangga Chandra dan Jihan, namun di tengah ia berpikir cara untuk menghancurkan mereka, tiba-tiba ponselnya miliknya berbunyi. Hana tersenyum saat tahu siapa yang menghubunginya. “Halo?” “Sayang, kamu udah tidur belum?” tanya Sean di seberang sana. “Belum, Mas. Aku masih ngobrol sama Kayla,” jawab Hana. “Mas kira kamu udah tidur. Besok kamu sibuk enggak?” tanya Sean. “Memangnya kenapa, Mas?” Hana balik bertanya. “Besok Mas ingin ngajak kamu sama Aeri jalan-jalan,” jawab Sean. “Besok aku enggak sibuk, jadi Mas bisa mengajakku dan Aeri jalan-jalan.” “Kalau begitu besok Mas akan jemput kamu dan Aeri.” “Iya.” “Ya sudah kalau begitu sekarang kamu tidur, ini sudah larut,” titah Sean. “Iya, Mas. Aku akan tidur setelah ini, sekarang Mas juga harus tidur agar besok enggak telat jemput aku.” “Ya udah kalau begitu matikan teleponnya, emm love you, Na.” “Love you too, Mas,” balas Hana. Setelah sambungan telepon terputus, Hana tampak tersenyum-senyum sendiri. Ia merasakan kembali indahnya jatuh cinta setelah hampir tujuh tahun lamanya ia menutup diri dari pria mana pun. Kayla tersenyum jahil. “Kak, gimana rasanya puber kedua?” Hana menoleh. “Ya ... gitu,” jawabnya tampak malu-malu. Kayla terkekeh geli, sangat lucu sekali melihat Hana salah tingkah seperti itu. Kayla bersyukur melihat Hana kembali ceria seperti semula, apalagi setelah bertemu dengan Sean. “Kak, mendingan besok kita lanjutin obrolannya. Aku dengar pangeranmu udah nyuruh Kakak tidur.” Yups, tadi Kayla sempat menguping pembicaraan Hana dan Sean. “Oke. Kita bicarakan ini besok ah ... jangan besok. Besok aku akan pergi jalan-jalan dengan mas Sean dan anak-anak. Kita lanjutkan pembicaraan ini hari Senin saja,” putus Hana. Kayla menganggukkan kepalanya. “Oke, tidak masalah. Kalau begitu aku pulang dulu, Kak,” pamit Kayla. “Loh, kenapa enggak nginap aja. Ini udah malem, Kakak takut kalian kenapa-kenapa di jalan,” protes Hana. “Ini masih jam sembilan, Kak. Di luar masih banyak orang yang berkeliaran ke sana-ke mari jadi Kakak enggak usah khawatir.” Di dalam hatinya Kayla merasa terharu. Hana sangat perhatian kepadanya, padahal ia dan Hana tidak memiliki hubungan darah tetapi ia merasa Hana sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Kayla sangat bersyukur karena dapat dipertemukan dengan Hana. Hana adalah segalanya baginya, karena Hana sudah menolong kehidupan dirinya dan juga adiknya. Ia berjanji akan mengabdikan hidupnya pada wanita itu. **** Keesokan harinya, Hana menggelengkan kepalanya melihat putrinya masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang melilit seluruh tubuhnya. Hana pun dengan sengaja membuka gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam kamar Aeri. “Bangun Sayang, ini sudah pagi!” Hana mencoba membangunkan putri semata wayangnya itu. “Emm ... lima menit lagi Mom, Aeri masih ngantuk,” jawab Aeri dengan suara parau khas orang bangun tidur. Hana berdecak kesal. “Jangan jadi anak gadis yang pemalas, ayo bangun! Kata orang tua zaman dulu, jangan bangun siang nanti rezekinya dipatok ayam," omelnya. “Sebentar Mom, aku masih ngantuk. Lagi pula hari ini hari Minggu, jadi tidak apa ‘kan kalau aku bangun terlambat,” racau Aeri. Matanya masih setia terpejam. Hana menghela napasnya. Harus butuh kesabaran ekstra untuk membangunkan putrinya itu. “Ya sudah, kalau begitu Mommy akan pergi jalan-jalan dengan Daddymu, kak Dean, dan juga kak Sena. Kalau kamu tidak mau ikut juga tak apa.” Penuturan Hana barusan sontak membuat Aeri langsung membuka paksa matanya. “Apa?! Jadi hari ini Mom akan pergi jalan-jalan dengan Daddy, kak Dean, dan kak Sena?” Hana terkekeh geli. Mendengar kata jalan-jalan saja putrinya langsung cepat terbangun. “Iya. Semalam Daddy menelepon Mom, katanya dia ingin mengajak kita pergi jalan-jalan.” “Ikut,” rengek Aeri. “Ya sudah, cepat mandi sana!” titah Hana sambil mendorong tubuh Aeri ke arah kamar mandi. “Iya, Mom.” Aeri pun masuk ke dalam kamar mandi. ***** Setelah berhasil membangunkan Aeri, Hana pun pergi ke dapur membantu para pelayan yang sibuk menyiapkan sarapan. Sesampainya di dapur Hana menghampiri bi Asih yang tengah sibuk menata makanan di piring. “Bi, ada yang bisa Hana bantu?” Bi Asih menoleh. “Enggak ada, Neng. Makanan untuk sarapan udah Bibi siapin,” jawab bi Asih sambil tersenyum. Mana mungkin ia menyuruh anak majikannya untuk membantunya, nanti yang ada ia dipecat oleh Reyhan. “Ya sudah, kalau begitu biar Hana yang tata makanannya di meja makan.” Hana mengambil makanan yang sudah tersaji di piring, lalu membawanya ke meja makan. “Eh ... Neng, jangan atuh. Biar Bibi aja yang siapin, mendingan Neng duduk aja di kursi, nunggu yang lainnya turun.” Bi Asih mencegah Hana, lalu merebut kembali piring yang dipegang oleh anak majikannya tersebut. Tiba-tiba ada seseorang yang baru saja turun dari lantai dua. Orang itu mendengar keributan yang ditimbulkan oleh Hana dan bi Asih. “Ada apa?” tanya Irena menghampiri mereka berdua. “Ini Neng Hana, udah Bibi suruh duduk sambil nunggu yang lainnya turun ini malah bandel tata makanan di meja makan,” adu Bi Asih. Irena melirik ke arah Hana. Sementara itu, Hana cengengesan. Irena kembali mengarahkan tatapannya pada bi Asih. “Bi maaf ya, Iren bangun kesiangan, jadi enggak bisa bantuin Bibi kayak biasanya.” “Enggak apa-apa atuh, Neng. Bibi juga udah selesai masaknya. Lagian ini udah jadi tugas Bibi,” jawab bi Asih. Hana dan Irena pun ikut membantu bi Asih mengambil makanan dari dapur ke meja makan. Disela-sela mengangkut beberapa piring dan mangkok yang berisi makanan untuk mereka sarapan, Hana malah salah fokus ke leher Irena. Ia menemukan beberapa bercak merah di leher jenjang kakak iparnya itu. Hana tersenyum jahil. “Ahh ... pantes aja kesiangan, ternyata gara-gara itu.” Hana menunjuk leher Irena dengan dagunya. Irena yang sadar pun langsung menutupi bercak merah di lehernya dengan rambut panjangnya. Ia merutuki dirinya sendiri karena lupa memakai pakaian turtle neck. Untung saja Hana yang lihat, tetapi tetap saja ia malu. “Morning,” sapa Gian yang tengah berjalan mendekati mama dan tantenya. “Morning too,” sahut Hana dan Irena bersamaan. “Hai Aunty. Bagaimana kabarmu?” sapa Gian sambil tersenyum. “Baik. Lalu bagaimana denganmu?” Hana balik bertanya. “Baik,” jawab Gian. Gian menarik kursi di samping Hana, lalu duduk di kursi itu. Tak lama kemudian, satu persatu anggota keluarga Lee pun turun dan bergabung di meja makan. “Na, apakah hari ini kamu ada kegiatan?” tanya Reyhan Hana mengambil gelasnya lalu ia meneguk air putih yang ada di dalam gelas itu, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan ayahnya. “Ada. Hari ini aku, Mas Sean, dan anak-anak akan pergi jalan-jalan.” “Oh, gitu.” “Emangnya kenapa, Pa?” tanya Hana dengan penasaran. “Papa ingin mengobrol denganmu mengenai perusahaan, tapi sudahlah ... nanti saja kita mengobrolnya.” Lalu mereka kembali melanjutkan sarapannya. Namun di tengah sarapan mereka yang dipenuhi canda tawa, tiba-tiba bi Rani menghampiri mereka. “Maaf, Pak. Di luar ada pak Sean dan anak-anaknya,” lapor bi Rani yang barusan membersihkan halaman depan. “Suruh mereka masuk, Bi,” titah Reyhan. “Baik, Pak.” Bi Rani pun kembali pergi ke depan. Tak lama kemudian, Sean beserta kedua anaknya menghampiri mereka. “Maaf telah mengganggu waktu sarapan kalian,” ucap Sean yang merasa tidak enak karena datang di waktu yang tidak tepat. Reyhan tersenyum. “Santai aja, Yan. Kamu kayak ke siapa aja. Sini gabung,” ajaknya. “Terima kasih, Pa. Tapi saya dan anak-anak sudah sarapan di rumah,” tolak Sean sambil tersenyum. “Enggak apa-apa, ayo sarapan lagi aja di sini.” Kali ini Juna yang mengajak. “Iya, ayo Sena, Dean,” ajak Irena kepada kedua anak Sean. “Terima kasih, Aunty, tapi kami sudah sarapan di rumah.” Dean menolak halus tawaran Irena dan Juna. Gian menoleh. “Bro, kapan lo balik? Kok enggak ngasih tahu gue?” tanya Gian setelah sadar ada Dean di antara mereka. Karena setahunya Dean masih berada di London. “Kemarin,” jawab Dean sambil tersenyum, lalu mereka pun tos ala laki-laki. Dean dan Gian sudah berteman sejak lama. Terhitung setelah Hana dan Aeri tinggal di LA. “Yuk, ke taman belakang,” ajak Gian. Kebetulan ia sudah menyelesaikan sarapannya. Mereka pun pergi ke taman belakang menyisakan anggota keluarga yang lainnya. “Mas, tunggu sebentar, ya. Aku dan Aeri mau siap-siap dulu,” ujar Hana. “Iya.” “Kak Sena, ayo ke kamarku. Aku mau nunjukin sesuatu ke Kakak, pasti Kakak bakalan suka,” ajak Aeri. Sena mengangguk antusias. “Ayo!” Mereka berdua pun pergi ke kamar Aeri yang terletak di lantai dua—bersebelahan dengan kamar Hana. Jika dilihat-lihat Aeri dan Hana hampir mirip. Mereka terlihat seperti kakak beradik. **** Sementara itu di rumah keluarga kecil Chandra, mereka tengah sarapan bersama. Hanya ada mereka bertiga di tambah bi Esih—salah satu asisten rumah tangga di rumah Chandra dan juga mang Ucup—tukang kebun di rumah Chandra. “Ayah, Ibu, hari ini aku mau jalan-jalan sama Nana dan Sani. Boleh, ya?” izin Nayla. “Tentu saja boleh.” Chandra mengizinkan putrinya bermain bersama teman-temannya. “Pak, Bu, di luar ada teman-teman Non Nayla,” lapor bi Esih yang kebetulan sedang menyapu halaman depan. “Suruh aja mereka masuk, Bi,” titah Jihan. “Kalau begitu aku bersiap-siap dulu.” Tak lama kemudian kedua teman Nayla menemui Chandra dan Jihan. “Om ... Tante ...” Nana dan Sani mencium tangan Chandra dan Jihan. Jihan tersenyum hangat pada Nana dan Sani. “Kalian udah sarapan belum?” “Sudah Tante,” jawab Nana dan Sani bersamaan. Nayla pun menghampiri orang tuanya dan juga kedua temannya. Ia memakai kaos berwarna putih dipandukan dengan kemeja berwarna hijau tua dan juga celana jeans berwarna hitam beserta sepatu kets berwarna putih. Di tambah sling bag berwarna cokelat. Sementara itu rambutnya dibiarkan tergerai. Nayla terlihat sangat cantik persis seperti ibunya. “Ayo,” ajaknya. “Ibu ... Ayah ... kami pergi dulu,” pamit Nayla sambil mencium tangan kedua orang tuanya disusul oleh Nana dan Sani. “Hati-hati,” pesan Chandra. **** Nayla dan kedua temannya pergi ke pusat perbelanjaan yang paling hits di Jakarta. Rencananya mereka akan membeli pernak-pernik khas boyband Korea kesukaan mereka. Kebetulan di mall yang mereka datangi ada sebuah toko yang menjual barang-barang atau pernak-pernik khas negeri gingseng tersebut. Dan hari ini toko tersebut tengah mengadakan diskon besar-besaran. “Masih sepi. Padahal tadi jangan pergi dulu ke sini,” kata Sani sambil melihat sekitarnya yang terlihat masih sepi. Wajar saja masih sepi, mereka datang terlalu pagi. “Iya masih sepi, kita datang ke sininya ke pagian," balas Nayla. “Astaga kalian ini harusnya senang, jadi kita bisa memilih sepuasnya tanpa harus berdesak-desakan,” sahut Nana. “Tumben otak lo bener,” canda Nayla. Nana mendelik ke arah Nayla. “Ape lo bilang?” Nayla cengengesan. “Sorry-sorry, gue cuman bercanda.” “Guys, kayaknya bukan kita yang datang terlalu pagi, tapi mereka,” ucap Sani sambil menunjuk orang-orang yang tengah berdesak-desakan di toko yang mereka tuju. “Omo! Berarti kita telat!” “Ayo kita ke sana sebelum kehabisan.” Nana menarik lengan kedua sahabatnya. Karena terburu-buru Nayla tidak sengaja menabrak seseorang sehingga menyebabkan barang belanjaan orang tersebut berserakan. “Maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja,” ucap Nayla sambil memunguti barang belanjaan orang itu dibantu oleh Nana dan Sani. “Enggak apa-apa, Nak. Terima ka—” Wanita paruh baya itu mendongakkan wajahnya dan terkejut melihat Nayla. “Kamu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD