Bab 8 - Her Condition (2)

1171 Words
Rani menyelimuti tubuh Deeva yang baru saja tertidur setelah memakan es krim coklat yang Tami belikan. Dia bisa sedikit bernapas lega karena hari ini Deeva bisa memakan makanannya, walaupun hanya beberapa suap. Rani duduk di kursi di samping tempat tidur Deeva, menusap pipi Deeva yang mulai menirus. Air matanya kembali menetes, namun dengan cepat ia hapus saat mendengar suara pintu terbuka. "Loh, mba Astrid?" Rani terkejut saat melihat siapa yang memasuki ruangan perawatan Deeva. Astrid juga terlihat terkejut saat melihat asisten sahabatnya dulu berada di ruangan yang sama dengannya. "Kalian udah saling kenal?" ucap Reno seraya memeluk pinggang Astrid erat membuat Rani membulatkan matanya. Rani terkejut saat melihat Deeva bergerak seolah terganggu dengan ucapan mereka. Rani memberi tanda kepada Reno dan Astrid agar berbicara di luar. Astrid memberikan bingkisan berupa boneka untuk Deeva ke Rani lalu beranjak keluar. "Jadi kamu Asistennya Aurora, istri Alan?" teriak Reno membuat beberapa pengunjung rumah sakit memandang kearah mereka. Rani mengangguk lalu menceritakan bagaimana ia melamar pekerjaan ke salah satu anak perusahaan Kusuma Co. di Kalimantan dan akhirnya dipindah tugaskan ke Perusahaan pusat Kusuma Co. 2 tahun yang lalu. "Bodoh" ucap Reno seraya tertawa miris. "Bahkan disaat kamu berada didekatku aku tetap tidak dapat mengetahuinya" ucapnya tersenyum sendu meruntuki kebodohan nya yang tidak mengetahui adik kesayangan nya ada berada didekatnya terutama bekerja di perusahaan sahabatnya sendiri. Rani tersenyum lalu menggeleng memberi kode bahwa ia tidak apa-apa."Abang kenal sama Pak Alan?" ucap Rani tak dapat menyembunyikan keterkejutan. "Dia sahabat abang sejak Sma," kata Reno "Lalu, apa hubungan kalian berdua?" Saat melihat kakaknya berjalan kearah Astrid, memeluk pinggangnya lalu mencium bibirnya lembut. "Perlu aku jelaskan?" ucap Reno dengan senyum m***m membuat Astid memukul keras bahunya. "Iyuh" ucap Rani memanjang jijik kepada kakanya, lalu tertawa melihat abangnya yang terlihat begitu bahagia dengan Astrid sekarang. Abangnya yang sekarang berbeda dengan abang yang ia lihat 5 tahun yang lalu, hilang selama 5 tahun ternyata bisa mengubah segalanya, kecuali orang itu. Orang itu masih tetap sama seperti dulu. Dingin dan tak terjangkau. "Bu Rani, dipanggil dr. Riska sekarang" ucap salah satu perawat menghentikan tawa Rani. Rani mengangguk lalu mengintip keadaan Deeva dari balik kaca pintu ruangan. "Bang titip Deeva," pinta Rani. Ia bisa sedikit lega meninggalkan Deeva yang masih tertidur."Jangan berbuat m***m di kamar anak aku" ucap Rani sembari mengancungkan tangan nya kepada Abangnya yang kembali mengecup pipi Astrid. Reno hanya mendengus sebal mendengar ucapan adiknya sebelum mengangguk. *** "Permisi dok," sapa Rani memasuki ruangan dr. Riska seraya tersenyum, entah ada apa membuat moodnya membaik sekarang, instingnya mengatakan dr. Riska akan memberikan kabar baik. "Masuk bu" ucap dr. Riska dengan senyum lebar tak lepas dari wajahnya. Raut wajah Rani berubah saat melihat orang yang berada dihadapan dr. Riska. Ia menatap wajah orang yang sedang di depan dr. Riska dengan sorot mata tajam. "Apa yang kau lakukan disini?" ucap Rani datar. Alfian, pria itu sedang duduk menatapnya tajam. Ia mengenakan kemeja kerja berwarna hitam,dengan tangan yang sudah ia sinsingkan sehingga membuat belahan sempurna pada lengannya. Wajahnya terlihat sedikit berantakan dengan rambut-rambut yang mulai tumbuh disekitar dagunya, namun tetap saja pesona Alfian tak dapat ditutupi. Rani terdiam menatap tatapan mata tajam Alfian kepadanya. Tatapannya memancarkan emosi. "Duduk dulu, Bu," pintadr. Riska mau tak mau membuat Rani duduk disamping Alfian. Rani menatap dr. Riska datar guna menutupi detak jantungnya yang berdebar keras karena berada disamping Alfian. "Saya ingin memberitahukan ibu tentang keadaan Deeva." "Anak saya baik-baik sajakan, dok?" tanya Rani panik mendengar dr. Riska menyebut anak nya. Dr. Riska tersenyum dan perlahan memegang tangan Rani menenangkan. "Anak ibu baik-baik saja, malahan ibu sekarang sudah bisa sedikit bernapas lega" "Maksud dokter?" tanya Rani bingung. "Deeva akan baik-baik saja karena kami telah menemukan sumsum tulang belakang yang cocok untuk anak ibu." Rani menatap tak percaya dengan apa yang dr. Riska bicarakan. "Ini serius kan dok? saya tidak bisa bercanda di saat genting seperti ini" ucap Rani sendu "Saya serius bu." dr. Riska tertawa. "Bapak Alfian telah melakukan serangkaian pemerikasaan, dan sangat mengejutkan, berdasarkan hasil pemeriksaan sumsum tulang bapak Alfian cocok untuk Deeva." Rani menatap Alfian tidak percaya, ada sebagian dari dirinya yang begitu lega mendengar sumsum tulang Alfian cocok untuk Deeva, tapi melihat mimik emosi dan datar Alfian sebagian dari dirinya pesimis Alfian akan memberikan sumsum tulang belakangnya untuk malaikat kecilnya. "Apabila prosedurnya sudah selesai, Deeva bisa kita pindahkan ke ruang Aseptik selama dua minggu. Kami akan melakukan berbagai prosedur untuk Deeva agar tubuhnya mampu menerima transplatasi sumsum tulang belakang ...." "...Tapi" lanjut dr.Riska membuat Rani kembali memandang wajahnya yang berubah sendu kembali "Tapi apa dok?" Rani kembali panik "Setelah Deeva memasuki ruang isolasi tidak ada cara untuk dia kembali, sekali ia memasuki ruangan itu berarti ia harus benar-benar steril dari kuman, karena saat ia keluar saat ia belum siap, bisa dipastikan Deeva tak akan bisa selamat," ucap dr. Riska pelan. Air mata Rani kembali menetes, ia tidak memperdulikan Alfian yang menatapnya tajam, ia tidak peduli dengan janjinya kepada dirinya yang tak akan pernah menangis di hadapan Alfian. "Kami permisi sebentar," ucap Alfian seraya menarik paksa tangan Rani agar keluar dari dari ruangan dr Riska. Rani hanya diam saat Alfian menarik erat tangan nya, yang ia bisa sekarang hanya bisa menangis dan menangis. "Berhentilah kau bisa membuatku gila!" bentak Alfian Kesadaran Rani kembali saat mendengar bentakan Alfian, ia tak sadar sekarang ia berada di lorong depan ruangan dr. Riska. Dengan cepat Rani menghapus air matanya. "Kenapa kamu mengatakan kepadaku kalau kamu sudah mengugurkan nya? sedangkan aku lihat dia berada disini sekarang" ucap Alfian marah, emosinya tidak terkontrol membuat Rani diam. "Lalu aku harus bilang apa? anak itu masih hidup, sedangkan ayahnya sendiri tidak pernah menginginkan kehadiran nya" balas Rani dengan emosi yang sama kembali menatap Alfian sebentar sebelum akhirnya mengalihkan pandangan nya. Ada kilat marah dimata Alfian mendengar ucapan Rani. "Aku hanya meminta pertolonganmu sedikit. Al, aku mohon selamatkanlah anakku. Kamu satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya" ucap Rani kembali mengeluarkan air mata. Ia merendahkan badan nya lalu berlutut dihadapan Alfian,"Aku tak akan bisa hidup tanpa Deeva" air mata tak henti-hentinya mengalir. Otaknya tak bisa berpikir dengan jernih, ia harus melakukan apapun termasuk membuang semua egonya. Keadaan menjadi sunyi saat Rani mengucapkan kata-kata itu, Alfian tetap menatap Rani dalam diam, seolah banyak hal yang ia pikirkan. Alfian mengangkat tubuh Rani agar berdiri, lalu mencengkram erat kedua lengannya sehingga Rani kesakitan, Ia menatap Rani lalu medekatkan wajahnya kearah Rani. "Okey, Aku akan memberikan bagian tubuhku untuk anak itu, asal kamu memberikan tubuhmu kembali kepadaku" bisiknya ditelinga Rani. Rani menatapnya tak percaya dengan apa yang baru saja Alfian ucapkan. Bagaimana mungkin laki-laki ini bisa berkata seperti itu di saat darah dagingnya sendiri sedang berjuang untuk kesembuhannya? Rani menatap tajam kepada laki-laki tidak punya hati yang ada dihadapan nya. Hatinya sakit saat melihat Alfian tersenyum sinis. "Pikirkan lah" ucap Alfian melepaskan cengkraman lalu berlalu meninggalkan Rani. Lutut Rani lemah mendengarkan ucapan Alfian, ia terduduk lalu kembali menangis tersedu-sedu. Lelaki itu tetap sama. Dia tetaplah seorang lelaki b******k yang tidak akan pernah peduli dengan darah dagingnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD