Chapter 08: Kisah Bocah Laki-laki Cacat

1364 Words
Huh? Di … di mana aku? Saat kubuka mataku perlahan, pemandangan di depanku bukan lagi desa terbakar atau wajah menangis milik Elaine saat berlari ke arahku, melainkan ruangan putih tak berujung dan aku seolah berada di tengah-tengah dunia aneh tersebut. Aku masih ingat ketika aku tidak sadarkan diri tadi. Jadi ini mimpi? “Hei, kau di sana, anak muda.” Siapa itu? Kubalikkan tubuh segera dan melihat ada sosok makhluk aneh berada di sana. “Si-siapa kau?” Kuberanikan diri untuk mengatakan hal itu, tetapi tidak ada jawaban datang dari sosok tersebut. Mungkin dia tidak ingin berbicara denganku? Terserahlah, aku ingin segera bangun dan tahu keadaan di desa. “Kau lupa padaku?” Deg! Suara penuh kesombongan dan rasa angkuh itu, tidak akan pernah kulupakan. Saat kutengadahkan kepala, tatapanku langsung bertemu dengan wajah dari naga yang telah merenggut tangan kiriku lalu tertawa saat aku meraung penuh kesakitan. “Sulyard,” ucapku dengan penekanan penuh, tatapan mataku bercampur dengan kebencian saat memandang ke arah bola mata naga kuning pucat itu. Tanganku kukepalkan erat hingga buku-buku jariku memutih pucat, aku sudah bersumpah untuk tidak pernah memaafkan perbuatan naga itu terhadapku dan seluruh orang di desaku. “Yaaa! Itu! Itu! Ekspresi wajah yang sangat bagus! Apa kau sudah ingat sensasi saat kucabut lenganmu dan terlempar ke udara? Sangat indah, lihat?” Ucapan Sulyard membuatku menurunkan pandangan dan melihat bahwa kini lengan kiriku menghilang padahal tadi masih ada. Ah, benar juga, ini adalah dunia mimpi. Dunia mimpiku. Kugigit bibir kecil ketika mendapati darah terus mengalir dari bagian terpotong, meski tidak terasa sakit, aku justru penasaran apa aku sudah mati di dunia nyata dan ini adalah alam baka. “Hei … apa kalian para naga memang selalu seperti ini?” Sulyard yang sedang tertawa senang tiba-tiba berhenti. Aku sedikit menyayangkan kehadirannya di alam bawah sadarku ini, seharusnya yang datang itu gadis cantik seperti Jullien Setsworth—selebriti terkenal di Earusia—atau gerobak penuh makanan enak daripada harus bertemu dengan naga tidak tahu apapun selain terus menyanjung dirinya sendiri dan meremehkan Midlings bagai serangga rendahan. “Apa maksudmu?” Aku ingin menggaruk tengkuk menggunakan tangan kiri sebelum tersadar bahwa kini tidak ada lagi tangan di sana. Ah, sialan, jadi orang cacat sangat sulit. Kuganti menggunakan tangan kanan lalu menengadah ke atas, mencoba untuk menetralkan ekspresi sebisa mungkin di depan sosok yang sangat ingin kubunuh sekarang juga. Yah, aku juga tidak akan mendapatkan untung dari membunuh sosok di alam bawah sadar. “Mengapa kalian para naga begitu membenci kami, Midlings? Memang kami memiliki salah apa pada kalian? Kukira lenganku tidak terlalu berharga untuk menjadi target pembalasan dendammu, apa memang kalian itu tidak bermoral hingga senang menjajah bangsa lain tanpa alasan?” Sulyard terlihat marah dengan ucapanku barusan. Ya, benar, makan umpanku dengan baik, dasar kau naga b******n. “Kurang ajar! Kau berani memanggil kami sebagai ras tidak bermoral? Ini semua adalah salah kalian, para Midlings, karena datang ke tanah kami dan menghancurkan—” Sulyard terdiam, aku sedikit terkejut melihat dia tidak melanjutkan perkataannya lagi. “Kenapa? Lanjutkan saja.” Kucoba untuk memancing lagi, tetapi sosok tersebut tidak menjawab dan kini perlahan menghilang menjadi kepulan asap berwarna kuning pucat. “Hoi! Hoi, tunggu dulu! Kenapa kau pergi? Ini adalah mimpiku, alam bawah sadarku! Kau tidak boleh pergi tanpa seizinku, Sulyard! Tanggung jawab tentang lenganku ini, naga sialan!” Kucoba untuk berlari mengejar sosok berkaki empat dan memiliki tubuh raksasa itu secepat yang kubisa, tetapi nihil, Sulyard sudah hampir sepenuhnya menghilang. “Kita akan bertemu lagi di lain waktu, anak muda. Sampai saat itu datang, jadilah kuat hingga bisa membalaskan dendammu padaku. Aku akan selalu menunggu kedatanganmu,” ucap Sulyard sesaat sebelum dia berubah menjadi partikel debu dan menghilang dari alam bawah sadarku ini. Tunggu, apa mungkin ini bukan alam bawah sadarku? Ini bukan mimpi? Lalu apa? Apa aku sudah mati? “Tidak, tidak, dia bilang ‘kita akan bertemu lagi di lain waktu’ dan kurasa itu bukan kata-kata bohong. Lalu, di mana aku sekarang? Apa aku bisa kembali? Ack—kenapa ini baru terasa sakit?” keluhku saat lengan kiriku mulai berdenyut keras dan mengirimkan impuls sakit ke seluruh syaraf di otakku. Sial, aku harus segera pergi dari tempat ini dan mengejar Sulyard, aku akan menjadi kuat untuk mengalahkan naga yang telah merenggut tangan kiriku itu. “Kleigh!” “Elaine?” Itu suara Elaine, tidak salah lagi. Aku tidak mungkin melupakan suara dari sahabatku sejak kecil. Namun, saat kuedarkan pandangan, tidak ada siapapun di sana selain dunia berwarna putih dan juga tetesan darah di sekitarku yang berasal dari lengan kiriku. “KLEIGH!” panggil Elaine lagi, entah dari mana. Hal itu membuatku semakin penasaran dan memilih untuk menelusuri dunia putih tersebut tanpa arah jelas demi mencari sumber suara barusan. “Elaine? Kau di mana? Apa kau bisa mendengarku—ack, sakit sekali.” Sial, jika saja aku berada dalam kondisi prima, aku bisa menjelajahi tempat aneh ini lebih cepat, tetapi lenganku kini menjadi penghambat terbesarku. Darah terus menetes dari sana dan membuat jejak pola abstrak semenjak aku terus berputar-putar di dunia serba putih ini. Yaa, kabar baiknya aku bisa menandai tempat yang sudah kulalui dengan tetesan darah tersebut, tetapi aku bisa saja mati kehabisan darah sebelum kembali ke tempatku seharusnya. “ELAINEEEE! APA KAU MENDENGARKU?” teriakku sekuat tenaga, berharap dia bisa mendengar jeritan dari dunia terpisah ini, meski aku tahu itu tidak mungkin. “Kleigh! Kleigh bangun!” Mendengar suara Elaine lagi, aku langsung mendapat sebuah ide. Baiklah, ini harus kulakukan sekarang atau tidak sama sekali. “TOLONG TAMPAR AKU ATAU APAPUN ITU! CEPATLAH ELAINE! CEPAT—ACK!” Plak! Plak! Plak! “Kleigh, bangun!” “Gah!” Mataku terbuka lebar dan aku langsung merasakan kedua pipiku berdenyut keras. Belum sempat aku protes mengapa kedua pipiku memerah seperti kepiting rebus, Elaine menghambur cepat ke arahku dan menangis senang. “Kau bangun juga, Kleigh!” Namun, aku meringis sakit saat dia menekan tubuh di luka-lukaku. “E … Elaine … sa-sakit, seluruh tubuhku terasa sangat sakit—” “Ah, maaf! Aku terlalu senang sampai memelukmu tanpa sadar. Ta-tapi ini bukan berarti aku memelukmu karena khawatir atau apa! Kau sudah tertidur selama tujuh hari dan kukira kau mati—” “Tujuh hari?” potongku cepat dengan mata melotot. Aku ingin beranjak duduk, tetapi tubuhku tidak memiliki tenaga untuk hal itu dan kurasa ada perban di seluruh tubuhku. Hm, pantas saja aku terasa seperti patung gips terbaring di atas ranjang. Semua persendianku juga terasa sakit, mungkin ini efek dari menggunakan nen dalam jumlah besar tanpa latihan? Aku juga tidak tahu mengapa bisa mengeluarkan nen sebesar itu, tetapi mengingat perasaan tersebut membuat bulu kudukku merinding dengan perasaan ngeri dan senang, itu seperti sebuah obat yang membuatmu merasa candu. “Ya, kau sudah tidur selama itu.” “Desa? Bagaimana dengan desa?” Elaine menarik senyuman tipis. “Kita semua selamat, entah karena alasan apa, ketiga naga itu tiba-tiba pergi beberapa saat setelah kau pingsan dan tidak kembali lagi. Ibukota kerajaan Earusia, Denadarys, sudah mengetahui kabar tentang kedatangan para naga dan membuat kegemparan di sana, banyak dari mereka tidak percaya pada kita dan menganggap ini hanya karangan cerita untuk meminta bantuan—” “Itu sama sekali bukan karangan cerita! Kau juga tahu sendiri, kan? Mereka datang dan membakar desa kita!” Aku mengerutkan alis penuh amarah, bagaimana bisa mereka menjatuhkan tuduhan menjijikan itu setelah melihat seberapa parah kerusakan di sini? “Tenanglah, Kleigh!” Elaine berusaha untuk menenangkanku, dia terlihat sedih saat melihat ke arah lengan kiriku. Tatapan itu seolah menunjukan simpati padaku. Kesal. Marah. Hanya itu yang mengisi hatiku saat ini. Aku tidak tahu mengapa dia menatapku seperti itu, apakah sangat buruk untuk menjadi cacat? Apa kehidupanku berakhir dengan kehilangan sebuah lengan? Begitu yang kupikirkan dalam pusaran amarahku. Namun, di sisi lain, logikaku juga berpikir sama dengan tatapan Elaine. Ini sangat menyedihkan. Aku benar-benar menyedihkan. Aku, sosok sebatang kara yang tidak memiliki siapapun untuk bergantung selain diriku sendiri, kini harus kehilangan senjataku untuk bertarung demi menggapai impianku sebagai hunter terbaik di Earusia, atau Kesatria Suci. Ya, aku sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang selain tetap berada di desa dan menjadi orang biasa untuk selama-lamanya. Lalu, untuk apa aku hidup? Bukankah lebih baik mati saja?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD