BAB 4 - Keputusan Terakhir

1774 Words
Ara marah dengan keputusan tiba-tiba ayah dan ibunya. Tanpa meminta pertimbangan dari putrinya sendiri, dan memberikan pilihan yang sudah pasti tidak bisa Ia pilih. Alhasil selama satu hari gadis itu mengurung diri di kamar, enggan keluar kalaupun terpaksa juga karena lapar. Tidak mau bicara dengan kedua orangtuanya, dan memilih diam. Bahkan sampai malam tiba. “Ara,” Pintu kamar terketuk pelan, kali ini sudah kesekian kali sejak tadi pagi. Suara sang ibu mengalun lembut, “Ibu mau bicara sebentar. Apa Ibu boleh masuk?” pintu wanita paruh baya itu. Ara hanya merengut, masih menyender duduk di tempat tidur sembari menekuk kedua kaki. “Pintunya tidak terkunci,” ucap Ara pelan. Tak selang berapa lama pintu kamar terbuka sekilas, sosok sang ibu membawa senampan berisi makanan dan segelas s**u kesukaan Ara. Menghidupkan lampu kamar kembali, Eredesha tersenyum tipis. Berjalan mendekat, “Ibu, bawakan makanan kesukaanmu,” ucap wanita itu sembari duduk di pinggir tempat tidur. Mematikan lampu tidur di atas meja. “Putri Ibu masih marah ya?” tanya Eredesha geli. Ara mendengus, “Tidak tahu.” Menoleh ke arah lain, enggan menatap sang ibu. Perlahan merasakan sapuan pelan di kepalanya, lama kelamaan Ara pun luluh. Merengut kesal, “Kenapa ayah dan Ibu tidak pernah mau mendengar pendapatku? Seenaknya mengambil keputusan untuk tinggal bersama kak Agra,” tukas sang Casie. “Ibu tahu aku dan kak Agra tidak pernah dekat satu sama lain. Aku sudah bersusah payah belajar agar bisa dapat pendidikan di sana, tapi kenapa sekarang kalian justru memberikanku pilihan seperti itu?” Menenggelamkan wajah pada kedua kaki, berusaha keras tidak menangis. Eredesha hanya mendesah tipis, “Ibu, tidak bisa begitu saja membiarkanmu tinggal sendirian di sana, Ara. Bagaimana kalau terjadi sesuatu nanti? Siapa yang akan membantumu kalau bukan Agra?” tanya wanita itu balik. Sekilas menggeleng, “Padahal Ibu senang saat melihat kalian dulu begitu dekat satu sama lain, tapi kenapa sekarang tiba-tiba jadi berjauhan seperti ini?” lanjutnya. Ara hanya diam. Mana mungkin ‘kan dia bilang alasannya? Ara sendiri tidak tahu kenapa Agra bisa tiba-tiba berubah dingin dan malah menjauh darinya bahkan sampai rela pergi ke luar negeri. Tempat yang jauh dari keluarga, satu hal yang awalnya tidak Agra setujui saat menerima tugas dari sang ayah untuk meneruskan pekerjaan cabang utama di sana. Nah ini, tiba-tiba dia mau pergi ke sana Amerika. Menyebalkan tentu saja! “Pokoknya aku tidak mau!” Ara mewek. Menggeleng berulang kali, bayangkan betapa awkwardnya situasi di sana nanti? Tinggal bersama orang kaku dan dingin seperti Agra, ditambah lagi laki-laki itu sering mengajak kekasihnya menginap! Gila ‘kan?! Mana mau dia jadi obat nyamuk! “Aku mau tinggal di apartement sendiri. Ayolah, Bu.” Menurunkan nada suara, sebenarnya rintangan paling berat Ara hanya satu, yaitu sang ibu. Kalau ayah, apapun keputusan wanita paruh baya ini, pasti semua disetujui. “Permintaanku hanya ini saja. Aku janji akan terus menghubungi kalian, terus melapor kemana pun aku pergi, absen setiap hari.” Dengan tegas membulatkan tekadnya. “Boleh ya, Bu?” Mengedikan kedua mata, memasang wajah manis andalan yang selalu bisa mengalahkan wanita itu. Tapi untuk kali ini, “Keputusan Ibu tetap sama.” Eredesha tersenyum kecil, tidak terguncang sama sekali dengan kemanisan putrinya. “Ara tinggal pilih saja. Oke?” Jika Ara keras kepala, maka yang menurunkan sifat gadis itu adalah ibunya sendiri. “Tentukan pilihanmu, apapun yang terjadi. Putri Ibu akan merantau jauh sekali selama bertahun-tahun. Jadi Ibu tidak akan goyah.” Menepuk puncak kepala Ara lembut. “Tinggal bersama Agra atau melanjutkan Universitas di Indonesia saja. Tentu saja Ayahmu akan mencari Universitas terbaik di sini, jadi kau tidak usah takut.” lanjut Eredesha, keputusannya tidak bisa diganggu gugat. “Ibu percaya kalau Agra akan menjagamu dibanding kau tinggal sendirian di negara asing, Ara paham ‘kan?” Suaranya melembut berharap Ara mengerti. Sementara Ara sendiri hanya diam, “Bagaimana Ibu bisa tahu kalau aku akan lebih aman bersama kak Agra?” celetuk gadis itu tiba-tiba. Wanita di sampingnya mengernyit bingung, “Maksud Ara apa? Dia ‘kan kakakmu,” tukas Ere singkat. Tersentak tipis, mengurungkan niat. Ara menggeleng cepat, “Tidak apa-apa,” Rasanya tak mungkin Ara cerita tentang insiden pelukan dan nyaris ciuman mereka pada sang ibu. Lebih tepatnya Ara belum sempat memastikan sekali lagi, alasan Agra melakukan hal itu. Bisa jadi dia sedang bercanda atau sekedar menjahilinya. ‘Mana mungkin kak Agra suka denganku ‘kan?’ batin Ara tiba-tiba. Itu adalah tebakan paling akhir yang Ara pikirkan. ‘Tidak mungkin,’ Mendesah panjang. Mengingat bagaimana hubungan mereka hingga bertahun-tahun ini sangat kering kerontang, tipe wanita kesukaan kak Agra juga tidak main-main tingginya. Bahkan mengalahkan gunung Everest! Hampir semua wanita yang mendekati kak Agra adalah tipe-tipe model cantik, langsing, berkelas! Ara sudah bisa membayangkan bagaimana cantiknya kekasih laki-laki itu nanti. Berdampingan tinggal dengan mereka berdua setiap saat. ‘Bisa-bisa aku malah dikira pembantu mereka!’ rutuk Ara lagi. *** “Tentukan keputusanmu, Ibu akan tunggu sampai pendaftaran terakhir Universitas yang dipilih ayahmu selesai. Maaf kalau Ibu harus keras, tapi ini untuk kebaikanmu.” Satu kalimat terakhir sang ibu sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Itu artinya Ara harus memilih sekarang. Meninggalkan kamar Ara, Sang Cassie hanya diam merenung, pandangan menatap kosong ke depan, s**u habis setengah, berulang kali mendesah. “Masa aku harus tinggal dengan kak Agra?” bisik sang Cassie lagi. Sekarang dia harus apa? Jika curhat dengan kedua temannya, otomatis mereka bakal heboh setengah mati. Bisa-bisa tujuan Ara untuk minta saran bagaimana cara agar kedua orangtuanya menyetujui dia untuk tinggal sendiri di Amerika malah gagal. Kedua orang itu juga pasti menentang keputusannya. “Ya iyalah! Masa kamu mau menyia-nyiakan kesempatan tinggal bersama laki-laki tampan macam kak Agra sih?!” Memasang mimic kesal dan membayangkan jawaban Renata. Ara mendesah lagi, “Apa aku coba telpon kak Agra saja ya?” celetuk Ara, ‘Kalau aku mengancam akan jadi gadis super berisik saat tinggal di Apartementnya nanti, dia pasti tidak suka,’ Tersenyum lebar. Tumben otak polosnya bekerja baik, bergegas mengambil handphone di atas meja tidur. “Lihat saja, aku akan telpon sampai kau angkat! Walaupun harus ribuan kali!” tukas Ara, senyuman setan tercetak di wajahnya. *** Benar saja, sudah hampir sepuluh kali Ara menelpon malam ini dan Agra tidak menjawab! “Tsk, kakak sialan!” umpat gadis itu kesal. Nyaris membuang handphonenya ke tempat tidur. “Sabar, Ara. Sabar, mungkin dia sedang sibuk.” Mengelus d**a dan mendesah panjang. Ara tidak boleh lupa kalau kakaknya itu pemimpin perusahaan utama di sana. “Kita coba berapa kali lagi,” Menekan nomor Agra sekali lagi, berdoa laki-laki itu menjawab. “Ayolah satu kali saja!” teriak sang Cassie. Bersamaan dengan satu denting kecil terdengar, suara berat yang dingin mengiringi. “Hh, ada apa menghubungiku tiba-tiba?” Tanpa basa-basi, Ara kenal sekali dengan suara itu. “Kak, kau bisa ‘kan batalkan keputusan ayah dan ibu?” pinta Ara langsung. Desahan tipis terdengar di seberang sana, “Bukannya sudah kubilang kalau akan mengizinkanmu tinggal di apartementku.” Tidak ada panggilan kakak adik pada umumnya. Ara sudah terbiasa, “Aku masih belum setuju! Kakak tinggal bersama kekasih di sana ‘kan? Memangnya kekasih Kakak setuju?” desak Ara lagi. “Dia pasti tidak setuju, apalagi kalau ada obat nyamuk tinggal di sana.” lanjutnya. “Dia sudah setuju, lagipula semua keputusan tetap ada di tanganku. Jadi tidak ada yang bisa mengganggu bahkan kekasihku sendiri, paham?” tegas Agra. Bibir sang Cassie merengut kesal, “Kalau aku tinggal bersama Kakak, bisa bayangkan betapa berisiknya apartement Kakak nanti? Aku ini suka menghidupan music kencang-kencang, berteriak, menyanyi, pokoknya super berisik! Kakak siap?” ancam Ara. Sementara Agra masih tenang di sisi sana, “Kau kira sudah berapa tahun kita tinggal bersama dulu?” “Ya-ya, apa kakak mau kalau aku tiba-tiba masuk ke kamar seperti dulu?! Mengeksplor semua tempat yang Kakak larang! Bagaimana? Takut ‘kan?!” dengus Ara polos. Mengira kalau ancaman itu sudah cukup membuat Agra iritasi. Sayang, ancaman gadis itu kurang berbobot. “Terserah kau ingin membuka kamar siapapun, tapi keputusan terakhir tetap sama.” tegas sang Dhanurendra terakhir kali. “Jika kau ingin tinggal sendiri di sini, dan berakhir membiarkan laki-laki lain menginap di Apartementmu. Jangan bermimpi bisa melakukan itu.” Suara Agra entah kenapa berubah dingin dalam sekejap. Reflek menelan ludah gugup, “Ta-tapi ‘kan Kakak sendiri juga tinggal bersama pasangan kok-” Belum selesai bicara. “Aku, laki-laki dan kau perempuan. Aku bisa melindungi diriku sendiri, dan kau tidak.” “A-apa?! Begini-begini aku ini juara bela diri di sini! Jangan meremehkanku!” Kesal dan langsung menaikkan suara. “Untuk kali ini saja, Kak. Rayu ibu dan ayah,” “Tidak.” Satu kata tegas, “Sudah selesai ‘kan? Nanti biar aku yang urus semua administrasimu di Universitas, kau tinggal datang saja.” “E-eh, tunggu dulu!” Tiba-tiba mendengar suara wanita asing memanggil Agra di seberang sana. “Pak, kita ada rapat lagi setelah ini.” “Oke, sebentar lagi saya ke sana.” Suara Agra berubah tenang, tapi saat bicara dengan Ara menjadi dingin. “Sudah ‘kan? Kumatikan telponnya.” Ara kesal, saat keinginannya tidak terpenuhi. “Memangnya Kakak pikir aku akan aman kalau tinggal bersama Kakak?! Kakak lupa siapa yang dulu memeluk dan hampir menciumku?!” tukas Ara tiba-tiba. “Apa?” Sadar dengan ucapannya sendiri, “Ti-tidak jadi! Lupakan saja!” Ara langsung saja mematikan panggilannya. Reflek melempar handphonenya kesal. Wajah gadis itu memerah hebat, jantungnya berdetak kencang. Napas terengah, “Agh!” Mengacak rambut beberapa kali. “Kenapa aku malah bilang begitu?!” Memukul bibirnya sendiri. “Kau bodoh sekali, Ara! ‘Kan dia jadi ingat!” teriak sang Cassie lagi. *** Di sisi lain ‘Dia masih ingat rupanya,’ Lelaki tampan itu menatap kosong handphone yang kini sudah mati sepenuhnya. Mengingat perkataan gadis itu kembali, satu senyuman sendu tercetak. Bagaimana dulu dia tidak bisa mengendalikan perasaan di depan adik tirinya sendiri. Apa sekarang Agra akan mengulangi kesalahan yang sama? “Tentu saja tidak,” bisik sang Dhanurendra, mengepalkan kedua tangan. Melihat seorang wanita dengan baju kantor ketat melekat di tubuhnya. “Ren, kita ada rapat sekarang. Ayo, semua sudah menunggu.” Sosok wanita asing yang menjadi primadona di perusahaannya. Kekasih baru Agra. Ekspresi Agra berubah, tanpa menjawab perkataan wanita itu. Dia langsung memasukan handphone ke dalam saku. Masih dengan salah satu tangan terkepal kuat. Walaupun dia berjanji tidak akan melepas batasan dengan gadis itu lagi. Tapi kenapa kadang-kadang Agra ragu? Setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu, seberapa banyak perubahan gadis itu sekarang? Jika dibandingkan wanita bertubuh seksi di sampingnya, apa Ara masih bisa menarik perhatian lelaki itu? Sosok polos dan masih kekanakan. Sangat berbeda jauh. Agra mengenal sendiri prefrensi wanita kesukaannya. ‘Tidak mungkin aku masih menyukainya,’ batin Agra yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD