3. Kunjungan Ibu Negara

1761 Words
Drrrr … drrrrrr …. Telepon genggam milik Biyan bergetar. Benda pipih itu dalam mode silent karena dia sudah melakukan rapat dari pagi hingga siang hari. Agar tidak terganggu oleh suara notifikasi, karena rapat ini penting, jadi Biyan memilih menonaktifkan saja suara ponselnya. Telepon masuk ternyata dari sahabatnya Saipul. Biyan kira ada telepon dari Jesica istrinya. "Hallo." Biyan menyapa Saipul. "Oi Bro, lagi apa?" Ipul bermaksud memberitahu masalah mengenai Jesica yang masuk ke ruangan khusus mereka. Dia kemarin hampir saja di kebiri, beruntung hanya bercanda saja. Temannya semua jahil dan tidak ada akhlak jika bersatu. Jika bersama bisa membentuk kepulauan warga hot daddy sengklek yang minusnya kebangetan. "Baru selesai meeting. Ada apa?" Tidak Biasanya Saipul menelponnya siang-siang seperti ini. Dia biasanya sibuk mengurus restoran. "Aing hampir di keb*ri," ucapnya yang sama sekali tidak mengagetkan Biyan. "Kenapa? Sama siapa? Emang ada yang sanggup mengebiri lo?" Biyan malah ingin terkekeh. Untuk apa Saipul di kebiri. "Ada, Alex dan kawan-kawan. Gara-gara …. Ah masa gue ngomong di telepon." Saipul menjadi ragu untuk menyampaikannya tidak secara langsung. Apa lebih nyaman secara langsung saja, siapa tahu Biyan bisa memberi hukuman pada tiga gadis tersebut. "Gaje lu, gak jelas teleponnya ngegantung kaya gini. Ngasih tau enggak, ngagetin sih iya." Biyan malah merasa telepon ini tidaklah penting. "Lu gak kaget gue mau di kebiri?" tanya Saipul yang berharap di perhatikan. Sayangnya tidak sama sekali di khawatirkan. "Enggak, seneng malah." "Eh yang bener yang mana, teganya lu …." Saipul di restorannya menggelengkan kepala. "Biarin! Jadi mau ngasih tau gak nih?" Jika tidak telepon akan ia matikan saja. "Ntar aja deh, pas lo balik dari honeymoon." Saipul menunggu waktu agar Biyan lebih jinak, siapa tau saja dia akan marah jika ruangan mereka di masuki tiga gadis. "Jesica lagi haid, honeymoon di pending, makanya gue ngantor aja, hitung enam atau tujuh hari ke depan, baru tuh berangkat honeymoon, disana empat belas hari, jadi … sanggup lo nunggu?" Biyan menghitung dengan jari. "Sanggup, balik bawain calon ponakan eya." Riquest Saipul, Biyan kan berarti belum punya anak kandung. "Emang segampang nyetak kue gitu langsung jadi." Ada proses dan usaha dulu sehingga Jesica hamil. "Gencer tiap malem." Saipul terkekeh. "Mmmm …." "Lu ajak dulu konsul ke dokter gitu, biar tokcer. Jadi yang hasil dari obat kuat hadiah kita-kita gagal gara-gara bini lo haid?" Saipul mengingat momen keberanian anggota gengnya mencekoki Biyan obat kuat. "Iya gagal." Biyan menghela napas. "Yang sabar, bisa di cocol lagi, eh … di coba lagi." "Udah kalo gak ada yang penting mending matiin aja teleponnya." Biyan sudah bersiap menjauhkan ponsel dari telinganya. "Lu gak kangen gue napa?" Ipul memelas perhatian. "Enggak, ngapain kangen sama lo, gak normal dong, bye!" Biyan menekan tombol merah pada layar ponselnya. "Bi- … eh kampretos di matiin." Saipul padahal masih ingin berbicara. Ponsel Biyan kembali berdering, pria ini kesal karena Saipul menelpon tidak ada yang penting, mungkin kali ini telepon dari Saipul yang tak terima panggilannya langsung di matikan. "Jangan ganggu gue lagi Saipul." Biyan mengangkat telepon langsung protes. "Ehem … gak di lihat dulu telepon masuknya dari siapa?" Suara seorang wanita protes karena tidak di sambut suara yang merdu dan penuh kasih sayang oleh suaminya. "Eh ini sih suara istri Abang yang tercinta." Biyan langsung mengubah nada bicaranya. "Udah makan belum Sayang?" tanya Jesica. "Belum, gak nafsu." Biyan menggeleng, kali ini dia berubah menjadi mode manja. "Kenapa?" "Nafsunya kalo di suapin kamu!" Dia mengeluarkan jurus gombalan. "Manjanya …." Jeisca tersipu malu. Dia kemudian bertanya lagi. "Sayang gak laper?" "Laper ga laper." "Mau di suapin?" tawarnya yang padahal sekarang sudah sampai di lobi kantor Biyan untuk memberikan kejutan. "Mau … tapi kan jauh." Biyan menghembuskan napas kasar. "Turun dong, samperin istrinya di lobi. Peluk sama gandeng aku lagi biar orang-orang liat, bila perlu biar di lihat sama si sapi." Jesica mengucapkannya penuh semangat. "Hahaha Sopia Sayang. Nama orang di kasih bagus lho sama orang tuanya, main di ubah-ubah aja." Biyan terkekeh sekaligus senang. "Abis aku udah lihat itu orang suka sama Abang tau." Jesica mengerucutkan bibirnya sambil membawa kotak makan dan satu tangan menggenggam telepon. "Asik di cemburuin." "Buruan jemput istrinya ih. Kalo gak balik lagi ke rumah nih." Jesica mengancam. Mumpung situasi dan kondisi di lobi sedang ramai, tentu banyak yang akan melihatnya sebagai istrinya Biyan. "Sayang masak?" tanya Biyan sambil bangun dari tempat duduknya. "Iya ini masak. Masak tumis kangkung sama sapi goreng kesukaan Daddy." Jesica dari pagi hingga siang belajar memasak bersama bi Surti. "Mau …." Biyan antusias. "Sini!" Senyuman manis terukir di wajah Jesica, dia duduk menunggu di lobi alih-alih langsung ke ruangan Biyan, padahal sudah atu jalan. Karyawan yang sudah lebih dulu tahu statusnya, mengangguk sopan dan menyapa lebih dulu. "Siap, suami on the way istri!" Biyan membuka pintu dan bersiap untuk berlari. "Di tunggu suamik!" Biyan melihat yang paling cantik, yang paling bening dan menawan, satu-satunya wanita di lobi adalah sang istri yang menggunakan pakaian berwarna biru. Gadis atau karyawan yang lain tidak ia pedulikan saat mereka menyapa bosnya. "Hua … istri paling cantik di dunia dateng." Biyan membentangkan tangan dan bersiap memeluk tubuh Jesica. Jesica memeluk suaminya dan memberikan senyuman manis. "Jangan kencang-kencang peluknya. Pengap!" Biyan memeluknya sangat erat. "Katanya mau keliatan mesra sama karyawan Abang," bisik Biyan di dekat telinga Jesica. "Jan kekencengan kaya gini pelukannya dong." Dia kesulitan untuk bernapas. "Iya maaf." Biyan sedikit meregangkannya. "Sapi mana sapi?" Jesica melirik kesana kemari, dia dari tadi tidak melihat Sopia. "Mana abang tau. Cuma ketemu tadi pas meeting." Yang di cari istrinya malah Sopia. "Sepertinya Abang perlu di awasin dua puluh empat jam." Jesica menatap penuh kecurigaan. "Kenapa ibu negara berubah menjadi possessive?" Biyan mencubit gemas hidung Jesica. "Demi keamanan dari pelakor." Jesica terkekeh. "Hahaha. Ayo ke ruangan Abang." Biyan merangkul istrinya dan mengajak ke ruangannya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk membawa semua barang bawaan Jesica. "Pak! Kenalkan istri saya." Biyan menyapa Bagian keuangan perusahaan ini dan memperkenalkan Jesica. "Hallo Bu." Orang ini mengangguk sopan. Suasananya cukup ramai karena jam istirahat, orang sibuk lalu lalang sudah selesai makan siang atau yang baru akan mencari makan siang. "Hallo Bu." Karyawan lain menyapa Jesica. "Selamat datang Bu!" Semuanya bersikap sopan. Jesica juga membalasnya dengan senyuman manis. "Maaf ya jadi di panggil ibu." Biyan berbisik di telinga istrinya, tentu belum oantas seusia Jesica di panggil dengan sebutan ibu. "Gak papa, emang udah jadi ibu. Ibu dari Reginald, istri dari Biyan Ahmad dan bentar lagi on the way jadi ibu baru." Jesica tersenyum dan tidak malu sama sekali di panggil dengan sebutan itu. "Aduh beruntungnya …." Biyan mengecup pipi Jesica singkat. Ini kali ke dua Jesica berkunjung ke kantornya Biyan, di rumah rasanya kesepian hanya di temani oleh Surti, Reginald sering keluar, rumah juga sangat besar dan luas, apalagi dia ingat Kania yang pernah tinggal di rumah itu, Jesica mendadak jadi penakut. Maklum dia terbiasa tinggal di tempat yang kecil. Waktu itu Jesica marah karena Biyan tidak menyambut kedatangannya dengan ramah saat pertama kali masuk ke ruangannya. Kali ini Biyan tidak mau mengulangi hal itu. "Selamat datang di kantor dan ruangan suami, Nyonya Ahmad." Biyan tersenyum dan mengecup singkat bibir Jesica. Jesica senang di perlakukan seperti ini masa iya harus protes dan ngambek dulu karena ingin di berikan sikap yang romantis. "Makasih. Abang honeymoon jadi ke bali?" Jesica duduk di bangku sofa yang sudah Biyan bersihkan terlebih dahulu. "Jadi setelah kamu beres haid." Biyan ikut duduk di sebelahnya. "Kenapa gak sekarang aja?" ajaknya yang bosan di rumah. Terbiasa sibuk dengan urusan sekolah dan belajar, kini jadwalnya sangat santai, setiap hari libur menunggu waktu ospek. "Gak mau, mau ngapain honeymoon kalo kamunya lagi dateng bulan?" keluhnya yang memang merencanakan honeymoon untuk mendapatkan oleh-oleh garis dua di alat tes pack. "Jalan-jalan sama belanja," jawab Jesica polos. "Kaya yang ia mau belanja, uang di atm abang aja yang di kasih ke kamu jarang di pake." Begitu hematnya Jesica. Dia sama sekali tidak berbelanja yang mahal-mahal jika tidak bersama Biyan, paling di pakai jajan di sekolah saja, libur kebanyakan di rumah jadi tidak keluar dan beli apa-apa. Pikir Jesica semua barang dia sudah punya hasil dari pemberian Biyan. Untuk apa beli lagi? Dia juga terbiasa hemat. "Hehe, udah kebiasaan hemat, Bang. Jadi kebawa-bawa. Dulu mah mikir, ini uang harus awet sebulan, ini uang harus nyisa dan bisa nabung." Hidupnya sangat prihatin dulu, makan daging saja dalam setahun bisa di hitung dengan hitungan jari. Saat kosan di Jakarta dan kehabisan uang, sehari makan sekali atau tidak sama sekali jika tidak di traktir Rahma. "Sekarang udah gak usah mikirin itu lagi. Abang cari uang buat apa kalo gak di nikmati istri, percuma dong." Biyan protes karena istrinya terlalu hemat dan tidak menikmati hasil perjuangannya. "Iya, maaf ya. Nanti uangnya aku pake belanja deh." Jesica bersandar di pundak Biyan. "Mana kuliah dapet beasiswa kan, tambah hemat aja pengeluaran Abang. Gak biayain kuliah." "Hehe … kan rezeki lumayan, jadi aku gak tolak." Jesica mendapatkan beasiswa ini karena nilai ujian nasionalnya bagus. Mahasiswa seperti ini biasanya di rebutkan oleh beberapa perguruan tinggi negeri yang paling bagus. Sangat mudah untuk Jesica masuk ke perguruan tinggi favoritnya. "Mau belajar gak?" tawar Biyan untuk mengobati kejenuhan istrinya. "Belajar apa?" Jika urusan belajar Jesica antusias. "Belajar kelola uang dari abang, belanja bulanan rumah, belanja dapur juga." Biasanya ini tugas Kania atau bi Surti. "Mau, mau …." Jeisca antusias. Berarti dia akan belanja barang dan kebutuhan rumah bersama Biyan ke mall, seperti di drama-drama Korea yang biasa ia tonton. Romantisnya pasangan baru saat berbelanja kebutuhan rumah tangga. "Pulang dari sini nanti kita ke mall ya." Jesica mengangguk. "Iya boleh. Makan siang bareng dulu yuk. Ini aku yang masakin." Jesica membuka kotak makan. "Hebatnya istri Abang." Biyan bertepuk tangan. Jesica menyuapi Biyan tumis kankung dan goreng daging sapi buatannya. "Enak?" tanyanya saat Biyan mengunyah makanan. "Enak banget." Biyan mengunyahnya dengan perlahan, menikmati masakan sang istri "Aku coba." Jesica menyuapi dirinya sendiri, tadi di rumah dia belum sempat mencoba. "Keasinan ini dikit Sayang. Apanya yang enak?" Jesica menilai masakannya sendiri. "Apapun yang di sajikan istri, akan terasa enak." Biyan melarang dirinya sendiri untuk tidak menghargai usaha pasangannya, mau enak atau tidak, mau bagus atau buruk, semuanya harus di puji. Semua untuk menghargai usaha dari yang memberikannya. Tentu Jesica meluangkan waktu dan tenaga untuk membuat masakan ini. Tidak mudah untuk pemula, masak juga membuat tubuh lelah. "Gombal!" Jesica tersenyum senang usahanya di hargai oleh sang suami. "Beneran bukan gombal." Biyan makin mendekat dan melingkarkan tangannya di leher Jesica, jemarinya bergerak masuk ke bagian kerah sang istri. "Tangannya bisa diem Bang?" Jesica merasa curiga dengan gerakan suaminya inim "Gak bisa, gemes!" Biyan meremas datu gunung istrinya. Jesica langsung sedikit melotot. "Di puji sih di puji, tapi tangannya jangan nakal lho."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD